Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Susahnya Membaca Buku (Fisik) di Era Digital

3 Juli 2023   17:25 Diperbarui: 5 Juli 2023   09:41 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Godaan terbesar membaca buku (fisik) sekarang adalah gawai. Sungguh saya merasa kewalahan saat ini. Banyak sekali aplikasi, fitur, media sosial seperti Facebook, Instagram, TikTok, YouTube, aplikasi nonton film seperti Vidio, Netflix, Viu, Disney+Hotstar, We TV, membuat kesempatan membaca buku sangat sedikit.

Toxic Gawai Mengurangi Aktivitas Manusia

Bisa dikatakan toxic gawai tengah melanda ruang privat saya. Beberapa menit saja tidak melihat perkembangan media sosial dan berita dari gawai ada perasaan aneh. Hal itukah yang membuat akhir-akhir ini saya malas menulis. Akhirnya kualihkan hobi menulis dan membaca di gawai.

Di Facebook sering saya ikuti cerita-cerita pendek dari penulis yang akhirnya bergiat di media sosial. Pepih Nugraha, Sunardian Wirodono, Andrian Diarto, Putu Wijaya. Mereka rajin membuat cerita walaupun singkat-singkat di status Facebook. 

Lama-lama ketagihan juga menulis di Facebook. Meskipun dengan berbagai kendala terutama pengetikan yang agak lama dibandingkan kalau mengetik di keyboard komputer.

Luwesnya menulis di gawai dapat dilakukan di mana saja. Sebetulnya penulisan artikel di gawai bisa juga dilakukan dengan voice note, jauh lebih cepat. Tapi bagi saya masih aneh karena jika menggunakan voice note saya mesti bicara saya bisa dianggap aneh bicara sendiri, kecuali mencari tempat yang sepi. 

Kalau menggunakan jari untuk mengetik kendalanya adalah jari-jari saya terlalu besar sehingga kadang gampang terpeleset dan banyak sekali typonya. Ini yang membuat faktor ketelitian setelah menulis atau tahab editing begitu penting. Kalau tidak yang ditulis di layar gawai setelah dibaca terlihat berantakan.

Susahnya membaca buku di era media sosial merupakan tantangan. Dalam hati dan pikiran masih ada keinginan membaca tetapi berbagai godaan itu yang susah dilenyapkan dan pada akhirnya saya mengakui kekalahan meninggalkan kebiasaan lama yang saya andalkan untuk melahirkan ide-ide menulis. 

Akhirnya saya mesti membaca lewat gawai dengan asumsi harus lebih selektif membacanya karena berita-berita di media sosial, koran-koran online terkadang bercampur baur dengan berita hoax.

Tumpukan buku itu kini hanya sering senyap, belaian tangan jarang menyentuh lembar demi lembar buku. Bahkan buku pelajaran untuk mengajarpun kini lebih banyak tersimpan di file drive, di google file atau di linktree.

 Sumber gambar: duniaperpustakaan.com
 Sumber gambar: duniaperpustakaan.com

Begitu Cepatnya Perubahan Budaya Masyarakat Akibat Media Digital

Kadang manusia modern begitu keji menutup akses masa lalu. Hal-hal yang lumrah dilakukan di masa lampau kini jarang sekali dilakukan. Koran-koran yang dulu pernah berjaya satu per satu rontok, toko buku yang dulu ramai dikunjungi sekarang rontok satu per satu. 

Rasanya sedih nian melihat buku yang notabene adalah sumber ilmu lama-lama lenyap ditelan bumi digantikan oleh alat canggih modern yang bisa ditenteng ke mana-mana. Mau membaca buku buku dengan notebook, gawai, yang bisa dilipat-lipat dan semakin praktis dikantongi.

Mau presentasi tidak harus membawa laptop ke mana-mana, cukup disimpan di drive dan dilinktree, power point bisa dishare tanpa harus membawa flash disk cukup disimpan di media penyimpanan yang bisa menampung bertera-tera bite dengan menggunakan aplikasi penyimpanan atau membayar google one. 

Sedangkan untuk perkantoran link penyimpanan sudah terintegrasi dalam link email perusahaan. Tidak perlu membeli lagi ruang penyimpanan.

Sebetulnya ketika usia semakin senja sangat susah sekali memahami bahasa digital, tetapi karena tuntutan perut dan masih ingin bekerja, yang sangat susah dilakukan harus terus menerus dipelajari. 

Saat ini berbagai pelatihan lewat online dengan penggunaan Zoom, Youtube live streaming, menjamur. Para pembicara tidak harus datang ke sebuah daerah pengundang, cukup diberi akses Zoom maka seminar berjalan sukses, interaksi bisa dilakukan dengan cara membuka komunikasi lewat chat atau lewat berbagai fitur yang memungkinkan berdialog lintas arah, cukup membuka ruang audio atau video yang bisa memperlihatkan wajah kita saat berbicara atau sedang bertanya. Tapi dengan catatan jaringan internetnya kuat, kalau lemah akan terganggu karena suara dan gambarnya akan terputus-putus.

Perkembangan digital sangat cepat berkembang terutama ketika dunia diterjang bencana penyakit Covid-19. Ribuan dan jutaan manusia mengalihkan aktivitas dengan bantuan media digital. 

Dari perkembangan digital membuat kebiasaan lama terutama membaca buku, belajar lewat interaksi langsung manusia dan manusia jauh menyusut. Komunikasi tergantikan dengan media digital yang bisa dilakukan antar kota, antar kota, antar negara tanpa harus beranjak dari kursi.

Seni Membaca Buku dan Memorablenya

Membaca buku adalah sebuah kenangan terindah, mesti ada waktu khusus agar bisa santai membaca. Ada ruang sunyi yang membuat manusia nyaman berselancar dalam cerita-cerita yang diciptakan oleh sang pengarang. 

Untuk memahami dunia penulis dan pengarang manusia mesti sabar membaca larik demi larik kata. Kalau pengarangnya mempunyai imajinasi cerdas, punya pemikiran runtut, detail, dan luas maka akan tercipta dialog luar biasa antara pengarang dan pembacanya.

Pembaca pun seperti mempunyai ruang imajinasi luas untuk bisa memahami bahasa pengarangnya. Itu dulu saat kebiasaan membaca masih menjadi ruang yang menyenangkan. 

Kini dengan munculnya gawai dunia terserap semuanya lewat benda cerdas yang mesti bergantung pada dunia elektrik, listrik, dan tentu saja internet. Tanpa kuota internet atau wifi jangan harap bisa mengakses media sosial.

Dunia berubah sangat cepat dan manusia mesti bisa menyesuaikan diri. Apa yang terpikirkan oleh manusia yang beranjak menuai kadang tidak sejalan dengan dunia mereka yang masih muda bergelora dan tersandera oleh deretan godaan dari media digital. 

Sekarang ke mana-mana jari jemari, tangan selalu harus sejalan dengan keberadaan smartphone. Kalau bisa tidak hanya satu gawai tetapi dua bahkan tiga gawai untuk memenuhi keinginan manusia yang bisa dikatakan gadget freak.

Kadang konyolnya lupa dompet dan identitas diri manusia tidak terlalu galau tetapi tanpa gawai manusia seakan mati gaya, benarkah begitu. Semoga saya salah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun