Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Indonesia Bukan "Konoha", Masih Banyak Kebaikan di Jalanan

18 Juni 2024   09:44 Diperbarui: 20 Juni 2024   07:30 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi membantu satu sama lain (Sumber Gambar: Pexels/Alexas_Fotos)

Sedikit risi dengan analogi Konoha yang diusung netizen Indonesia.Hampir setiap hari saya menggunakan transportasi umum menuju tempat kerja. Khususnya Trans jakarta. Dari situ saya melihat banyak karakter penumpang yang silih berganti. Pengguna trans Jakartapun pembaca buku, pekerja, anak sekolah. Berbagai cerita bisa dibagi. Yang cuek, yang sok tidur ketika ada penumpang tua, ibu-ibu renta, wanita hamil, anak-anak. Kadang pedagang keliling yang memikul barang dagangannya berangkat jauh di luar kota menuju pusat Jakarta yang ramai.

Masih Ada Kebaikan di Jalanan

Di antara para penggunanya yang egois, suka memanfaatkan posisi berdiri, saling berdesakan untuk melampiaskan libido fantasinya yang aneh, banyak anak muda, dengan sangat perhatian menolong orang-orang disabel, orang tua yang kedinginan dan dengan rela hati menyumbangkan jaket, kapucong untuk dikenakan pada orang tua yang tengah sakit. Petugas dan tentara sigap merayu orang tua itu untuk minum air hangat dahulu dan menawarkan pengobatan di rumah sakit terdekat.

"Wajah bapak pucat dan badan bapak menggigil, ayo kita ke rumah sakit terdekat ya." Seorang tentara berseragam mendekati kakek tua tanpa jaket yang sedang antre di halte Monas.

"Nggak apa-apa, bapak cuma sedikit lelah saja, tadi sebetulnya turun dari halte Lebakbulus tetapi kebablasan sampai Monas, Nak"

"Tetapi bapak menggigil begitu, tidak pakai jaket lagi, istirahat dulu,ngeteh hangat baru kalau sudah baikkan nanti dilanjutkan lagi perjalanannya."

Bapak tua itu masih keukeuh untuk melanjutkan perjalanan sementara sedikit-sedikit ia membungkuk dan menyembunyikan satu tangannya di kaos tipis yang ia kenakan.

Di halte cuaca mendung tetapi hawa udara tampak pengab baru saja hujan deras di sekitar Monas reda. Saya yang berdiri di depan kakek tua itu cukup merasakan panas udara siang itu tetapi kakek tua itu malah menggigil kedinginan dan wajahnya tampak pucat.

Seorang pegawai BUMN di belakang saya mencopot jaketnya dan memberikan jaket pada kakek tersebut.

Kakek itu matanya berkaca-kaca dan dengan pelan berkata."

"Terimakasih ya, dik?"

"Sama-sama Kek."

Jaket warna coklat muda itu dikenakan kakek, tetapi nampaknya kakek itu masih kedinginan, lalu anak muda yang berjaket kapucong hitam lantas melepas jaketnya lalu diberikan ke kakek dan dibantu memakainya.

Seorang tentara dan petugas di halte merayunya kembali

"Ayo kakek, istirahat dulu, kita buatkan teh hangat dulu, nanti kalau badan kakek sudah hangat boleh melanjutkan perjalanan." Akhirnya kakek menurut dan keluar dari antrean.

***

Negeri ini bukan negeri Konoha yang sering diilustrasikan netizen untuk menggambarkan betapa anehnya negeri ini dengan segala kebijakan politik dan budaya dinasti yang masih ada, sementara zaman menuju ke era digital, modern sehingga diperlukan kehidupan yang realistis yang mampu memberikan tempat nyaman bagi masyarakat untuk mendapatkan pemerataan kesejahteraan.

Tenang masih banyak orang baik di jalanan, meskipun perkembangan kejahatan meningkat, kriminalitas terus bergerak dengan aneka macam bentuknya. Yang jelata hanya bisa mencuri ayam dan ngutil barang di toko kelontong tetapi hukumannya bisa lebih parah dari mereka yang ngutil uang milyaran rupiah. 

Di jalanan ada hukum rimba sekali ketahuan mencuri, hanya satu hukumannya dikeroyok dihajar sampai bonyok bahkan kalau tidak dilerai bisa berakhir tragis dengan kematian yang mengenaskan.

Tetapi di antara cerita betapa kejamnya ibu kota, masih ada jiwa-jiwa merdeka yang dengan rela hati menolong tanpa mengharapkan imbalan. Mereka murni menolong karena kemanusiaan, karena rasa iba, karena senasib sepenanggungan.

Jadi jangan jadikan peristiwa memalukan itu sebagai indikator bahwa isi negeri isinya hanya orang-orang bermental "bedebah".

Penjahat pun masih punya hati, yang tidak punya hati kadang adalah mereka yang bertopeng orang baik, agamis, tetapi menyimpan watak rakus yang susah diobati. Dengan tersenyum merampas hak masyarakat banyak untuk bisa hidup bergelimang harta, padahal dari hasil memanfaatkan kekuasaan semata.

Mereka seperti sekumpulan orang-orang dermawan, menyumbang sarana prasarana ibadah, masuk dalam lingkungan para penganut agama teguh, berpakaian layaknya orang suci dan tulus, tetapi ternyata hanyalah kamuflase dari rencana-rencana besar yang hendak dilakukan untuk menguras harta negara.

Sekarang ini susah menebak wajah dan perilaku wakil rakyat dan penguasa, Yang kelihatan baik ternyata menyimpan kebusukan yang terlihat brutal dan kasar ternyata menyimpan kebaikan.

Rupa-rupa manusia datang silih berganti. Berbagai tragedi demi tragedi membuat manusia tersadar bahwa hidup itu penuh misteri. Banyak orang-orang atau masyarakat yang bisa hidup cukup nyaman dan macam, tetapi kerjaannya selalu merendahkan pencapaian negerinya sendiri, mereka merasa bahwa kehidupan negeri lain jauh lebih sempurna dan negerinya penuh intrik hingga akhirnya memberi label Konoha.

Membangun Aura Positif Diri sendiri dan Lingkungan Sekitar

Ia menyindir negerinya sekaligus menyindir dirinya sendiri khan. Dulu ada pepatah Lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emasi di negeri orang. Itu adalah wujud cinta tanah air.

Tetapi sekarang di mana berita dengan mudah diakses rasa kecintaan kepada negeri sendiri semakin mengendur, yang ada adalah lontaran keluhan dan nyinyiran yang tidak ada habisnya.

Harus dikemanakan mereka yang hanya bisa mengeluh, nyinyir dan mengolok-olok negeri sendiri, sementara dirinya minim kontribusinya terhadap orang lain dan negara.

Konoha barangkali hanyalah cerita fiktif tetapi imaji masyarakat sekarang dengan jari-jarinya, dan hati nuraninya yang kadang-kadang tumpul seringkali memanfaatkan apapun peristiwa untuk dijadikan bahan olok-olok, sementara dirinya sendiri kurang meneliti dirinya sendiri.

Lebih senang nyinyir, menyindir daripada introspeksi. Lebih senang mengkritik daripada meningkatkan kemampuan diri untuk bertahan dalam badai krisis.

Mungkin pemerintah atau penguasa salah dalam menerapkan kebijakannya, tetapi masyarakat harus tetap bisa bertahan dalam badai dan kreatif memanfaatkan peluang sekecil apapun. Tidak bergan tung pada bantuan, tetapi bagaimana tetap bertahan dengan segala daya untuk bisa keluar dari masalah dan krisis.

Kalau sebagai pekerja tetap fokus bekerja, kalau pendapatan kurang bisa mencari cara mendapatkan tambahan penghasilan, tetapi tidak perlu memaksa diri untuk ikut judi online dan memanfaatkan pinjol untuk kebutuhan yang sebetulnya tidak perlu atau memaksa diri hanya untuk gaya hidup. Semampu diri saja. Dan yang terang selalu positif thinking.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun