Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Kalau Tidak Kuat Mental Jangan Menjadi Penulis

24 April 2024   12:34 Diperbarui: 24 April 2024   12:42 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada beberapa orang yang sukses menjadi penulis dan bisa hidup dari menulis, mereka adalah orang terpilih yang mampu menjadikan profesi menulis sebagai sumber pendapatan. Secara mental sudah teruji oleh waktu, teruji oleh ujian demi ujian kehidupan. Apalagi jika penulis sudah berumah tangga, akan banyak tantangan dan ujian terhadap konsistensi menulis.

Jangan langsung ngiler melihat pendapatan penulis atau pengarang kawakan semacam J.K Rowling, Paulho Cuelho,  Andrea Hirata,  Untuk sampai di tangga kesuksesan seperti mereka bukan perkara mudah, butuh mental baja dan siap menerima segala resiko termasuk seretnya pendapatan karena banyak penerbit yang menolak karya mereka. Ada jalan berliku panjang hingga sebuah moment keberhasilan akhirnya mereka genggam. Ada rasa putus asa, hampir menyerah dan barangkali cibiran dan nyinyiran sana-sini yang mereka terima.

Benarkah Profesi Penulis Tidak Menjanjikan?

Banyak yang menilai profesi penulis tidak menjanjikan, penuh ketidakpastian, seringkali mendapatkan stigma negatif karena dekat dengan plagiasi dan khayalan-khayalan yang kadang tidak masuk akal. Banyak penulis yang mengakhiri hidupnya dengan banyak masalah dalam hidupnya, depresi, kesepian, rasa sunyi yang menyergap dan berbagai persoalan hak cipta, pembajakan karya yang susah diatasi.

Ada banyak orang memanfaatkan karya penulis untuk mendulang uang, apalagi sekarang banyak novel yang dibuat animasi, narasi yang divisualkan di YouTube tanpa melibatkan pengarangnya. Mereka mendapat adsen, uang dari jumlah viewer dan subscribenya, sedangkan penulis asli hanya bisa membanthin antara bangga dan sedih. Bangga karena karyanya diapresiasi, sedih karena ia tidak mendapatkan apa-apa dari cerita karangannya yang dimanfaatkan orang lain.

Dalam hidup terkadang banyak drama diterima. Dalam relasi berkeluarga banyak kendala antara yang mendukung dan menyarankan untuk beralih, mencari pekerjaan yang pasti pendapatannya. Kadang depresi karena merasa sendirian, jarang yang memahami pemikiran penulis "terlalu jauh" menembus masa depan. Padahal dengan menulis, seseorang bisa mengabadikan cerita kehidupannya dan akan selalu dikenal sepanjang masa meskipun ia sudah lama mati. Lihat saja, cerita-cerita penulis legendaris semacam Karl May, Ernest Hemingway, Romo Mangunwijaya, Pramoedya Ananta Toer. Mereka mewariskan karya yang everlasting, cerita-cerita yang hadir dari kehidupan manusia zaman lampau yang masih relevan dengan saat ini.

Ribuan bahkan jutaan cerita yang lahir dari imajinasi, pemikiran, permenungan penulis bisa disimak masyarakat pecinta literasi.  Kadang tulisannya seperti kisah nyata, dicari latar belakangnya, dicari lokasi yang diangkat oleh penulis, dikulik misteri dibalik penciptaan seorang tokoh, atau cerita yang dikaitkan dengan sejarah. Padahal banyak cerita penulis yang full imajinasi penulis, tempat, latar belakang cerita atau nama-nama yang muncul kebetulan saja.

Penulis, sejak ia mempublikasikannya ke publik entah di blog, media massa, media online, karyanya akan tercatat sejarah, masuk dalam lembaran memori mesin pencari. Ada kebanggaan, namun juga muncul kesedihan sebab terkenal dan dikenal sebagai penulis saja tidak cukup. Yang lebih bangga adalah ketika tulisan diapresiasi, dibaca, diundang menjadi narasumber dihargai setimpal dengan kerja kerasnya dan ditempatkan sebagai profesi yang sama dengan profesi lainnya yang mentereng di mata masyarakat.

Belum Banyak Masyarakat Melek Literasi

Sayang kesadaran literasi generasi muda dan sebagian besar masyarakat yang tengah mabuk gadget, dan media sosial sangat kurang. Kemampuannya untuk sabar membaca sampai tuntas karya-karya para penulis, wartawan begitu rendah. Akibatnya simpang siur pemberitaan, sergapan hoaks dan berbagai narasi kasar berseliweran di media sosial.

Kadang banyak netizen yang yang lebih suka judul sensasional, langsung bisa menyimpulkan persoalan yang diangkat, padahal banyak tulisan atau artikel yang harus dicerna sampai paragraf terakhir hingga tahu duduk persoalannya. Buku? Berapa banyak orang yang hobi membaca buku, koran, majalah phisik saat ini. Kalau melihat aktivitas manusia di ruang publik di trans, angkutan umum, ruang-ruang publik terbuka bisa dihitung mereka yang sibuk membaca koran apalagi buku.

Cukup satu gadget, Melihat kehebohan tiktok, instagram, facebook dengan beragam topik peristiwa yang bisa dibahas dan dikomentari. Daya imajiner dan kekayaan kata terbatas, namun ruang visual luas. Bahasa literer terganti dengan bahasa visual, buku, novel berganti dengan animasi agar cerita-cerita rekaan bisa diterima oleh kalangan milenial, pemilik masa depan dunia.

Perlu mental yang kuat untuk menapaki konsistensi menulis, sampai akhirnya tidak sadar setelah melewati waktu demi waktu, jam demi jam, hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun hingga puluhan tahun tidak terasa terkumpul ribuan tulisan. Tidak semuanya berwujud uang, bisa dibilang proses, pematangan, jam terbang membuat penulis bisa disebut senior, kenyang pengalaman dan konsisten menulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun