Kadang dalam hati saya timbul pertanyaan, mengapa penggunaan kata tewas tidak dibedakan untuk seorang anak dengan seorang teroris, residivis begal dan perampok, serta maling ya? Padahal secara substansial, kedudukan para korban sangatlah bertolak belakang. Korban pada contoh pertama adalah anak-anak. Sementara pada contoh kedua, korbannya adalah teroris, residivis begal dan perampok, serta maling. Kita tentu memiliki definisi masing-masing tentang siapa itu anak, dan siapa itu teroris, siapa residivis begal dan perampok, serta siapa itu maling?
Bagi kita, seorang anak adalah buah hati dan karunia titipan Tuhan. Sedangkan teroris, residivis begal, perampok, dan maling adalah seorang yang melakukan tindakan teror, menimbulkan ketakutan, tindakan merampas, dan mengambil paksa hak milik orang lain. Sikap mereka ini jelaslah bertentangan dengan sikap anak-anak kita sebagai buah hati dan karunia titipan Tuhan.
Meski keduanya berbeda dan bertolak belakang, namun dalam hal berbahasa, kematian mereka sama, yakni sama-sama tewas.
Tidak tega “rasanya” melihat anak-anak dikatakan tewas, meski mereka “meninggal” terkena wabah, kecelakaan, maupun musibah.
Semoga arwah mereka diterimaNya. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H