Mama.. orang bilang aku apatis, Orang bilang aku sedikit autis, dan juga tidak kritis..
Ma, apakah benar begitu?
Ma, Bukankah tindakan itu ujud nyata dari kata,
aku merasa apa yang aku lakukan seharusnya cukup untuk menjelaskan realita,
tapi mengapa tetap tidak terbaca?
Ma, jikalah memang bicara itu bersinggah lebih diatas tindakan,
mengapa orang juga menekankan ujud nyata?.
Kenapa tak sekalian saja kenyataan itu diwujudkan langsung?.
Uh banyak maunya!
Ma, tapi aku tau, inilah hidup. Dan yang punya hak hidup bukan hanya aku,
jadi toleransi kupikir wajib digalakan
Aku pun tak mau sampai mereka meniadakan hak hidupku!
mau atau tidak, aku harus mengikuti aturan main kehidupan.
Ma, kau mungkin tau, aku mulai mencintai diam, sejak bicara itu ku dapati menjadi sangat tak berarti tanpa tindakan, janji-janji orang yang membusa tanpa nyata,
bualan yang menambah nyaringnya tong sampah kosong
dan sejak aku tak mau mama tau tentang apa itu kelam!
Aku mulai enggan bicara, bukan berarti tidak bicara sama sekali maa.
Tapi ternyata itu belum cukup, mereka memintaku lebih.
Ma, kalau boleh aku minta, ajari aku bicara lagi,
seperti ketika dulu mama mengajariku bersuara, melenturkan otot rahangku, mengucap tanpa beban kata “mamaa”, “papaa”, tanpa kenal lelah.
mama, ajari aku kembali berbicara tentang kejujuran..
tentang ketulusan.. tentang kehangatan, kasih sayang dan sedikit banyolan.
Ajari aku menyanyi, menjerit, merengek dan memaki sekalipun! (dengan bermakna)
Sehingga aku tak selalu diam
ajari aku cara mengungkapkan lewat kata sebelum membuatnya nyata.
Mama ajari aku mahir berucap rasa padamu dengan leluasa,
pun ajari aku berani mengatakan “aku rindu mama…”
#mama, ku tunggu kau dirumah merah kita :')
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H