Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Membangun Kewarasan dengan Menulis

20 Februari 2024   12:48 Diperbarui: 21 Februari 2024   07:27 879
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menulislah, karena menulis bisa meredam gelegak emosi.Ilustrasi: Pexels/TIRACHARD KUMTANOM

Sejak media sosial dominan mempengaruhi keseimbangan kehidupan manusia, kadang aku harus katakan dengan jujur bahwa ada banyak sisi negatif media sosial yang membuat ada perasaan bahwa manusia tidak seperti dulu. Banyak kegilaan muncul, banyak anomali pikiran, perilaku yang datang terutama nir sosial dan munculnya sikap egois. Aku perlu mengembalikan ritme dengan menulis agar kewarasan tetap terjaga. 

Dari menulis aku merekam banyak peristiwa baik sosial budaya maupun peristiwa-peristiwa politik.

Suatu ketika dulu pernah mengenal sosok sosk inspiratif di pelosok desa. Mereka penggerak kearifan lokal. Bisa mendengar sepenuh jiwa pengalaman kehidupan yang dipenuhi dengan ujian-ujian kehidupan.

Bukan hanya membaca deretan tulisan di buku dan novel-novel tua. Dari menulis aku bisa mengendapkan kemarahan, merenungi kehidupan yang tidak pernah mulus. 

Jalan tidak selalu lurus, namun tidak pernah pula konsisten menanjak. Semua telah tertakar oleh rumus-rumus misteri yang transenden dan susah terjangkau.

Dari deretan tulisan-tulisanku, tidak pernah mendaku bahwa aku berbakat menulis, berbakat menjadi pengarang atau wartawan. Aku hanya mengendapkan. 

Dalam suatu masa ketika ada perasaan frustrasi, depresi dengan kemarahan tidak tertahankan ingin kulampiaskan pada wajah-wajah memuakkan, namun segera sadar percuma menyakiti orang, akupun terdiam dan merenung lalu mengambil secarik kertas, kugoreskan kedongkolan, kemuakan dan kemarahan. 

Pelan-pelan gejolak jiwaku surut mengikuti irama kata-kata yang muncul dalam barisan kalimat demi kalimat.

Ternyata Menulis bisa meredam gelegak emosi. Kubiarkan memaki dan menumpahkan rasa, lalu aku menjadi lebih bisa mengontrol kesabaran pelahan-lahan. 

Meskipun dalam kadar tertentu sisi emosi tidak bisa ditahan namun pelan-pelan ada hal-hal yang tidak bisa kuceritakan namun sangat membantu diriku kelak di kemudian hari. 

Pernahkah kalian merasa bahwa ada perasaan frustrasi, cemburu, depresi akibat cinta yang tidak bersambut. 

Sudah sangat sabar meredam emosi tetapi berondongan kata datang dari orang yang dicintai. Gemeretak gigi menahan emosi, mencoba mencegah kecelakaan yang tidak diharapkan. 

Mengelus dada untuk mengingatkan diri bahwa tidak baik membuncahkan amarah karena di saat itu pikiran manusia dalam tahap genting, tidak ada sama sekali kejernihan yang hadir hanya kekonyolan dan dorongan iblis yang membisikkan ke telinga orang yang tengah kalap. 

Maka tulisan menjadi penenang mujarab, bukan obat-obatan psikotropik dan minuman-minuman yang hanya bisa menjadi penghiburan jiwa sementara. 

"Menulislah!"

Itu bisikan-bisikan yang datang dari sisi sebelah kanan yang menjadi tempat perimbangan dari dengusan dan rayuan maut iblis. 

Mulanya hanyalah sekumpulan kata-kata umpatan, setelah terbiasa menulis tulisan hadir dari penggalan-penggalan pengalaman hidup. 

Bukan menjadi malaikat namun meneladan kelembutan malaikat yang aku sendiri tidak terbayangkan bagaiman wajah-wajah aslinya. Dalam imajinasi penulis ia berbaju putih, mempunyai sayap dan berwajah mempesona. 

Tetapi gambaran itu hanyalah mewakili narasi-narasi yang sering dipergunakan para pujangga.

Bisa jadi malaikat adalah hati nurani, suara kalbu yang berbisik saat manusia tengah berdoa, tengah bermeditasi, dalam kontemplasi hening yang menghasilkan banyak jawaban tentang arti kebijaksanaan. 

Jangan hentikan menulis, biarkan mengalir sampai ke titik puncak, berhenti setelah mendapat intisari dari aktivitas menulis. 

Hal selanjutnya melupakan apa yang telah tertulis dan menjadi editor bijak yang harus berani memotong dan membuat kata-kata yang melompat dari tema.

Di saat ini ketika banyak orang bicara akhlak, bicara etika sambil marah-marah sambil berdiri di mimbar-mimbar demo, benarkah mereka adalah pejuang akhlak dan mampu menunjukkan adab dan etika yang baik. 

Mereka berteriak dimimbar dengan melontakkan makian, menilai dan menjatuhkan sosok berdasarkan informasi katanya-katanya, dari media-media gosip dan bocor halus dari orang orang yang tengah tertekan karena tidak mendapatkan apa yang mereka maui.

Aku hanya menulis dan mencatat beberapa peristiwa yang kuingat dari jutaan cerita yang berseliweran dalam ruang memori. Semakin gelisah oleh banyaknya pikiran yang tersimpan diruang gagasan semakin gelisah untuk segera menyalurkan dalam aktifitas menulis.

Kini sebagian gagasan telah ditampung oleh platform seperti Kompasiana, sebagian tertulis di gelasah kertas yang tercecer, sebagian rapi tertulis di diary dan sebagian lagi di status media sosial. 

Itulah jejak tulisan. Ia tidak akan terhapus selama masih tersimpan rapi dalam jagat digital dan sekumpulan tulisan yang telah menjadi buku.

Dan ketika tulisan dilihat, diapresiasi diberi reaksi dan menjadi bahan diskusi hangat ada spirit lebih untuk terus menorehkan kata-demi kata untuk selalu menjaga kewarasan pikiran. 

Dari silang sengkarut diksi kata yang banyak muncul diruang ruang publik dari spanduk sampai stiker-stiker bak truk, ternyata manusia menyimpan bara seperti filsuf yang mampu mengejawantahkan sisi humanisme manusia bisa memotret apa yang ada dalam sebagian pikiran manusia.

Menulis adalah tentang menulis adalah soal rasa, menulis adalah saat gagasan menjadi deretan ide yang terakumulasi lewat karya imajiner, bisa ilmiah logis, bisa hanyalah imajinasi fiktif tetapi hasil dari pengendapan nurani manusia yang berharap kesempurnaan tetapi tidak pernah bisa sempurna. 

Yang berharap bisa melebur dosa sampai setuntas-tuntasnya meskipun dikemudian hari terperosok lagi dalam dosa demi dosa, kesalahan demi kesalahan dan kesesatan-demi kesesatan karena ambisi kekuasaan.

Biarkanlah tangan bergerak menulis, dan otak membantu mengalirkan susunan kata-kata dan nurani memberi keseimbangan dengan menggarap sisi rasanya. 

Baiklah. Semoga secuil tulisanku mampu memancing teman-teman mengadu gagasan dan sharing pengalaman menulis, siapapun bisa menulis hanya  yang berhasil konsisten biasanya mampu memiliki menjaga ritme hingga tidak terasa sudah ribuan tulisan berhasil dipublikasikan entah sebagai penulis profesional maupun mereka yang sekedar hobi untuk menyalurkan kesenangan.

Kesehatan jiwa itu penting untuk menjaga kewarasan di tengah dunia yang tengah sakit, dan demokrasi yang tengah limbung (katanya)

Salam Literasi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun