"Bunga mawar tidak pernah mempropagandakan harumnya, namun keharumannya dengan sendirinya menyebar melalui sekitarnya." Bung Karno.
Ketika politik dijalankan dengan cara yang benar maka pengetahuan dan manfaatnya dirasakan banyak orang, namun ternyata kenyataannya politik sering diidentikkan dengan trik dan intrik kotor, termasuk praktek, kolusi, nepotisme dan korupsi yang susah diberantas.Â
Politik Sebenarnya adalah Perbaikan sistem
Dulu saya cukup percaya bahwa politik sebenarnya adalah dokter bagi sistem pemerintahan yang korup, penuh nepotisme dan transaksional. Politik adalah ilmu yang mampu menjadi dokter dan bisa menyembuhkan penyakit koruptif dan memperbaiki sistem. Politik mencoba menegakkan kebenaran yang tersandera oleh kepentingan. Politik itu adalah cara mewujudkan kebaikan bersama.
Pada mulanya banyak harapan dari perjalanan kesadaran mahasiswa untuk mengubah oligarki, mengubah nepotisme, dinasti menjadi kemerdekaan berpolitik dan mengemukakan pendapat dengan kritik yang dilindungi oleh undang-undang yang mengatur tentang kebebasan berpendapat. Era itu adalah era reformasi. Demokrasi memang tumbuh subur, kebebasan berpendapat bukan lagi utopis, nyata, namun sayang birokrasi pemerintah tetaplah susah diubah kulturnya. Kultur membuat susah birokrasi yang seharusnya mudah menjadi sulit. Yang seharusnya tidak perlu rumit malah menjadi rumit.
Sistem amburadul bahkan korupsi semakin terbuka, bukan lagi kucing-kucingan. Yang "mengagumkan" mereka yang ngotot meminta perubahan, tokoh-tokoh reformasi, aktif berorganisasi di senat termasuk pelaku dari korupsi jumbo. Para pakar hukum, ahli politik, mati kutu ketika hidup dalam komunitas "politisi parlemen" yang semakin jauh dari visi ilmu politik yang sebenarnya.
Sistem yang rapi, teratur dan by data hanyalah mimpi-mimpi masyarakat yang lama-lama terkubur dalam. Semakin hari politik bukannya semakin mencerahkan malah semakin memperburuk relasi pemerintahan, parlemen dan masyarakat yang mempunyai hak suara.
Tentang Kebenaran Dalam Politik
Kebenaran para politisi semakin "abstrak", siapa yang benar antara mereka yang berada di pihak oposisi, atau politisi yang sedang berada di lingkaran kekuasaan. Ahli hukum ngotot mempertahankan pendapat tentang hukum dari sudut pandang masing-masing, selalu ada celah untuk membelokkan dan memberi pembenaran atas peraturan atau undang-undang yang sebetulnya salah sejak awal.
Hukum yang mempertahankan kebenaran by data ternyata tetap bisa saja direkayasa dengan kepintaran para ahli hukum, pengacara, pimpinan Mahkamah Konstitusi yang sebetulnya harus tegak lurus dengan aturan hukum positif.
Terus ketika semua ahli hukum, pengacara saling berdebat, saling mempertahankan argumen masyarakat semakin bingung. Â mana yang benar? Semua ahli hukum mempunyai gelar mentereng, Prof. Doktor SH, MH, LLC, dan sederet gelar spesialis hukum yang tidak diragukan kapasitasnya. Tetapi mengapa memutuskan perkara pemilu, harus dengan persepsi dan opini masing-masing. Yang kalah ngotot bahwa kemenangan lawannya adalah kemenangan curang, cacat hukum dan harus diulang agar tidak menghadirkan preseden hukum di kemudian hari. Yang menang pemilu tentu saja tidak mau kalah. Kemenangan yang sudah dalam genggaman dan diumumkan secara resmi oleh KPU adalah kemenangan sah. Keputusan MK tidak bisa mengubah keputusan atas kemenangan telak yang didapatkan saat proses pemilu.
Akan ada banyak peristiwa yang akan terjadi jika keputusan akhirnya diambil MK. Rasa sakit, kecewa, kesal tetap hadir siapapun pemenangnya. Jika ada pembatalan kemenangan resiko politik dan dana besar pemilu ulang sudah terbayang akan membuat Indonesia yang tengah menghadapi bahaya krisis global, bahaya perang yang meluas dari semula hanya Rusia dan Ukraina, Israel dan Palestina, melebar melibatkan banyak negara antara lain Iran pun bergerak melawan Israel. Akibat perang akan timbul masalah baru yaitu masalah ekonomi, harga dolar naik, kemampuan ekonomi masyarakat dunia akan semakin merosot, dan masyarakat hidup dalam kepastian.
Sistem yang amburadul baik, politik, birokrasi dan hukum menambah ruwetnya relasi antar partai politik, dan juga banyaknya para pihak yang mencoba memainkan politik adu domba agar Indonesia terpecah belah. Banyak negara terutama negara super power, mereka yang berkepentingan agar Indonesia tetap menjadi negara penghasil produk mentah dan diminimalisir agar masyarakatnya tidak boleh maju cara berpikirnya dan tetap menjadi negara berkembang agar negara negara maju bisa memanfaatkan sumber daya alam Indonesia dengan persepsi keuntungan besar tetap menjadi milik mereka.