Mohon tunggu...
Dwi Ayu Lestari
Dwi Ayu Lestari Mohon Tunggu... profesional -

penulis amatir yang kan terus menulis.. memperbaiki kesalahan dan bercita2 menjadi penulis profesional

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gadis Pantai itu, Siapa?

18 Mei 2014   21:56 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:23 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pulau Belitung, November 2013

Semilir angin menghembuskan helaian demi helaian rambutnya yang tergerai saja. Wanita itu masih muda, mungkin seumuran denganku, wajahnya yang putih terlihat lebih pucat hari ini, tepatnya lebih pucat dari hari-hari kemarin. Dan tubuhnya semakin terlihat kurus.

Ini sudah hari ketiga aku melihatnya seperti ini, ditempat yang sama saat aku pertama kali menemukannya. Hari itu saat aku berjalan-jalan menyusuri pantai Tanjung Tinggi sendirian, tak sengaja aku menemukan wanita ini, sedang menatap laut dari balik jendela kamar tidurnya. Seperti ada sesuatu yang membuat dia terus saja menatap laut setiap harinya, mungkin sebuah penyesalan, atau tentang sebuah penantian. Akupun tak mengerti.

“dari mana saja kamu An? Kami kira kamu nyasar gak tau jalan pulang.” Tanya mbak Arni saat melihatku masuk kerumahnya.

“cuma berjalan-jalan sebentar mbak. Mencari udara segar” jawabku singkat

“kepantai lagi?”

Aku hanya mengangguk pelan. Dan pergi kekamar tamu, tepatnya ini kamar anaknya yang ia pinjamkan untuk aku tempati satu minggu ini. Ya, aku menyebrang ke pulau Belitung ini bukan benar-benar ingin berlibur. Tapi karena aku mendapatkan panggilan wawancara pekerjaan disini. Sebenarnya ini sudah kali kedua aku menumpang tinggal di rumah mbak Arni, kakak kandungku. Yang pertama kali saat aku mengikuti tes tertulis, dan ini yang kedua untuk mengikuti tes wawancara.

“mbak kenal tidak dengan wanita yang rumahnya dipinggir pantai Tanjung Tinggi, yang selalu menatap ke arah laut?” pertanyaanku saat makan malam itu membuat mbak Arni dan suaminya, mas Galuh mengerenyitkan kening, sedangkan Aulia, anak mereka yang masih berusia tiga tahun tampak tak ambil pusing, ia terus saja menyuapkan sedikit demi sedikit nasi beserta lauk pauknya kedalam mulut mungilnya itu.

“ciri-cirinya seperti apa? Mungkin saja mbak tau”

“wajahnya cantik, kulitnya putih, lebih tepatnya sih pucat. Rambutnya sebahu, hitam dan selalu dibiarkan tergerai. Rumahnya dibibir pantai, dan dengan jendela yang tepat menghadap laut”

Tak ada yang menjawab, mereka lagi-lagi mengerenyitkan keningnya.

“entah. Rasanya tak ada wanita dengan ciri-ciri seperti yang kamu sebutkan disini. Atau mungkin dia warga baru” jawab mbak Arni. Kini mataku beralih ke mas Galuh yang bukannya memikirkan jawaban dari pertanyaanku, dia malah asyik dengan kepitingnya. Mas Galuh yang sadar dengan tatapanku akhirnya menghentikan sejenak aktivitasnya.

“sama, mas juga gak tau kalau ada cewek cantik seperti ciri-ciri yang kamu sebutkan. Lagipula seingat mas, gak ada tuh rumah yang tepat dibibir pantai” mas Galuh berpikir sejenak. “jangan-jangan itu rumah hantu!” mas Galuh berteriak.

“mas, jangan berteriak seperti itu dong. Liat nih Aulia jadi nangis kan” mbak Anripun mendekati, dan membujuk Aulia agar berhenti menangis. “lagian jangan nakut-nakutin ah, ini kan malam jum’at, mas”

“Loh, kenapa memangnya? Gak ada masalah dengan malam jumat. Kalau mau cerita yang menakutkan seperti itu gak ngaruh mau malam jum’at kek, malam minggu kek, malam senin kek, kamu juga selalu bilang begitu. Jangan nakut-nakutin mas. Dan bla-bla-bla” mas Galuh dan mbak Arin akhirnya berdebat dengan hal kecil semacam itu. aku memutuskan untuk kembali kekamar dan meninggalkan mereka.

Siapa sebenarnya wanita itu? ingin rasanya aku mendekatinya dan bertanya apa yang sebenarnya ia perhatikan? Sebagai sesama wanita aku merasakan seperti ada sebuah rahasia yang ia sembunyikan dari orang-orang.

Aku jadi ingat dengan kehidupanku dulu yang begitu banyak menyembunyikan rahasia dari orang-orang yang menyayangiku, tentang kehidupan liarku bersama beberapa lelaki, tentang narkoba, tentang minuman keras, tentang pencurian, dan banyak hal lain lagi yang aku sembunyikan. Hatiku terasa sakit saat mengingat semua kelakuan bodohku saat dulu. Dan sekarang aku sedang mencoba menjadi wanita ‘normal’, setelah bertemu dengan seorang laki-laki yang mengajak aku mengenal lebih dalam tentang agamaku. Mungkinkah wanita itu mengalami hal yang sama seperti yang aku lakukan?

Hari ini, aku harus mengurungkan niatku untuk mengunjungi wanita itu, karena jadwal wawancaraku tiba-tiba saja dimajukan. Ah, mungkin besok aku bisa bertemu dengannya.

Tiga hari sudah aku melakukan wawancara, dan berarti tiga hari sudah aku tak melihat wanita itu. Ini sudah jauh dari apa yang aku rencanakan.

“benar-benar wawancara yang menyebalkan. Apa mereka tak bisa hanya melakukan wawancara sekali saja? Pertanyaan yang di ajukan juga sama, hanya orangnya saja yang berbeda” itu kata-kata yang keluar saat aku baru saja menyelesaikan wawancara ketigaku.

“dengan banyaknya orang, berarti banyak pula kesimpulan yang di ambil, jadi banyak pertimbangannya. Mungkin saja di orang pertama kamu dinyatakan gugur, tapi orang kedua dan ketiga menyatakan kamu lulus. Ya berarti kesimpulan akhirnya kamu dinyatakan lulus. Seperti kontes-kontes acara musik itu loh” jelas mbak Arni panjang lebar.

Ingin aku membalas dengan argumenku, tapi rasanya percuma. Aku hanya menganggat kedua bahuku untuk mengakhiri pembicaraan ini, dan pergi menuju kamar mandi sekedar untuk membersihkan tubuh dan menjernihkan pikiran.

Malam ini, saat aku menatap langit yang bertabur bintang. Bayangan wajah wanita itu muncul. Sejuta pertanyaan lagi-lagi menghantuiku. Wanita itu harus aku temui.

“hei, Ana!” mbak Arni membuyarkan lamunanku.

“mbak Arni ini, mengagetkan saja. Ada apa sih?”aku mencoba menenangkan hati yang bergemuruh karena rasa kaget. Hampir saja aku terjatuh dari dari kursi.

“dari tadi mbak manggil-manggil kamu tapi kamu gak denger. Apa sih yang kamu pikirkan? Tiket pulang? Tuh tadi siang sudah mbak belikan tiket pesawatmu. Besok jam 11 siang jadwal penerbangannya. Pakaianmu sudah dibereskan?”

“ah, mbak Arni kok gak kasih tau aku lagi kalau mau beli tiket pesawat. Uangku gak cukup buat bayar tiket pesawat mbak. Cuma cukup buat beli tiket kapal. Trus gimana aku harus ganti uang mbak?”

halah cuma sekali ini kok. Gak apa-apa lah, gak usah diganti.” Mbak Arni menepuk pundakku.

“bener mbak gak perlu diganti uangnya?” tanyaku bersemangat.

“iya” jawab mbak Arni singkat. Langsung saja kupeluk, dan kucium wanita bertubuh mungil yang ada dihadapanku itu seraya berterima kasih.

Pagi-pagi sekali aku sudah meninggalkan rumah , bukan untuk kebandara. Tapi untuk menuju ke pantai, dan menemui wanita itu.

Pantai masih sangat sepi. Tak terlihat ada wisatawan yang berkunjung, maklum ini baru pukul 7 pagi. Orang-orang masih sibuk dengan urusan rumah tangganya, sedangkan aku sudah berkeliaran dibibir pantai.

Wanita itu belum terlihat, pintu dan jendela rumahnya masih tertutup rapat. Kulihat arloji yang melingkar dipergelangan tangan kiriku, masih ada waktu untuk menunggu. Akupun memutuskan untuk mencari warung, dan mengisi perutku dengan makanan kecil.

Setengah jam sudah aku makan diwarung, dan entah sejak kapan jendela itu terbuka, aku tak tahu. Aku bergegas mendekati jendela itu untuk menemuinya. Rambutnya benar-benar hitam berkilau. Tapi wajahnya benar-benar pucat, dan tubuhnya benar-benar kurus, ia terlihat benar-benar buruk dari dekat seperti ini, Wanita yang menyedihkan.

“hai” sapaku padanya.

Tak ada jawaban. Ku ulangi lagi sapaanku itu. tetap tak ada jawaban. Wanita ini, apa yang sebenarnya ia pikirkan?

“hai, boleh aku berkenalan denganmu?” lagi-lagi tak ada jawaban, dan tak ada respon. “maaf, apa kau tak bisa mendengar?” kulambaikan tangan didepan wajahnya. Ia akhirnya merespon. Ah, mungkin ia benar-benar tuli. Batinku bicara

Ia menatap mataku, dalam sekali. Kemudian tersenyum, sebelum kembali menatap laut. Akupun mencoba menikmati pemandangan laut seperti yang ia lakukan, kusandarkan tubuhku didinding rumah kayu berwarna biru yang mulai pudar itu. Menatap laut dari sini benar-benar menakjubkan, laut tampak lebih biru, dengan ombak yang berderu pelan, batu karang terlihat lebih kecil dari ukuran biasa, dan matahari yang baru menanjak naik terlihat manis sekali. Pantas saja ia tak bergeming di balik jendela ini. Ada penyesalan dalam diriku, mengapa tak dari awal aku menemukan pemandangan yang menakjubkan seperti ini.

“indah sekali”aku berujar

Lagi-lagi ia hanya tersenyum padaku. sepertinya ia tak tuli. Ia merespon perkataanku tadi, meskipun hanya dengan senyuman. Ringtone lagu don’t forget dari Demi lovato menyadarkan aku dari lamunan. Nama mas Galuh muncul dilayar handphoneku

“ya mas, ini aku baru mau pulang”

“kamu ini, pagi-pagi sudah menghilang dari rumah. Ini sudah jam sepuluh, perjalanan ke bandara makan waktu setengah jam. Dan bla,bla,bla”

Ku jauhkan telingaku dari telepon genggam itu, terdengar samar-samar mas Galuh masih bicara, dan menyuruhku pulang.

“untuk terakhir kalinya, boleh aku berkenalan denganmu?”aku menjulurkan tanganku “aku Ana. Dan kamu?”

Ia pun menjabat tanganku. “Mia” jawabnya singkat. Tangannya dingin sekali.

“kalau kamu kedinginan, lebih baik kamu masuk dan tutup jendela ini, lagian tak baik sering terkena angin laut.” Lagi-lagi ia hanya tersenyum.

Hilang sudah rasa penasaranku tentang wanita itu, ia bukannya menyimpan penyesalan ataupun menanti seseorang, ia hanya tak mau meninggalkan keindahan pantai. Akupun bergegas meninggalkannya, dan pulang. Ah, terbayang sudah bagaimana ocehan mbak Arni dan mas Galuh saat aku tiba dirumah nanti.

Dan benar saja, semua menjadi kenyataan. bahkan bukan dirumah saja mereka berdua memarahiku, tapi selama setengah jam perjalanan mereka terus saja bicara bergantian, dan tiba-tiba saja berhenti sendiri saat aku akan memasuki bandara. Mbak Arni memelukku erat.

“hati-hati dijalan ya, jangan lupa berdoa” bisik mbak Arni diselah isak tangisnya.

“iya mbak” jawabku singkat, aku tak mau menangis dihadapan mbak Arni, kalau itu terjadi bukannya menghentikan tangisan mbak Arni, tapi malah membuatnya semakin sedih.

Palembang, November 2013

Aku kembali ke kota asal, kembali kerutintas seperti semula. Kembali kepekerjaan semula, kembali keteman-teman semula, dan kembali menikmati hari-hari bersama calon suamiku, Dani.

Hari ini masih hitungan cuti, jadi aku memutuskan untuk menikmati waktu libur bersama mas Dani. Sekedar untuk berbagi cerita selama di Belitung, ataupun mendengarkan ceritanya selama aku tinggalkan.

Wanita itu, aku terperanjat bukan main saat melihat wanita yang aku temui di Belitung, sekarang ada dihadapanku, sedang berbincang dengan teman-temannya. Ia tampak lebih segar sekarang, tapi senyumnya berbeda.

“kamu mau kemana, An?” Tanya mas Dani.

“itu wanita yang aku ceritakan mas, wanita yang aku temui saat di Belitung”

Lagi-lagi rasa penasaran, mendorong aku untuk menemui wanita itu.

“hai” sapaku menghentikan tawa mereka semua. Wanita itupun menatapku, tapi tatapannya aneh, seperti tak mengenaliku.

“ya, ada apa?” tanyanya padaku

“hai Mia, ini aku Ana”

Seperti baru mengingat sesuatu, iapun akhirnya tersenyum.

“oh kamu pasti teman kakakku, Mia. Aku Mila adik kandungnya” ia menyodorkan tangannya kearahku. Akupun menjabatnya. Meskipun tak percaya tapi aku mencoba mengerti.

“kamu adiknya. Tapi kalian benar-benar mirip sekali.”

“ya, begitulah kata orang-orang. Tapi sekalipun aku belum pernah melihatnya secara langsung, bahkan sampai ia meninggalpun aku tak pernah bertemu dengannya”

“meninggal katamu? Kau bercanda? Pagi tadi sebelum pulang ke Palembang, aku masih sempat bertemu dengannya disebuah rumah di Belitung. Bahkan bukan hanya bertemu, kami juga bicara”

“kakakku sudah meninggal sejak dua tahun lalu, ia memang tinggal di Belitung bersama nenek. Ayah dan ibuku bercerai, dan memisahkan kami sejak masih kecil. Tapi ia sudah meninggal, dan rumah itu sudah lama digusur, karena tak ada yang menempatinya, nenekku juga sudah tinggal bersama kami, sedangkan ayahku entah dimana rimbanya” ia menjelaskan panjang lebar padaku. “ini foto yang terakhir ia kirimkan padaku dua tahun lalu” ia menyodorkan sebuah foto kepadaku. Benar, ini fotonya, tubuhnya kurus, kulitnya putih, dan ranbutnya hitam berkilau.

Kakiku seperti mati rasa, aku terduduk dilantai, tak percaya dengan kenyataan yang sebenarnya. Lalu siapa wanita yang aku temui tadi pagi? Siapa wanita yang menjabat tanganku pagi tadi? Handphoneku tiba-tiba saja berdering. Tanpa melihat nama siapa yang muncul, aku angkat telpon itu

“hallo Ana. Ini mbak Arni, ada mas Galuh juga disini. Tadi mas Galuh ke pantai Tanjung Tinggi untuk urusan kantor. Sekalian saja mau cari rumah wanita yang kamu bicarakan kemarin itu. tapi kata mas Galuh gak ada rumah seperti yang kamu sebutkan.”

“ini mas Galuh, An. Tadi juga sempat mas tanya sama orang-orang yang tinggal disana, tapi katanya gak ada rumah seperti itu. oh ya ada satu ibu-ibu yang bilangmemang ada rumah seperti itu, tapi beberapa bulan yang lalu rumahnya sudah digusur, karena tak berpenghuni lagi. Katanya juga seorang gadis meninggal dua tahun lalu, entah karena apa.”

Penjelasan mas Galuh semakin membuatku lemas, mataku berkunang-kunang, kulihat samar-samar sosok mas Dani mendekatiku sebelum aku akhirnya kehilangan kesadaran, pingsan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun