Mohon tunggu...
Dwiki Li
Dwiki Li Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi badminton dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Surat Tumbaga Holing sebagai Resolusi Perkara Anak Berhadapan Hukum

18 September 2021   17:51 Diperbarui: 18 September 2021   17:58 955
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suku Angkola merupakan salah satu rumpun masyarakat yang berada di Sumatera Utara yang kaya akan adat istiadatnya. Suku Angkola mendiami Tapanuli Bagian Selatan meliputi Tapanuli Selatan, Padang Lawas, Padang Lawas Utara, Kota Padangsidimpuan, dan sebagian menyebar di Mandailing Natal. Suku Angkola kerap dipersamakan dengan Mandailing. Namun pernyataan tersebut sedikit keliru. Wajar masyarakat menganggapnya sama, sebab diantara keduanya memiliki persamaan. Sesungguhnya hal ini bukanlah sesuatu yang harus dipertentangkan.

Suku Angkola mayoritas memeluk agama Islam. Sehingga tidak heran bahwa dalam kehidupannya sangat kental dengan nilai keagamaan. Suku Angkola adalah etnis yang sangat toleran dan penuh rasa kasih sayang. Hal ini disimboliskan melalui nilai-nilai falsafah hidup Surat Tumbaga Holing. Salah satu nilai tersebut terlihat dari sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu mengandung nilai moril kasih sayang (holong). Kasih sayang akan membawa keakraban (holong maroban domu). Sehingga ketika ditemukan sebuah permasalahan, setiap elemen masyarakat akan terlibat dalam mencari jalan keluar. 

Surat Tumbaga Holing terdiri dari tiga kata penyusun. Surat diartikan sebagai tulisan yang menjadi panduan. Tumbaga diartikan sebagai tembaga. Holing diartikan sebagai hitam tidak terlihat. Penerjemahannya dipahami sebagai sebuah panduan hidup yang tidak tertulis. Istilah lainnya sebagai sebuah pandangan hidup yang memberikan sebuah aturan-aturan dan batasan seseorang untuk beperilaku dan hidup sebagamanamestinya. Surat Tumbaga Holing tidak hanya terbatas pada adat namun juga membahas terkait adat istiadat. Adat istiadat memiliki konsekuensi terhadap hukum. Sesungguhnya, nilai-nilai Surat Tumbaga Holing memberikan pengaruh besar terhadap masalah hukum di masyarakat Angkola.

Namun seiiring dengan perbaikan penyelenggaraan hukum. Kedudukan hukum adat seakan menjadi nomor dua setelah hukum negara. Hal inipun terjadi pada eksistensi dari Surat Tumbaga Holing sebagai pranata hukum yang lamban laun mulai ditinggalkan. Penyelesaian perkara masyarakat khususnya melibatkan anak sudah dialihkan pada resolusi konflik secara hukum formil. Padahal ketika berbicara lebih jauh terkait nilai-nilai Surat Tumbaga Holing dalam konteks hukum adat. Surat Tumbaga holing dapat menjadi solusi bagi penyelenggaraan peradilan anak yang sesuai dengan tujuan diversi. Surat Tumbaga Holing dapat menjamin resolusi konflik anak yang terbebas dari perampasan hak kemerdekaan, stigmatisasi dan rasa malu serta menanamkan rasa tanggung jawab pada anak. 

Di Tapanuli Selatan, kasus salah langkah menjadi kasus yang sampai saat ini masih dapat ditangani secara adat. Namun hal ini juga tergantung pada kesepakatan pihak yang berkonflik. Sebab faktanya terdapat beberapa kasus salah langkah yang dilimpahkan pada penyelesaian secara negara. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tim PKM RSH Universitas Negeri Medan (Dwiki Li, M. Reza Fahlevi, Nadia Simatupang, Sri Manisya, Sumiati Harahap dan Hodriani) ternyata pada tahun 2019 di Desa Ujunggurap Kecamatan Batunadua pernah diselenggarakan mekanisme adat penyelesaian kasus anak salah langkah. Mekanisme tersebut berlangsung di rumah kepala desa atau rumah dari pihak keluarga yang berkonflik. 

Selama persidangan harus dihadiri oleh perangkat adat yang terdiri dari raja panusunan bulung (pimpinan sidang) yang dipilih pada pertemuan; raja pamusung (kepala desa); alim ulama (tokoh agama); harajaon dan pihak keluarga terdiri atas kahanggi (keluarga semarga), mora (keluarga dari gadis), anak boru (keluarga penerima gadis atau pihak laki-laki). Tahapan yang dilakukan diawali dengan pengaduan masyarakat atau orangtua kepada raja pamusung (kepala desa). 

Kemudian dilanjutkan dengan investigasi oleh raja pamusung. Ketika aduan diyakni dengan benar maka raja pamusung akan mengumpulkan hatobangon, alim ulama di Bagas Godang (rumah kepala desa). Kemudian pada pertemuan tersebut akan dipilih oppui sian bagas godang (raja panusunan bulung atau pemimpin sidang di pertemuan tersebut). Selanjutnya dilakukan pembahasan dengan melibatkan keluarga. Apabila anak terbukti melakukan perbuatan yang salah akan diputuskan hukum yang terbaik baginya. 

Ternyata teknis dari penyelenggaraan tersebut mengalami perubahan-perubahan yang menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Faktanya melalui perbandingan dengan penelitian sebelumnya pada kasus konflik yang sama. Teknis penyelenggaraan pada masa sekarang sudah mengalami penyederhanaan. 

Terdapat beberapa bagian persidangan yang ditiadakan. Misalnya, perlu sekali persembahan burangir dan pemukulan canang dalam penyelesaian kasus tersebut (Syahputra, 2019). Dan masyarakat dapat menonton penyelenggaraan persidangan. Pada masa sekarang menurut Dalimunthe (tetua Adat di Desa Ujunggurap) hal tersebut tidak diterapkan secara utuh lagi. Namun masih tetap mempertahankan konsep musyawarah Dalihan Na Tolu dalam penyelesaian konflik. 

Model persidangan juga bersifat tertutup. Sehingga hanya pihak keluarga yang berkonflik, dan para dewan adat saja yang hadir dalam pertemuan tersebut. Selain itu, sanksi adat juga sudah mengalami perubahan. Pada masa dulu, sanksi pada kasus salah langkah atau perbuatan yang tergolong zina ini dapat diterapkan sappal dila atau memotong horbo untuk memberikan makan orang sekampung istilahnya menyuci kampung. Sanksi tambahan lainnya adalah dinikahkan. Namun pada masa sekarang hal ini sudah ditinggalkan. Sanksi hanya berupa menikahkan apabila sudah cukup usia menikah dan memnuhi pertimbangan lainnya. 

Apabila diamati, sistem peradilan adat pada masyarakat Angkola yang berfalsafah Surat Tumbaga Holing bersifat berkembang. Menurut  Djojodigoeno, sifat hukum adat yang demikian ialah statis-dinamis. Perubahan dari model yang terkesan terbuka pada model persidangan tertutup dapat menghindarikan anak dari stigmatisasi dan rasa malu. Penyederhanaan sanksi yang diberikan pada anak yang berkonflik dapat memenuhi hak anak terbebas dari rasa diskriminasi dan tertekan.

Meskipun demikian, masih banyak hal yang perlu diproyeksikan ketika Surat Tumbaga Holing akan dijadikan sebagai alternatif penyelesaian bagi kasus-kasus yang melibatkan anak. Tidak adanya payung hukum yang kuat dalam penyelenggaraan adat istiadat membuat nilai-nilia yang luhur ini tidak mempunyai batas wilayah hukum dalam memenuhi kepentingan masyarakat. Sehingga ketika dihadapkan pada kasus-kasus lainnya. Dewan adat tidak memiliki wewenang penuh. Sehingga tidak heran, ketika kasus-kasus yang terjadi di masyarakat Angkola lebih banyak diselesaikan secara negara. Padahal masyarakat Angkola memiliki nilai yang sangat luarbiasa yang dapat diterapkan dalam memecahkan segala permasalahan khususnya konflik anak.

Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan memotivasi teman-teman untuk semakin mencintai adat istiadatnya.

#Saya bangga menjadi Indonesia, saya bangga dapat belajar adat Istiadat Suku Angkola

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun