Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Siapakah Aku Tanpa Menulis?

10 Maret 2024   06:01 Diperbarui: 10 Maret 2024   06:29 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Adakah yang mengenal diriku, pria introvert yang tampak gamang bergaul. Sedari kecil lebih senang mencari jalan sunyi, menyusur pematang sawah, ladang, naik turun tebing jurang menyesap sunya ruri.

Aku lebih senang menyendiri, berdialog dengan alam, memandang luas pemandangan hijau yang terhampar di lembah dan lereng sekitar Merapi dan Merbabu.

Aku lebih senang menghindar dialog, karena semakin intens berdialog aku sering menemukan diri ini sulit merangkai kata. Apa yang harus dikatakan untuk membuka ruang dialog, selain mendengarkan suara nurani yang lebih betah berdialog dengan kalbu. Makanya ketika usia beranjak dewasa, ketika remaja mula aku lebih banyak duduk di kamar membuka buku cerita dari buku-buku milik ibu yang dibawa dari tempat kerjanya. Seorang guru SD yang banyak bergulat dengan persoalan ekonomi anak daripada fokus belajar. Buku-buku bantuan pemerintah itu rapi, karena jarang tersentuh, mereka bukan pencinta literasi, lebih banyak bermain di ladang dan sawah yang luas terhampar.

Maka pembelajaran alamlah yang membentuk karakter anak-anak desa, hanya sebagian yang kemudian bertumbuh dalam lingkungan berpendidikan terutama anak-anak guru sepertiku. Dari seringnya membaca buku-buku cerita dari bantuan pemerintah aku membuka ruang imajinasi, belajar memahami literasi, belajar mencerna yang sebelumnya tidak tercerna.

Pelan-pelan aku tahu apa yang dinamakan novel, puisi, novelet. Aku tahu tentang adat budaya berbagai daerah dari bacaan. Aku bertumbuh bukan sebagai orang yang pandai secara akademis, tetapi sadar aku adalah pembaca, penekun dunia literasi meskipun belum bisa menulis dan mengarang layaknya penyair dan pengarang. Aku baru mencoba menata huruf demi huruf untuk dideretkan menjadi puisi sederhana. Aku masih tidak sadar bahwa aku sedang berproses menjadi penulis.

Pelan-pelan lepas dari ruang imajinasiku yang masih terbatas, mulai muncul perasaan melankolis terutama ketika di masa remaja mulai mengenal cinta. Cinta dalam balutan pesimisme, merasa minder karena merasa jelek dan bodoh.

"Apa yang dibanggakan orang bodoh sepertiku?"

"Apa yang menjadi modal untuk mencintai perempuan jika mau berkata saja langsung gagap, dada berdetak dan kemudian akhirnya balik badan lagi."

Kata temanku kamu itu sebenarnya tidak bodoh dan jelek, hanya kamu peragu dan minder saja, bahkan harusnya kamu bisa menggaet cewek siapapun dengan kepintaranmu menulis puisi.

Ya awal mula aku mempelajari puisi dari membaca puisi puisi Iwan Simatupang, Chairil Anwar dan Sapardi Djoko Damono.Taufik Ismail. Hal yang melankolis kadang menjadi manuskrip bagus untuk menciptakan puisi. Karena puisi bagus lahir dari perasaan yang sensitif.

Aku mulai sering menulis, mengungkapkan perasaan cinta yang hanya kupendam sendiri. Berteman dengan buku tulis, bukan buku diary yang kukenal sekarang. Hanyalah sisa-sisa kertas pelajaran yang berserak di meja belajarku(padahal aku sebenarnya tidak punya meja belajar khusus, hanya ada hamparan meja besar dan amben bertikar)

Dari menulis dan curhat di secarik kertas itu aku mulai mengenal dunia menulis, pelan-pelan mulai ada rasa kritis terhadap tulisan-tulisan yang sebelumnya tampak berantakan. Pelan-pelan mulai bisa spontan dan berpikir untuk membuat cerpen, artikel dan sejumlah puisi-puisi. Kusandingkan tulisanku dengan buku pinjaman perpus sekolah.

Aku senang menulis dan mulai merasakan lebih senang mengungkapkan kata dengan menulis daripada curhat ke sahabat atau teman dekat. Aku merasa susah mengungkapkan kata secara verbal. Dari menulis ada perasaan lega, seperti membuang beberapa beban yang ada di pikiran dan perasaan.

Selanjutnya hasrat menulis mulai tidak terbendung, cuma sayangnya aku bukan penulis tangguh yang pandai memanfaatkan peluang, hingga hanya satu dua tulisan yang akhirnya nyangkut di media massa. Masa selanjutnya adalah aku merasa tidak bisa tenang dan nyaman tanpa menulis apapun.

Semakin lama  merasa,  bahwa teman-temanku menganggap bahwa aku tampak introvert dengan kehidupanku yang lebih senang bergelut dengan dunia menulis. Di sisi lain saya senang berpetualang. Itulah mula awal aku dikenal. Dan akhirnya kini kusadari tanpa menulis aku bukan siapa-siapa.

Diary, apa sih menulis itu? Sebuah curhat, atau hanya sekedar membuat opini untuk disebarluaskan ke media? Pada awalnya dari ceritaku tadi hanya ingin curhat, mengungkapkan perasaan, mengungkapkan kegelisahan bathin dan juga harapan. Khayalan tentang cinta, mimpi menjadi penulis besar dan juga menggelorakan kebebasan dalam berekspresi. Aku merangkai tulisan seperti ingin melahirkan anak-anak ide yang sudah mendekam lama dalam pikiran. Mereka kumpulan kata yang pernah kubaca dan kuendapkan lama. Sampai suara-suara kalbu, suara-suara bathin, suara suara imajinasi berdesak antri di jemari tangan, ingin memberitahukan pada tuts mesin ketik untuk segera mewujudnyatakan dalam menjadi huruf, kata hingga kalimat. Lalu dirangkaikan dalam paragraf, hingga lahir satu opini, satu cerpen, satu puisi.

Terus berulang dan berulang sehingga lama-lama menjadi tabungan yang bisa dikumpulkan menjadi buku, kumpulan puisi, hingga novel. Berapa juta kata? Tidak terhitung. Yang kuingat dari tokoh, kunci untuk bisa menjadi pengarang atau penulis adalah menulis, menulis dan menulis. Lalu samar-samar suara tokoh lagi berkata tanpa menulis seseorang akan hilang begitu saja ditelan zaman, tidak tercatat sejarah dan hanya bagian dari masa lalu, ia anonim karena tidak tercatat sejarah, sedangkan seorang penulis biarpun dalam hidupnya selalu penuh derita, penuh gejolak, penuh perjuangan ia akan tercatat sejarah, dan menjadi bagian dari sejarah itu sendiri. Menulis adalah bagian dari keabadian.

Jadi siapa aku tanpa menulis, aku hanyalah remah-remah, debu-debu yang berterbangan. Bagian dari jutaan bahkan milyaran manusia yang hanya menjalani alur hidup lahir, berkembang, bekerja, menua lalu mati. Tidak ada catatan sejarah bagaimana kalian menorehkan karya yang akan dikenang selamanya, apalagi di zaman sekarang ada jejak digital, jejak karya yang bisa dilihat dan dikenang oleh anak cucu. Maka sebaiknya menjadi senimanlah, menjadi orang baik, menjadi orang yang pernah dikenang dalam suatu masa. Menjadi penulis adalah salah satunya ( itu nasihat untuk diri sendiri).

Menjadi penulis itu butuh kesabaran bahwa suatu saat tulisanmu agar disadur, digunakan, dijadikan referensi tanpa bisa berharap bahwa kerja kerasmu ada imbalannya. Tetapi namamu akan selalu dicatat dan ditulis meskipun dengan berurai air mata harus dikatakan. Kebanggaan saja tidak cukup hari ini orang hidup perlu cuan, sedangkan banyak penulis masih takut mengandalkan hidup dari menulis karena sadar belum ada iklim yang nyaman bagi penulis untuk mengandalkan hidup dari menulis karena copyright pengarang, penulis belum menjanjikan, kamu masih harus menjadi motivator, diundang menjadi pembicara, coach penulisan, nara sumber literasi, untuk bisa menopang kehidupan sebagai penulis dan pengarang.

Perlu menjadi penjaja kata seperti copywriter, gostwriter, blogger, penulis naskah film, editor buku, penulis novel populer dan viral untuk bisa mewujudkan karya tulisan berubah menjadi cuan yang menjanjikan. Jika hanya mengandalkan idealisme murni penulis, kau hanya akan menjadi makhluk penuh derita, yang bangga di atas karya tetapi nelangsa tanpa uang yang tergenggam. 

Penulis itu perlu idealisme, tetapi juga akal agar bisa mewujudcitakan karya dan penghidupan yang layak. Siapkah menjadi seorang penulis? (Aku masih belum yakin maka gaji guru adalah bagian dari realitas kehidupan di mana setiap saat bisa menulis, menjadi bagian dari sejarah, dan aku tetap masih bisa menghidupi keluarga yang butuh uang untuk mewujudkan masa depan anak-anak).

Diary, Hidup itu penuh perjuangan, darah dan air mata. Kegembiraan adalah bagian dari perjalanan, tetapi ujian, kepedihan, kesepian menjadi teman yang tidak terpisahkan dari drama masing-masing manusia. Segembira dan segemilang manusia tetap akan merasakan betapa menderita dan pedihnya ditinggal orang-orang sekitar kita, entah kemarin, lusa atau esok. Maka untuk mengenangnya perlu ditulis agar ingat manusia selalu harus berteman dengan berbagai rasa.

Salam literasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun