Apabila diamati, sistem peradilan adat pada masyarakat Angkola yang berfalsafah Surat Tumbaga Holing bersifat berkembang. Menurut  Djojodigoeno, sifat hukum adat yang demikian ialah statis-dinamis. Perubahan dari model yang terkesan terbuka pada model persidangan tertutup dapat menghindarikan anak dari stigmatisasi dan rasa malu. Penyederhanaan sanksi yang diberikan pada anak yang berkonflik dapat memenuhi hak anak terbebas dari rasa diskriminasi dan tertekan.
Meskipun demikian, masih banyak hal yang perlu diproyeksikan ketika Surat Tumbaga Holing akan dijadikan sebagai alternatif penyelesaian bagi kasus-kasus yang melibatkan anak. Tidak adanya payung hukum yang kuat dalam penyelenggaraan adat istiadat membuat nilai-nilia yang luhur ini tidak mempunyai batas wilayah hukum dalam memenuhi kepentingan masyarakat. Sehingga ketika dihadapkan pada kasus-kasus lainnya. Dewan adat tidak memiliki wewenang penuh. Sehingga tidak heran, ketika kasus-kasus yang terjadi di masyarakat Angkola lebih banyak diselesaikan secara negara. Padahal masyarakat Angkola memiliki nilai yang sangat luarbiasa yang dapat diterapkan dalam memecahkan segala permasalahan khususnya konflik anak.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan memotivasi teman-teman untuk semakin mencintai adat istiadatnya.
#Saya bangga menjadi Indonesia, saya bangga dapat belajar adat Istiadat Suku Angkola
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H