Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Lunturnya Budaya dan Agresifitas Media Sosial Menjelang Pemilu

12 Februari 2024   13:37 Diperbarui: 12 Februari 2024   18:18 1354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semua orang boleh memfitnah demi mempertahan idealismenya, semua pegiat medsos, boleh kasar dan membuat umpatan serta makian yang jarang terlihat beberapa puluh tahun lalu, ketika Indonesia masih dinilai menjunjung tinggi adab ketimuran.

Di masa kemajuan digital saat ini, wartawan, pejuang literasi juga bingung mana yang benar? Okelah ada aspek penilaian oleh para intelektual kampus dan banyak dari mereka mengatakan prihatin dengan kondisi demokrasi Indonesia yang katanya sedang "tidak baik-baik saja".

Benarkah Indonesia sedang tidak baik-baik saja? Coba bandingkan dengan situasi di era orde baru di mana mereka yang kritis, banyak dibungkam oleh rezim yang sedang berkuasa. Ternyata karena situasi negara yang benar-benar terbuka maka banyak netizen, masyarakat bebas melakukan kritikan bahkan menyerang pribadi dengan sangat brutal. Tetapi kembali ada alasan demi demokrasi dan kembalinya moral bangsa maka ada gerakan untuk melakukan kritikan pada Presiden. Lalu apa reaksi presiden. Ia hanya mengatakan itu hak rakyat, silahkan protes dan mengkritik karena merupakan hak asasi masyarakat Indonesia.

Bukan hendak membela Jokowi, apakah ada aktivis yang diperlakukan seperti era 98, diculik dan dintimidasi. Katanya sih ada tetapi belum terbukti. Dan media sosial tetap hadir dengan segala macam kritik yang kadang memerahkan telinga tetapi tetap saja mewarnai jagat digital Indonesia.

Siapa yang bisa menyamakan pendapat jutaan masyarakat. Selalu ada yang merasa bahwa ketidakadilan semakin merebak, bansos selalu hanya menguntungkan penguasa bukan masyarakat, pangan semakin mahal dan pemerintah abai dan tidak mempedulikan penderitaan masyarakat.

Di masyarakat sendiri penerima bansos itu bukan hanya mereka yang hidupnya kesulitan, banyak yang dari mereka masuk kalangan menengah ke atas, mereka yang biasa nongkrong di kafe dan kongkow-kongkow bersama teman sosialitanya. Mereka tidak malu bahwa mereka perlu tambahan sembako untuk mendukung keluarganya kekurangan makan padahal kalau usaha keras mereka masih bisa mencukupi kebutuhan sendiri.

Pemilu dari Sudut Pandang Sosial Budaya

Budaya menerima bantuan langsung atau mendapat hibah itu harus jujur menjadi budaya yang masyarakat yang susah hilang. Ada perilaku dan budaya yang susah dihilangkan dalam masyarakat meskipun secara finansial sebetulnya cukup. Apapun masih diterima terutama yang gratis-gratis. 

Jujur penulis sendiri masih sering menerima hibah dan bantuan sosial karena meskipun sebagai guru yang mungkin cukup gajinya tetapi kebutuhan hidup ternyata bukan hanya masalah kecukupan sandang pangan, butuh hiburan, liburan dan pergaulan yang sesekali dilakukan agar tidak stres menerima kenyataan, bahwa seberapapun gaji yang diterima selalu kurang karena kebutuhan hidup di kota serba mahal, termasuk pemenuhan kuota internet, pajak kendaraan bermotor, listrik, air, penarikan iuran sampah, dan kebutuhan tiba tiba seperti kondangan dan biaya kemasyarakatan.

Budaya menghargai etika dan akhlak selalu didengungkan guru, tetapi pengaruh media sosial, digital sangat susah dilawan. Tayangan dari berbagai media sosial secara tidak langsung mendidik anak. Banyak kata-kata kasar muncul tidak tersaring, banyak perilaku aneh hampir setiap sajak membobardir ruang visual dan audio anak-anak. Keterbukaan informasi susah dibendung. Lalu jika ada yang bicara akhlak dan etika maka harus dilihat dari sudut mana?

Apakah ada tendensi dan kepentingan lain dibalik kampanye akhlak dan etika pada paslon dan politisi. Benarkah ada partai yang tidak benar-benar melanggar konstitusi atau undang-undang. Undang-undang apa yang secara tegas menghukum koruptor, pengemplang pajak dan pelanggar konstitusi.

Semua politisi boleh galak dan vokal jika bicara tentang moral dan etik pas pemilu, tetapi apakah masyarakat percaya ketulusan politisi ketika ia sudah duduk di parlemen. Asli yang benar-benar pejuang masih segelintir saja, dari segelintir itu akhirnya mereka ikut arus.  Ikut menjadi gila dan ambisius dalam kekuasaan. Saat menjelang pemilu segala cara dilakukan untuk membius masyarakat  ketika sudah duduk di pemerintahan dan parlemen kekuatan  dahsyat saat berkobar-kobar di kampanye itu pelan-pelan surut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun