Amunisi seorang penulis atau blogger itu tiada lain adalah kata. Lebih tepatnya konten berupa rangkaian kata. Sedangkan blog atau website di mana penulis tersebut menaruh amunisi, yaitu suatu senjata bisa berbentuk: pistol, senjata laras panjang, meriam hingga peluru kendali. Oleh karenanya, masing-masing blogger punya naluri sendiri ke mana amunisi eh kontennya akan ditempatkan dan diarahkan agar tepat mengena sasaran yang dituju, serta memiliki efek tertentu.
Bila menulis di Kompasiana, Anda barangkali berpandangan media ini sebuah meriam, sehingga memiliki jangkauan cukup jauh dan cukup luas. Pula diharapkan mempunyai daya kejut tersendiri. Ketimbang, misalnya, menulis di blog pribadi --mungkin sudah tidak diurus lagi-- yang hanya berupa pistol. Itupun pistol rakitan sehingga daya jangkau dan pengaruh amunisinya relatif kecil, serta sasaran yang hendak dibidik melenceng jauh.
Dengan demikian masing-masing penulis atau blogger memiliki persepsi sendiri tentang media apa yang tepat agar konten yang dibuatnya memiliki pengaruh tertentu. Tergantung niat Anda sebagai peracik amunisi atau konten tersebut.
Segi lain di samping perumpamaan sebuah amunisi pada laras senjata seperti halnya konten yang kita buat di suatu blog atau website, di Kompasiana ini kurang lebih tiga tahun silam saya mengibaratkan aktivitas menulis itu sama halnya membuat masakan. Sebagai produsen, kita adalah seorang koki, dengan produk masakan berupa konten/tulisan. Menu yang tersaji berupa fitur kategori. Kompasiana kurang lebih warung makan atau restoran. Sedangkan pengunjung restoran yang menyantap masakan tersebut, adalah pembaca konten sang Kompasianer. Lihat tulisan saya sebelumnya, dan klik "Menulis itu Ibarat Membuat Masakan".
Setelah saya pahami mendalam berdasarkan keyakinan agama yang dianut, seperti halnya masakan perlu "halalan toyyiban", ternyata konten yang kita buat sebagai penulis atau blogger itu juga wajib "halalan toyyiban". Dijamin halal 100 %.
Halalan dalam suatu konten mengandung arti dibuat berdasarkan olah cipta, olah rasa dan olah karsa sang penulisnya. Ia bebas dari ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Jadi, bukan konten dari hasil salin tempel (copy paste) orang lain yang diakui sebagai karya sendiri.
Bergandengan dengan itu, apabila kita melakukan copy paste, dalam kacamata ajaran agama, bermakna tidak halal alias haram. Sementara dalam konteks akademis, copy paste merupakan perbuatan haram. Suatu pelanggaran etika terberat dan tidak termaafkan.
Oleh karena itu, kita tidak usah malu-malu mencantumkan sumber tulisan atau link manakala mengutip sebagian (atau keseluruhan) suatu konten yang dibuat orang lain. Termasuk di sini konten berupa foto, harus jelas dari mana sumbernya. Link atau tautan tersebut musti bisa diklik oleh pembaca bersangkutan. Di samping sebagai verifikasi, juga sebagai penghargaan atas jerih payah produsen konten aslinya.
Toyyiban dapat diartikan konten yang kita buat mencerahkan cakrawala pengetahuan, mengandung segi-segi manfaat jiwa raga, dan mengundang selera bagi pembaca, serta membawa berkah bahkan bagi orang lain yang mungkin tidak membaca konten yang kita buat (orang lain itu mendapat pengetahuan dari orang yang membaca tulisan kita).
Sesuatu yang "halalan toyyiban", entah itu berupa makanan di sebuah rumah, warung makan atau, restoran dan sebagainya atau konten/tulisan yang kita buat di suatu website, niscaya berfaedah, bergizi tinggi dan pada akhirnya menyehatkan jiwa raga. Baik bagi si produsen konten maupun konsumennya.
Jika Anda melakukan tindak salin tempel atau copy paste, raga Anda mungkin sehat... namun jiwa Anda tengah sakit. Waspadalah!