Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Benarkah Sangat Susah Menembus Rubrik" Cerpen" Kompas?

11 Mei 2023   11:07 Diperbarui: 11 Mei 2023   11:22 812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya menyukai cerita pendek yang terkesan "berat" seperti cerpen yang dimuat di Kompas. Koran Tempo, Kedautan Rakyat, Jawa Pos. Beberapa tahun lalu jujur masih rajin membeli koran khusus hari Minggu yang memuat cerpen dan kolom seni budaya. Minat saya kuat, Cuma sayangnya tidak diikuti dengan kemampuan untuk mengoleksi, memelihara dengan kliping-kliping yang rapi. Padahal hampir setiap minggu membaca cerita dari berbagai media tersebut.

Kelebihan-kelebihan cerpen yang dimuat di Kompas terutama karena kurasinya ketat dan redakturnya begitu selektif untuk memilih cerpen yang benar-benar berkualitas menurut sudut pandang editor Kompas.

Saya sih menikmati bacaan sastra koran sebagai bagian untuk pembelajaran dalam memahami sastra dari pelaku "cerpenis" yang terbentuk karena komunitas, karena pergaulan intens dengan insan pecinta literasi, sastra, seni, seniman dan seni budaya secara keseluruhan. Paling sedikit saya mengenal cerpenis yang malang melintang di koran dan sastra seperti Kuntowijoyo, Danarto, Seno Gumira Ajidarma, Budi Dharma dan masih banyak sastrawan lain.

Selain absurd penuh kejutan bahasa mereka rasanya cukup berat bagi pecinta cerpen pada umumnya. Membaca cerpen itu rasanya eksklusif, tidak semua masyarakat sempat dan suka membaca cerpen apalagi cerpen berat yang rangkaian bahasanya harus ditelaah melalui diskusi dan pemahaman luas tentang sastra dan sastra koran pada khususnya.

Cerpen pilihan Kompas adalah bacaan yang memberi daging dan gizi bagi pecinta sastra, sayangnya masyarakat sekarang bahkan jarang membaca. Mereka membeli koran hanya untuk berita-berita gosip, politik dan info lowongan kerja atau info discount. Setelah beberapa hari koran tergeletak maka berubah funsi menjadi pembungkus makanan yang phisik kertas akan dijual murah kiloan.

Kadang saya suka sedih melihat gelasah koran yang hanya berfungsi sebagai pembungkus. Sedangkan ketika kita menyempatkan membaca kolom-kolomnya sebetulnya penuh gizi dan mempunyai keluasan wawasan pengetahuan yang bisa menambah kuatnya daya literasi masyarakat.

Sayangnya  masyarakat saat ini lebih senang membaca hal-hal bombastis, skandal artis, kisah dukun cabul, berita-berita politik yang penuh tidak lagi independen melainkan partisan. Tulisan yang ada di media online tidaklah lahir dari jurnalisme netral. Banyak yang muncul berdasarkan pesanan maka tulisan-tulisan yang hadir pun susah dipertanggungjawabkan akurasinya kecuali koran dan media yang masih idealis semacam Kompas.

Beberapa tahun lalu penulis masih rajin beli koran minggu eceran untuk baca cerpen (dokpri)
Beberapa tahun lalu penulis masih rajin beli koran minggu eceran untuk baca cerpen (dokpri)

Banyak koran dan media baik televisi maupun media jurnalisme online dimiliki oleh orang-orang yang notabene pengusaha, konglomerat yang sudah mempunyai afiliasi ke partai tertentu. Maka berita-beritanya pun lebih banyak untuk membuat informasi tentang kiprah politik partai yang menaunginya. Tidak perlu menyebutnya tetapi pembaca tahu media mana yang cenderung partisan.

Sastra koran dicintai oleh mereka yang benar-benar mencintai sastra dan pelaku literasi yang masih memegang idealisme. Untuk berkiprah di dunia sastra murni, mengandalkan pendapatan dari honor-honor menulis cerpen jelas berat. Sebab banyak media mulai gulung tikar dan tidak mampu lagi memberi honor sastrawan atau pelaku seni literasi. Mungkin hanya Koran Kompas yang berani membayar mahal terhadap karya sastra koran. Yang lain paling berani memberi honor kisaran  300 sampai 500 ribu saja. 

Banyak media yang menyediakan rubrik cerpen puisi tapi tidak disediakan honor yang layak. Mereka yang mengirim naskah cerpen atau puisi lebih karean suka dan cinta dunia sastra meskipun tidak dibayar, cukup puas kalau karyanya bisa dibaca oleh pecinta sastra yang tidak banyak.

Kembali ke Cerpen Kompas. Fajar Putu Arcana editor desk Kompas bagian cerpen tentu mempunyai kriteria ketat cerpen-cerpen yang bisa masuk dan dimuat di Kompas. Mereka yang mengirimkan cerpen pasti bisa saja ratusan sampai ribuan, Editor harus mengkurasi, memilih dan memilah cerpen yang cocok yang bisa dimuat di koran hari Minggu. 

Kecermatan editor bagian sastra koran tentunya tidak lepas dari kritikan juga. Saya sendiri susah mencari celah kelemahan cerpen Kompas karena meskipun sejak tahun 1989 rutin membaca cerpen Kompas tetap saja tidak pede ketika mencoba menulis tentang cerpen yang setara dengan tulisan-tulisan yang malang melintang di dunia koran apalagi Kompas yang pasti mempunyai standar tinggi untuk pemilahan cerpen yang sesuai dengan "jiwa"Kompas.

Seno Gumira Ajidarma, Danarto, Kuntowijoyo sangat akrab dengan pembaca yang rutin membaca sastra koran. Tulisan mereka tersebar di media-media besar yang saat ini sudah banyak yang gulung tikar. Cerpen absurd, cerpen dengan imajinasi tinggi serta rangkaian bahasa sastra yang susah dipahami awam ini perlu waktu khusus untuk memahami misi tersembunyi dibalik penulisan cerpen tersebut. Maka sebagai pembaca saya kadang perlu membeli buku kumpulan cerpen pilihannya meskipun sebetulnya saya juga mengkliping cerpen-cerpen itu di tiap minggunya.

Saya mesti melihat dan mengikuti dengan cerpen kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf dengan alur cerita yang kadang muncul flash back atau sekedar narasi panjang yang membuat pembaca larut dalam sihir kata-katanya atau kadang kecewa dengan ending cerita yang tidak sesuai dengan ekspektasi pembaca. Kadang epilog cerpen dibiarkan menggantung untuk membiarkan pembaca meraba dan berimajinasi akhir dari cerita tersebut.

Dalam sastra pun ada aliran-alirannya seperti halnya seni lukis yang bisa beraliran realis, surealis, Impresionis, naturalisme bahkan abstrak. Absurditas alam mimpi dunia khayalan atau malah menampilkan sisi lain dari dunia mimpi akan lolos sesuai dengan kurasi dan tingkat pengetahuan editor untuk meloloskannya menjadi bagian dari sastra koran. Seno Gumira Ajidarma selain menulis sastra realis ia lebih banyak menulis sastra absurd yang butuh imajinasi tinggi untuk memahaminya.

Sedangkan Kuntowijoyo terutama Pistol Perdamaian menurut pemahaman penulis masuk dalam kategori cerpen realis dengan . Masih banyak penulis cerpen lain seperti Afrizal Malna, Bondan Winarno, Gendut. B Riyanto. Yusrizal K.W yang dipilih Kompas karena masing-masing mempunyai kekhasannya sendiri dan memberi sentuhan sastra yang  bercitarasa tinggi.

Kuntowijoyo mengemas cerita tentang takdir pistol. Setelah dibuang ke sampah untuk meyakinkan pada istri bahwa bila takdir dan berjodoh barang yang dibuang akan kembali pada pemiliknya. Ternyata Pistol ditemukan tukang sampah dan dikembalikan pada yang membuangnya. 

Upaya selanjutnya membuang ke tempat lebih jauh, Karena ternyata Pak Lurah menemukan pistol yang dibuang dan diserahkan pada ahli sejarah yang tidak lain pembuang pistol tersebut. Cerita sederhana yang berhubungan dengan sejarah dan cerita-cerita sederhana namun sangat mengena untuk dijadikan sastra koran yang patut mendapat penghargaan sebagai cerpen terbaik versi Kompas.(Untuk membaca Pistol Perdamaian bisa dicari di kumpulan cerpen Kompas berjudul Pistol Perdamaian 1996)

Mengapa saya katakan susah menembusnya. Karena magnet menulis cerita cerpen Kompas menjadi target para penulis dan sastrawan skala nasional. Sekali bisa menembus Kompas rasanya seperti ada semacam pentahbisan bahwa ia sah disebut cerpenis karena sudah pernah dimuat di koran berskala nasional. 

Selanjutnya bila rajin menulis akan lebih gampang mengirimkan cerpen di koran yang skalanya di bawah Kompas.Jalan lempang akan terbentang juga bila para penulis ikut pelatihan penulisan cerpen (Workshop Kelas yang diselenggarakan sejak 2012 Cerpen Kompas yang diselenggarakan sejak 2012) . Karena dalam pelatihan akan dilatih cara penulisan cerpen yang sesuai yang dimaui oleh redaktur dan editor Kompas.

Itu di alami oleh penulis dari Sulawesi Faisal Oddang. Bisa menembus Kompas ketika statusnya masih mahasiswa. Setelah cerpennya bisa tembus ke Kompas, kesempatan terbuka lebar bagi Faisal Oddang untuk berkiprah dalam bidang sastra dan sering diundang di seminar dan workshop tentang penulisan khususnya cerpen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun