[caption id="attachment_3029" align="alignleft" width="225" caption="Pengamen di Bonbin Ragunan (dwiki file)"][/caption]
"GIMANA dik, anda ngamen kan untuk menghibur. Kok nggak hapal lagu?" Demikian ungkapan hati dan pertanyaan saya pada beberapa anak muda belia yang tengah ngamen di depan pintu gerbang rumah. Soalnya, kepada pengamen dengan alat musik lengkap itu saya meminta untuk menghibur saya dan keluarga sebanyak 10 buah lagu berturut-turut. Belum 5 lagu, mereka sudah menyerah. Sampai saya berkelakar pada mereka, "Ya sudah, nyanyi lagu-lagu anak mulai dari "Bintang Kecil", "Pelangi-pelangi", "Balonku" dan seterusnya pun boleh."
Yang terjadi kemudian, mereka menyanyikan lagu anak-anak itu. Dan saya pun terus terang tidak bisa menahan tawa lantaran mereka membawakannya dengan malu-malu. Anak terkecil saya saat itu yang masih berumur 2 tahun pun malahan ikut menirukan lirik lagu yang dibawakan. Bahkan karena cukup gaduh dengan suara bas yang bunyinya "genjrang-genjreng", anak-anak tetangga ikut mengerubunginya.
Tidak lupa, kepada mereka saya minta istri menyediakan air putih dingin beserta sirup. Setelah menyanyi lumayan agak lama, mereka semua menenggak minuman yang telah disediakan. "Baru kali ini Pak, ada yang minta menyanyikan lagu hingga 10 buah sekaligus," kata salah satu dari mereka. "Makanya, sebelum ngamen itu harus disiapkan dulu lagu-lagu apa yang akan dibawakannya," ujar saya diiringi "cengengesan" mereka.
Perlu juga diketahui setiap hari ada saja pengamen --sendirian atau berombongan-- yang mendatangi rumah. Mulai dari yang membawa alat musik gitar, bas, bekas botol minuman berisi beras hingga yang tidak membawa alat musik apapun.
Pernah pula didatangi 3 orang pengamen dengan berpakaian adat Jawa lengkap. Yang laki-laki memakai setelan jas berblangkon, sedang perempuannya memakai kebaya dengan rambut bersanggul. Alat musiknya, 2 buah alat gamelan berupa gambang dan rebab. Dibawakan oleh 2 laki-laki, sedang si perempuannya sebagai penyanyi atau sinden.
Saya minta dibawakan lagu "Yen Ing Tawang Ono Lintang" dan "Ande-ande Lumut". Dan mereka mampu membawakannya dengan sangat baik. Untuk pengamen semacam ini, saya tidak ragu-ragu merogok kocek agak banyak sebagai apresiasi kepada mereka. Mengingatkan masa-masa kecil saya di sebuah pedesaan di Klaten. Saat itu belum ada VCD atau DVD. Orang-orang desa memutarnya memakai kaset, dan suara yang keluar dari speaker sengaja dengan volume cukup keras. Sehingga terkadang, dari pematang persawahan yang agak jauh dari desa terdekat, alunan lagu itu terdengar sayup-sayup. Merdu dan melenakan...
***
Saya sendiri berpandangan, bahwa mengamen itu suatu profesi. Bukan selingan hanya untuk mendapatkan sekedar "uang rokok" atau foya-foya pengamennya. Sebagai suatu profesi, tentunya bagi pengamen sendiri dituntut untuk memperkaya khazanah lagu-lagu yang akan dibawakannya kepada publik. Dari satu rumah ke rumah lainnya, panggung satu ke panggung lainya, dan angkutan umum satu ke angkutan umum lainnya.
Di angkutan umum mikrolet, saya pernah bersitegang dengan seorang pengamen. Sebelum menyanyi, ia "berpidato" bila baru saja keluar dari penjara karena suatu kasus pembunuhan. Dan blablabla lainnya.
Lantas ia menyanyi dengan diiringi alat musik botol bekas minuman berisi beras. Baru beberapa baris lagu dinyanyikan, ia sudahi nyanyinya dengan sedikit "memaksa" penumpang memberi uang jasa. Tangan kanan si pengamen itu menengadah persis dihadapan saya. Saya hanya bilang, "Kalau lagunya tadi diselesaikan hingga lirik terakhir, akan saya beri. Karena hanya sepenggal, mohon maaf Mas." Di luar dugaan, ia mengumpat dan marah-marah sembari matanya tajam menatap saya. Untungnya, ada seorang bapak muda yang duduk di samping sopir "membela" saya dan membentaknya untuk segera turun dari mikrolet.