Mohon tunggu...
Dwiki Saharani
Dwiki Saharani Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - mahasiswa

tentang sejarahh

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ngaben

17 Juli 2024   11:34 Diperbarui: 17 Juli 2024   11:36 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

"NGABEN: Makna, Filosofi, Tahapan dan Persepsi terhadap Upacara yang Dianggap Boros"
Bali, pulau yang terkenal dengan keindahan alamnya, juga kaya akan tradisi dan upacara adat yang masih terjaga hingga kini. Mayoritas penduduk Bali menganut agama Hindu, yang memiliki berbagai ritual unik, salah satunya adalah upacara Ngaben. Ngaben merupakan ritual kremasi dalam tradisi Hindu Bali, yang termasuk dalam kategori Pitra Yadnya. Tujuan utama upacara ini adalah mengembalikan jiwa leluhur atau orang yang telah meninggal ke asal muasalnya. Dalam bahasa Bali yang lebih halus, Ngaben juga dikenal sebagai Palebon. Istilah Palebon berakar dari kata "lebu" yang berarti tanah atau bumi. Makna dari Palebon adalah penyatuan kembali dengan Ibu Pertiwi. Proses ini dapat dilakukan melalui dua cara: pembakaran jenazah dalam upacara Ngaben atau penguburan langsung ke dalam tanah, yang disebut metanem.
Upacara Ngaben memiliki tiga tingkatan, yaitu Nista (sederhana), Madya (menengah), dan Utama (besar). Meskipun demikian, masih ada anggapan di masyarakat bahwa Ngaben adalah upacara yang memboroskan sumber daya. Pandangan ini umumnya muncul dari mereka yang belum memahami esensi sebenarnya dari ritual ini. Sebenarnya, pelaksanaan Ngaben sudah diatur sedemikian rupa agar dapat disesuaikan dengan kemampuan ekonomi keluarga. Bagi yang kurang mampu, dapat memilih tingkatan upacara yang lebih sederhana. Namun, memang benar bahwa upacara ini memerlukan biaya yang tidak sedikit, mengingat banyaknya persembahan dan perlengkapan yang dibutuhkan dari awal hingga akhir prosesi.
Filosofi dan Tujuan Upacara Ngaben
Upacara Ngaben memiliki landasan filosofis yang disebut Panca Sradha, yaitu lima keyakinan dasar umat Hindu: Brahman, Atman, Karmaphala, Samsara, dan Moksa. Secara khusus, ritual ini merupakan manifestasi kasih sayang dan penghormatan kepada leluhur. Tujuan utama Ngaben adalah mempercepat proses penyatuan kembali unsur-unsur Panca Maha Butha (lima elemen dasar pembentuk kehidupan) dengan alam semesta. Ritual ini juga dipercaya membantu atma (jiwa) untuk segera mencapai alam Pitara. Ngaben juga dikenal sebagai Upacara Pitra Yadnya, sebuah istilah yang tercantum dalam lontar Yama Purwana Tattwa. "Pitra" mengacu pada leluhur atau orang tua yang telah meninggal, sementara "Yadnya" berarti persembahan suci yang tulus kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sang pencipta.
Tahapan-tahapan dalam Upacara Ngaben
1. Upacara Atiwa-tiwa Berasal dari kata "Ati" (berkeinginan) dan "Awa" (terang/bersih), upacara ini bertujuan menyucikan jenazah berdasarkan unsur Panca Maha Butha. Dikenal juga sebagai upacara Ngeringkes atau Ngelelet, prosesi ini bertujuan mengembalikan kekuatan suci yang diberikan Sang Hyang Widhi saat kelahiran, yang bermanifestasi dalam bentuk aksara suci.
2. Upacara Pengabenan Ngewangun Terbagi menjadi dua jenis: Sawa Pratek Utama (dengan kehadiran jenazah) dan Nyawa Wedana (tanpa jenazah, menggunakan simbol). Upacara ini melibatkan ritual khusus untuk setiap organ tubuh dan biasanya disertai dengan upacara Pengaskaran.
3. Upacara Pengabenan Pranawa Berfokus pada sembilan lubang tubuh manusia, upacara ini meliputi beberapa tahap seperti ngulapin, nyiramin (memandikan jenazah), pemberian simbol dengan aksara Bali, dan pepegatan (pemutusan ikatan duniawi).
4. Pengabenan Swastha Merupakan bentuk paling sederhana dari upacara Ngaben, tanpa menggunakan atribut lengkap seperti pada tingkatan yang lebih tinggi. Prosesi ini umumnya hanya dilaksanakan di area pemakaman (setra).
Persepsi Masyarakat dan Solusi
Anggapan bahwa Ngaben adalah upacara yang boros masih beredar di masyarakat. Namun, pandangan ini perlu dikaji ulang dengan memahami esensi dan makna mendalam dari ritual ini. Ngaben bukan sekadar prosesi pembakaran jenazah, melainkan simbol penyucian jiwa yang telah meninggalkan dunia fana. Dalam ajaran Hindu, manusia dipercaya memiliki dua aspek: badan kasar dan badan halus. Badan kasar, yang terbentuk dari Panca Maha Bhuta, hanyalah wadah sementara bagi jiwa. Ketika seseorang meninggal, hanya jasadnya yang mati, sementara jiwa tetap ada. Ngaben berperan penting dalam memfasilitasi pemisahan jiwa dari jasad, memungkinkan jiwa untuk melanjutkan perjalanannya. Menyikapi anggapan pemborosan, perlu ditekankan bahwa pelaksanaan Ngaben dapat disesuaikan dengan kemampuan ekonomi keluarga.
Adanya tiga tingkatan upacara - Nista, Madya, dan Utama - memberikan fleksibilitas bagi umat Hindu untuk menjalankan kewajiban spiritual mereka tanpa harus terbebani secara finansial. Kunci utama dalam melaksanakan Ngaben adalah ketulusan hati dan kesungguhan niat, bukan kemewahan atau besarnya biaya yang dikeluarkan. Penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa nilai sebuah upacara tidak diukur dari kemegahannya, melainkan dari keikhlasan dan ketaatan dalam menjalankannya. Untuk mengatasi perbedaan persepsi ini, diperlukan edukasi dan sosialisasi yang lebih intensif mengenai makna dan filosofi di balik upacara Ngaben. Tokoh agama dan pemuka adat dapat berperan dalam memberikan pemahaman yang lebih mendalam kepada masyarakat, sehingga mereka dapat melihat Ngaben bukan sebagai pemborosan, melainkan sebagai investasi spiritual yang tak ternilai harganya. Selain itu, masyarakat Hindu Bali perlu didorong untuk kembali pada esensi utama upacara ini, yaitu penghormatan pada leluhur dan penyucian jiwa. Dengan demikian, fokus akan beralih dari aspek material ke aspek spiritual yang jauh lebih penting.
Pada akhirnya, pelestarian tradisi Ngaben harus diimbangi dengan kebijaksanaan dalam pelaksanaannya. Masyarakat Hindu Bali dapat bangga memiliki warisan budaya yang begitu kaya dan mendalam maknanya, sambil tetap menyesuaikan praktiknya dengan kondisi zaman dan kemampuan individu. Dengan pemahaman yang tepat dan pelaksanaan yang bijaksana, Ngaben akan tetap menjadi bagian integral dari identitas budaya Bali, tanpa harus dianggap sebagai beban atau pemborosan.
METODE DAN HASIL
Artikel ini disusun menggunakan pendekatan analisis deskriptif-kualitatif dengan metode studi literatur. Fokus utama artikel adalah mengkaji makna, tujuan, variasi, dan persepsi masyarakat terhadap upacara Ngaben di Bali. Sumber-sumber yang digunakan mencakup literatur akademik, dokumen budaya, dan observasi sosial terkait praktik Ngaben. Proses pengumpulan data melibatkan penelusuran berbagai sumber tertulis, termasuk buku-buku tentang kebudayaan Bali, artikel jurnal yang membahas ritual Hindu, dan publikasi lain yang relevan dengan topik Ngaben. Selain itu, artikel ini juga mempertimbangkan wawasan dari tokoh-tokoh adat dan pemuka agama Hindu Bali untuk memberikan perspektif yang lebih mendalam.
Analisis dilakukan dengan mengidentifikasi tema-tema utama seputar upacara Ngaben, seperti filosofi dasarnya, tahapan-tahapan ritual, variasi dalam pelaksanaan, dan persepsi masyarakat. Temuan-temuan ini kemudian diintegrasikan untuk memberikan pemahaman komprehensif tentang signifikansi kultural dan spiritual dari upacara Ngaben dalam konteks masyarakat Hindu Bali kontemporer.
 
Artikel ini bertujuan untuk menyajikan gambaran holistik tentang upacara Ngaben, menjelaskan berbagai aspeknya, dan menganalisis persepsi yang berkembang di masyarakat. Melalui pendekatan ini, artikel berusaha memberikan kontribusi pada pemahaman yang lebih baik tentang salah satu tradisi paling penting dalam kebudayaan Bali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi Ngaben sebagai upacara yang boros berakar dari kurangnya pemahaman masyarakat tentang makna filosofis dan spiritual ritual ini. Meskipun memang memerlukan biaya yang tidak sedikit, sebenarnya pelaksanaan Ngaben dapat disesuaikan dengan kemampuan ekonomi keluarga melalui tiga tingkatan upacara: Nista, Madya, dan Utama. Untuk mengatasi anggapan pemborosan, diperlukan edukasi intensif tentang esensi Ngaben, dorongan untuk kembali pada tujuan utama upacara, serta peran aktif tokoh agama dan adat dalam memberikan pemahaman yang lebih baik. Penting untuk ditekankan bahwa nilai sebuah upacara tidak diukur dari kemegahannya, melainkan dari ketulusan dan kesungguhan niat dalam pelaksanaannya. Dengan pendekatan ini, Ngaben dapat tetap dilestarikan sebagai warisan budaya Bali yang berharga, sambil menyesuaikan praktiknya dengan kondisi zaman dan kemampuan individu.
Penulis: siapaa
Sumber rujukan
https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/S1ak/article/view/24642
 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun