Sampai batas mana kesadaran netizen dalam memahami etika dan adab dalam bermedia sosial? Pertanyaan dan semacam refleksi dalam kalimat itu mencoba memahami perkembangan media sosial sekarang ini yang berkecenderungan membully, nyinyir dan komentar yang kebablasan, hingga membuat banyak pihak terimbas dengan kejamnya komentar- komentar netizen. Bisa diibaratkan Jarimu harimaumu.
Batas Kesopanan Netizen di Kolom Komentar
Banyak publik figur merasa menjadi korban dari kejulidan netizen yang berkomentar tanpa tedeng aling-aling. Mereka yang dilihat sebagai aktor antagonis, mendapat cibiran, nyinyiran yang luar biasa.Â
Kadang sampai masuk wilayah pribadi, bermula dari berita katanya, mungkin, kayaknya lalu dibuat seolah-olah merupakan kebenaran. Dari tayangan itu lantas netizen membuat sekumpulan justifikasi yang akhirnya membuat ledakan emosi dan amarah.
Jari-jari netizen di era digital ini perlu filter dan filter itu bernama kesadaran dalam keberadaban. Jika peradaban dalam masa pancaroba, terjadi perubahan dan paradigma politik tidak perlu emosi dengan memaki dan melontarkan kata-kata kasar atau skeptis.Â
Kadang pengetahuan netizen terbatas pada berita-berita viral, clickbait,berita hoaks yang beredar. Mereka tidak cek dan ricek data. Hanya sekedar emosional menumpahkan kebencian tanpa tahu duduk perkaranya.
Untuk bisa menuliskan opini dan kata-kata di media sosial kadang netizen tanpa takaran, sekedar nyinyir dan mengumpat tetapi tidak memperhitungkan dampak dari kata-katanya. Jika netizen pernah duduk dibangku sekolah pasti sudah diajarkan etika dan sopan-santun dalam berkata-kata. Nah, ajaran-ajaran dalam sekolah formal itu adalah dasar untuk mengerem kata-kata yang berdampak negatif yang bisa menyebabkan kerawanan sosial.
Susahnya dari jutaan pengguna gadget itu, tidak semuanya sadar bahwa kata-kata yang terlontar di media sosial itu bisa memberikan dampak buruk bagi hubungan antar manusia.Hal-hal yang viral, isu-isu sensitif dilibas habis, netizen seperti ingin menuntaskan emosi dengan mencibir, membully dengan kata-kata, mengetik kata-kata yang seharusnya tidak terlontar sebagai manusia yang hidup dalam batasan budaya, sopan santun adab dan norma-norma ketimuran.
Saat ini media sosial seperti menegasikan pengaruh budaya liberal yang tanpa tedeng aling-aling. Penulis sering geleng-geleng  kepala sendiri terhadap tulisan-tulisan netizen di kolom komentar.Â
Sebegitu parahnya mereka terhadap tokoh, terhadap politisi, terhadap public figur yang dihabisi dengan lontaran kata kasar hanya karena berita yang masih simpangsiur, belum tentu benar, namun karena viral dan lebih banyak opini negatif maka banyak dari mereka sengaja ikut memaki tanpa tahu permasalahannya. Bahkan hanya karena judul berita bisa menyimpulkan dan melontarkan kata-kata tanpa mengecek fakta dan keterangan lengkapnya.
Untuk saat ini  siapapun pemerintahnya harusnya ada aturan tegas untuk memberi efek jera pada netizen yang memanfaatkan akun-akun kloning untuk meneror media sosial dengan komentar-komentar tidak layak.
Dampak dari komentar netizen secara psikologi bisa mempengaruhi mental seseorang terutama publik figur. Yang terupdate ini misalnya keluarga Ruben Onsu. Kejamnya kata-kata yang terlontar dari netizen menyebabkan keluarganya mengalami perundungan. Banyak isu, fitnah yang kencang beredar, hingga muncul berita Ruben Onsu menggugat cerai istrinya Sarwendah.
Ada dampak signifikan dari komentar netizen. Jika keluarga artis atau public figure itu tidak kuat mental bisa saja akan mengalami tekanan mental, depresi, bahkan dalam istilah psikologi akan mengalami gangguan mental.
Dalam sebuah publikasi jurnal ilmiah ujaran kebencian bertoak belakang dengan konsep kesantunan berbahasa, sama halnya dengan etika berkomunikasi (ningrum et.al, 2018).Â
Dalam banyak sumber pengetahuan komentar netizen itu bersumber dari berita bohong, sekedar iseng, gabut, Â ingin melontarkan penghinaan pada ras lainnya, kebencian berdasarkan paham agama yang cenderung fanatik, perbedaan pilihan politik, fans sepak bola yang fanatik terhadap negara tertentu, club tertentu, negara tertentu atau atlet tertentu.
Yang bisa dijadikan contoh adalah lontaran hinaan pada sosok seperti Messi dan Cristiano Ronaldo. Fans mereka seperti terbelah dengan melontarkan kata-kata kasar, ujaran kebencian yang dilakukan oleh akun-akun kloningan yang membuat komentar pada sebuah portal berita olah raga jadi ramai oleh komentar bernada saling hujat antar fans.
Bagi pembaca dewasa tidak akan mudah terpengaruh oleh komentar netizen. Tetapi akan berdampak pada mereka  anak-anak remaja. Perilaku, tindak-tanduk, serapan kata-kata kasar di media sosial bisa berdampak buruk pada kesehatan mental anak muda.
Untuk mencegah daya rusak dari komentar di media sosial lembaga pendidikan, orang tua, televisi, media digital harus memberi pendampingan pada generasi muda agar tetap fokus pada tujuan utama yaitu belajar, berproses secara sehat sehingga tidak terpengaruh oleh dampak negatif isu-isu liar, hoaks, ujaran kebencian, upaya memecah belah masyarakat sehingga akhirnya skeptis pada siapapun termasuk teman, pemimpin negara, wakil rakyat bahkan pimpinan spiritual mereka.
Pendidikan Literasi Salah Satu Cara Mencegah Kekasaran di media Sosial
Salah satu upaya mencegah pengaruh buruk adalah dengan pendidikan literasi, pembekalan bagi anak muda untuk tidak mudah memanfaatkan media sosial untuk melakukan pembullian, melakukan lontaran kata-kata penghinaan, memanfaatkan jari tangannya untuk meneror bahkan menjadi hacker yang bisa memberikan dampak buruk relasi sosial kemasyarakatan.
Guru,pemuka agama, pemimpin politik, motivator, publik figur bisa membuat narasi positif entah dengan cara presentasi di podcast, reality show, komedi, Stand Up Commedy, apapun yang bisa memberi dampak positif dan menghilangkan dampak negatif dari ujaran kebencian oleh netizen yang "ndableg".
Memang susah mencegahnya. Tetapi bisa dilakukan dengan introspeksi diri, menstimulasi diri untuk meluruskan pandangan yang sekedar suasana jadi ricuh, memecah belah masyarakat untuk saling bermusuhan.Â
Padahal sesungguhnya lebih indah kalau setiap orang bisa menghargai pendapat masing-masing pribadi karena setiap pribadi mempunyai sudut pandang sendiri dalam memahami hidup dan kehidupan. Bangsa yang maju adalah bangsa yang menghargai setiap proses dan mau menerima perbedaan pandangan tanpa perlu bereaksi negatif kemudian melakukan tindakan anarkhis hanya karena beda pendapat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H