Kedua, pasca merayakan ulang tahun ke-5 anak pertama pada 2003, seorang keponakan saya usia 4 tahun yang sangat badung, main petak umpet dengan teriak-teriak di lantai atas. Berlari-lari naik turun tangga, dan menutup pintu di kamar atas dengan suara keras. Entah bagaimana kejadiannya, sekonyong-konyong ia terjatuh dari beranda lantai atas. Menembus flapon plastik di atas beranda lantai satu. Akhirnya si keponakan itu tangan kanannya sampai digift segala. Beberapa waktu kemudian, dengan didampingi ibunya saya tanyakan mengapa ia bisa jatuh? Ia mengatakan ada orang tua yang mendorongnya. Saya dengan adik kandung (si ibu keponakan) hanya saling berpandang-pandangan dan terlongo-longo.
Selama hampir tiga tahun tinggal di favilun tersebut, saya dan istri belum pernah melihat seperti apa "wujud" dari penghuni lain rumah itu. Istri yang saat itu acapkali saya tinggal ke luar kota untungnya bukan tipe istri penakut. Hanya ia bercerita saat saya tinggal dinas ke luar kota, tidurnya bersama anak-anak di lantai satu dengan menghidupkan televisi sehari semalam.
Namun ada hikmahnya pula saya mengontrak faviliun rumah itu. Setelah satu tahun kontrak berakhir, dengan alasan rumah itu agak angker saya mengajukan tawaran memperpanjang kontrak dua tahun ke depannya di bawah harga pasaran. Si pemilik bangunan rumah yang juga anak sulung penghuni rumah induk akhirnya menyetujui. Akhirnya saya membayar tunai Rp 3,8 juta untuk masa kontrak dua tahun (1 Agustus 2002 hingga 31 Juli 2004). Dengan tipe yang nyaris sama, estimasi saya harga kontraknya mencapai Rp 5 juta. Alhamdulillah.
Berkat hantu...
*****
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI