[caption id="attachment_93663" align="alignleft" width="300" caption="tautan aroma buih susu, kopi, dan coklat mewakili semua kata"][/caption]
Dua orang sahabat bertemu lagi setelah berpisah 35 tahun lamanya. Di sebuah café mereka berbicara. Awalnya mereka seperti dua tokoh di panggung boneka. Geraknya patah-patah dan kaku. Waktu seakan mengeraskan sendi-sendi mereka. Sesudah lelaki itu memesan cappuccino dan wanita itu memesan coklat panas, kata-kata mencair dalam mulut mereka. Sendi dan otot merekapun lebih luwes karena terhangati. Otot wajah bisa tersenyum tertawa.
Lali-laki itu mulai berkata-kata walau barupada teguk kedua cappuccino-nya: “bla bla bla dan blab bla … “
Mata dan bibir wanita itu memberi isyarat bahwa dia ingin bicara. Tetapi laki-laki itu tetap pada ceritanya. Pada isyarat yang kedua, laki-laki itu sadar dan berkata:
“Oh maaf tadi mau berkata apa?”
“Oh … selesaikan dulu saja…” senyum mengembang dalam kebun wajahnya. Lalu laki-laki itupun terus bercerita: “bla bla bla dan bla bla bla …”
Kembali mata wanita itu membinar dan bibirnya sedikit terbuka bersiap untuk bicara. Ini isyaratnya yang ketiga.
“Oh maaf … ini giliranmu bercerita…” kata laki-laki itu. Keduanya saling pandang. Wanita itu tersenyum:
“never mind, nggak jadi saja …” Lalu mereka berdua terdiam, masih dalam senyum dan saling pandang.
Memang kata-kata tak akan cukup merangkum 35 tahun. Bau kopi, buih susu, dan coklat bertaut mengambang di udara dan mewakili semua kata-kata, jujur tanpa kebohongan, tanpa kepalsuan, tanpa bualan.
***
(memoar obrolan dalam diam)
ilustrasi diunduh dari image bank
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H