Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Zaman Ketika Publik Figur Harus Tebal Muka terhadap "Olok-Olok" Media Sosial

8 Juli 2024   16:05 Diperbarui: 9 Juli 2024   07:47 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI | KOMPAS/SUPRIYANTO

Hidup di era keterbukaan sekarang ini perlu pasang kuda-kuda untuk menebalkan muka, kuat mental menerima nyinyiran dan kritikan yang bahkan bisa dikatakan di luar nalar. Olok-olok, nyinyiran dan kritikan tajam sudah menjadi makanan sehari-hari. Nah jika anda ingin jadi politisi, ikut pilkada, masuk dalam lingkaran kekuasaan, selebritas, publik Figur harus siap menerima kritikan cibiran dan berbagai liputan media yang entah benar atau hanya hoaks saja.

Dunia Olok-Olok di Media Sosial

Olok-olok itu sudah menjadi habit yang susah dihilangkan, Hal ini karena selalu ada perbedaan sudut pandang dalam setiap pribadi manusia. Kompleksitas masalah muncul ketika pengguna gadget, pemilik akun, konten kreator,  hacker, buzzer, influencer membuat dunia maya ramai oleh riuh renda isu yang dibiarkan viral.

Sosok politisi baru, dengan pengalaman yang dianggap minim dalam dunia politik, lebih terbantu karena kedekatan dengan lingkaran kekuasaan akan mudah mendapat sorotan. Anak presiden, anak pejabat, selebriti pengusaha tajir melintir mendapat porsi lebih.

Yang berada di pihak oposisi yang mengecilkan volumenya untuk melihat rekam jejak positifnya, mereka cenderung mengabaikan karena mereka lebih suka celah kelemahan dari sosok yang sedang disorot tersebut. Keseleo lidah, pernyataan yang kontroversial, model rambut, mimik muka, latar belakang pendidikan bisa diulik-ulik untuk mendapatkan topik tepi jurang.

Berita yang menampilkan kontroversi lebih disukai karena potensi akan viral.  Dalam dunia politik sepak terjang Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep mendapat porsi lebih dibanding calon bupati, calon gubernur yang "tidak bernilai berita".

Maka sorotan terhadap sosok yang termasuk kontroversial seperti Gibran yang di media diframing sebagai anak muda yang tenar, bisa terpilih karena sosok Jokowi sebagai pucuk pimpinan pemerintahan saat ini.

Bagi oposisi apa istimewanya anak presiden, meskipun terpilih menjadi Wakil Presiden banyak jalan yang ditebas hingga bisa mulus sampai terpilih. Di media yang banyak dilihat netizen seperti You Tube, Instagram, Tik Tok, berbagai komentar datang dengan beragam sudut pandang.

Bagi netizen yang obyektif bisa dikatakan komentarnya cenderung mengandung kehati-hatian, penuh analisis dari berbagai referensi, bagi pendukung ia akan selalu menerima apa adanya tokoh yang tengah dipujanya, sedangkan bagi yang sejak awal benci akan lebih memilih cerita-cerita negatif dibalik 'popularitas seorang tokoh yang tengah dibicarakan tersebut.

Yang terbaru dari dunia selebriti adalah kontroversi diajukannya Marshel Widianto seorang komika atau komedian menjadi bacalon wakil wali kota Tangerang Selatan.

Sosok Marshel Widianto yang kata rekan selebritinya seperti Nikita Mirzani sangat tidak layak untuk dicalonkan. Alasannya kinerja dan rekam jejaknya kurang baik, ia pernah cabut dari managemen milik Denny Cagur secara tidak baik-baik.

Marshel juga dinilai kurang punya attitude yang baik dalam hubungannya dengan sesama rekan selebritis, lebih piawai menjadi penjilat dan sering mendekati pengusaha, orang kaya dan penguasa dengan tujuan tertentu. Itu yang penulis kulik dari berbagai informasi di media online, bukan berarti saya setuju dengan pendapat Nikita Mirzani karena saya hanya merangkum pendapat dari berbagai berita yang dicomot dari media selebriti, podcast, facebook atau instagram.

Tribunnews.com
Tribunnews.com

Framing Media dan Kenyataan

Kesan negatif yang disematkan sosok tertentu itu tentu harus ditepis sendiri oleh calon politikus, calon pejabat melalui kinerjanya. Marshel Widianto harus bisa menjawab isu negatif yang menerpa dirinya.

Jika terpilih ia harus membuktikan bahwa apa yang selama ini menjadi bahan gosip dan tuduhan minor itu tidak benar. Demikian juga dengan Gibran, Kaesang yang dianggap karbitan, pansos karena ia 'anak presiden" yang bisa dengan mudah mendulang suara dengan "cawe-cawe presiden".

Penghakiman netizen benar-benar luar biasa. Mereka akan menyerang tokoh yang tidak disukai, Mereka akan mencari berita-berita gosip, hoaks, opini yang dijadikan referensi. Gibran, Kaesang, Marshel sudah masuk dalam rimba "Lingkaran kekuasaan" Banyak musuh yang akan menyerang dengan berbagai cara, dengan penggiringan opini, dengan narasi yang benar-benar halus, menohok dan bisa dikatakan lahir dari sumber terpercaya.

Gibran misalnya meskipun terpilih sebagai wakil presiden, ia tidak luput dari berita minor tentang keterlibatan ordal seperti pamannya yang di MK, bapaknya yang masih berkuasa dan konflik dengan partai yang sebelumnya mengangkatnya sebagai sebuah pengkianat.

Tetapi rupanya berbagai isu dan berita negatif tidak bisa membendungnya untuk mendapatkan suara signifikan di Pemilu 2024. Ia menang dengan perolehan luar biasa mengalahkan kandidat yang dinilai lebih intelek dan populer di mata rakyat.

Rupanya pembelahan itu muncul karena banyaknya aktivitas di media sosial, mereka yang memanfaatkan untuk menjadi konten kreator, membuat jurnalistik independen, jurnalistik dalam tanda kutip"titipan".

Komposisi oposisi, dan protagonis yang hampir seimbang itu menampilkan perbedaan antara pendukung dan penghujat. Media tentu senang dengan aktivitas netizen karena mendatangkan cuan, bertambahnya follower, dan tentu saja adsen yang bisa menambah pundi-punci uang.

Banyak akun-akun "hantu" yang bertebaran. Terus mendengung dan membuat ramai media. Buzer-buzer terus memainkan emosi dan netizen protagonis pun membalas, suasana jadi ramai, penuh drama-penuh polemik. Itu terjadi di dunia maya.

Namun pada kenyataannya di dunia nyata, framing negatif pada seorang tokoh itu kadangkala tidak seutuhnya bisa membunuh karakter sang tokoh yang tersorot.

Nyatanya Gibran misalnya ketika mendapat serangan negatif tentang dirinya dan juga kritikan tajam komika, politisi senior, seniman nkawakan ia tetap melenggang maju sebagai calon wakil presiden.

Begitu juga "mungkin" Marshel Widianto. Jika alam membelanya seperti halnya Komeng yang mendapat atensi luar biasa masyarakat Jawa Barat dengan aksi foto uniknya sontak tanpa pikir panjang Komeng mendapat suara banyak  sebagai anggota DPD mewakili dapil Jawa Barat.

Olok-olok di dunia maya tampak sebagai fenomena, muncul dari netizen yang gatal ingin memberikan pendapat, ikut menyumbang pemikiran dengan melontarkan kritikan terhadap tokoh yang dinilai penuh kontroversial. Terkadang tokoh yang mendapat serangan masif itu di dunia nyata malah panen simpati, panen perhatian sehingga ketika melakukan blusukan masyarakat antusias menyambutnya.

Contoh di bidang olah raga misalnya Cristiano Ronaldo. Di media online atau media sosial ia sangat terkenal, berbagai julukan datang dari fans fanatiknya dan juga buzzer serta hackernya. Semakin diserang semakin pula datang pembelaan. Yang diuntungkan ya Cristiano Ronaldo. Ia menjadi tokoh sentral yang mendapat simpati sekaligus olok-olok dan umpatan.

Hasilnya tidak ada yang seterkenal CR 7. Secara tidak langsung buzzer membuat sang tokoh itu semakin dikenal, semakin banyak dibicarakan baik dari sudut pandang positif maupun negatif.

Demikian yang terjadi dengan penguasa. Jokowi menjadi tokoh visioner dan melakukan terobosan pembangunan yang luar biasa terutama dalam hal infrastruktur.

Banyak hasil yang bisa dinikmati meskipun banyak juga pengkritik yang menyatakan Jokowi adalah publik enemy, pinokio sang penguasa pembohong, banyak kebijakan yang kontroversi hingga membuat perekonomian bertambah sulit (dari sudut pandang oposisi).

Tuduhan akan menumpuknya utang serta kebijakan Tapera yang hanya membuat semakin masyarakat menderita, meskipun belum dilaksanakan tapi aroma penolakan masif menjadi ruang diskusi dan reaksi demo hingga turun ke jalan.

Berbagai kasus korupsi terungkap dan mentri-mentri banyak yang tertangkap tangan melakukan korupsi hingga memunculkan polemik bahwa dari segi hukum di era Jokowi hukum itu hanya menguntungkan segelintir orang yang masuk dalam lingkaran kekuasaan.

Padahal Jokowi sudah mati-matian melakukan contoh menjadi sosok yang sederhana, menjadi seorang yang humble tidak banyak menggunakan fasilitas negara, tidak melakukan arogansi ketika menembus kemacetan di jalanan dengan menggunakan protokol premium seorang presiden.

Tetapi mindset pejabat yang ingin diperhatikan dipuja, diberi previlege tampaknya susah dihapus. Seperti halnya warisan penjajahan yang melahirkan pejabat yang haus kehormatan dan juga upaya memperkaya diri sendiri. Itulah kenyataan yang terjadi. Saya pikir semua pemimpin negara tetap akan kesulitan menyenangkan rakyatnya.

Jutaan kepala, jutaan sudut pandang. Ada yang suka, ada yang masa bodoh, banyak pula yang mencoba menyerang karena ada rasa kecewa, dendam karena tidak sesuai dengan ekspektasi.

Banyak seniman yang dulu memuja berbalik menyerang dan menjadi oposan dengan kritikan super tajam. Banyak kawan sehaluan yang dulu mendukungnya berbalik membenci dan melakukan serangan masif untuk meruntuhkan kepercayaan masyarakat. Namun  semakin diserang Jokowi sampai saat ini masih mendapat sambutan luar biasa ketika blusukan dan menemui rakyatnya.

Berharap Pada Warisan Adab Ketimuran Warisan leluhur

Ternyata apa yang terjadi di dunia maya tidak seutuhnya bisa mempengaruhi massa. Masyarakat yang menyukai Jokowi masih jauh lebih banyak dengan apa yang di framing di media. Jadi apakah "olok-olok" di media itu merupakan cermin masyarakat Indonesia. Belum tentu juga.

Makanya pembaca perlu bijaksana dalam menanggapi isu yang beredar di media sosial. Tentu masih berharap bahwa masyarakat Indonesia masih menjujung tinggi adab dan attitude ketimuran yang selalu diajarkan di bangku sekolah dan warisan budaya seperti halnya yang diajarkan leluhur bangsa ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun