Analisis sepintar apapun menunjukkan bahwa peryataan kecurangan dari pihak yang kalah itu tidak lantas mengubah fakta tentang kemenangan dan kekalahan. Yang kalah tetap kalah dan harus mengakui kekalahannya. Mereka bisa menjadi oposisi untuk menjaga kekritisan dan mengingatkan pada penguasa selanjutnya untuk menepati janji-janjinya waktu di kampanye. Kalau ada penyimpangan maka fungsi oposisi itu untuk mengkritisi ketidakberesan pemerintah.Â
Pada saatnya nanti setelah penghitungan real count selesai sekitar pertengahan Maret maka, narasi kecurangan akan pelan-pelan menghilang. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah gerakan buruh, mahasiswa dan kaum intelek di kampus yang sedari awal berkobar-kobar mengkritisi cara-cara Presiden dalam hal ini Joko Widodo yang terkesan cawe-cawe, meskipun kenyataannya Pk Jokowi tidak pernah hadir dalam kampanye, hanya pertemuan pertemuan rutin yang dikesankan bahwa ada rekayasa terstruktur untuk membuat Pemilu dari awal sudah ketahuan siapa pemenangnya.
Semoga masyarakat, oposisi, media sosial, media massa non partisan bisa menjaga kewarasan demokrasi. Jika ada yang merasa bahwa Pemilu penuh rekayasa, mungkin perlu introspeksi dan berkaca pada pemilu sebelumnya, supaya ke depannya calon pemimpin dan timnya selalu menomorsatukan prasangka baik. Kalah menang sudah biasa, pada kesempatan lain bisa bertarung lagi dengan mengusung jiwa kesatria. Belajar dari kemenangan belajar pula dari kekalahan.Â
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI