Saya menyukai cerita pendek yang terkesan "berat" seperti cerpen yang dimuat di Kompas. Koran Tempo, Kedautan Rakyat, Jawa Pos. Beberapa tahun lalu jujur masih rajin membeli koran khusus hari Minggu yang memuat cerpen dan kolom seni budaya. Minat saya kuat, Cuma sayangnya tidak diikuti dengan kemampuan untuk mengoleksi, memelihara dengan kliping-kliping yang rapi. Padahal hampir setiap minggu membaca cerita dari berbagai media tersebut.
Kelebihan-kelebihan cerpen yang dimuat di Kompas terutama karena kurasinya ketat dan redakturnya begitu selektif untuk memilih cerpen yang benar-benar berkualitas menurut sudut pandang editor Kompas.
Saya sih menikmati bacaan sastra koran sebagai bagian untuk pembelajaran dalam memahami sastra dari pelaku "cerpenis" yang terbentuk karena komunitas, karena pergaulan intens dengan insan pecinta literasi, sastra, seni, seniman dan seni budaya secara keseluruhan. Paling sedikit saya mengenal cerpenis yang malang melintang di koran dan sastra seperti Kuntowijoyo, Danarto, Seno Gumira Ajidarma, Budi Dharma dan masih banyak sastrawan lain.
Selain absurd penuh kejutan bahasa mereka rasanya cukup berat bagi pecinta cerpen pada umumnya. Membaca cerpen itu rasanya eksklusif, tidak semua masyarakat sempat dan suka membaca cerpen apalagi cerpen berat yang rangkaian bahasanya harus ditelaah melalui diskusi dan pemahaman luas tentang sastra dan sastra koran pada khususnya.
Cerpen pilihan Kompas adalah bacaan yang memberi daging dan gizi bagi pecinta sastra, sayangnya masyarakat sekarang bahkan jarang membaca. Mereka membeli koran hanya untuk berita-berita gosip, politik dan info lowongan kerja atau info discount. Setelah beberapa hari koran tergeletak maka berubah funsi menjadi pembungkus makanan yang phisik kertas akan dijual murah kiloan.
Kadang saya suka sedih melihat gelasah koran yang hanya berfungsi sebagai pembungkus. Sedangkan ketika kita menyempatkan membaca kolom-kolomnya sebetulnya penuh gizi dan mempunyai keluasan wawasan pengetahuan yang bisa menambah kuatnya daya literasi masyarakat.
Sayangnya  masyarakat saat ini lebih senang membaca hal-hal bombastis, skandal artis, kisah dukun cabul, berita-berita politik yang penuh tidak lagi independen melainkan partisan. Tulisan yang ada di media online tidaklah lahir dari jurnalisme netral. Banyak yang muncul berdasarkan pesanan maka tulisan-tulisan yang hadir pun susah dipertanggungjawabkan akurasinya kecuali koran dan media yang masih idealis semacam Kompas.
Banyak koran dan media baik televisi maupun media jurnalisme online dimiliki oleh orang-orang yang notabene pengusaha, konglomerat yang sudah mempunyai afiliasi ke partai tertentu. Maka berita-beritanya pun lebih banyak untuk membuat informasi tentang kiprah politik partai yang menaunginya. Tidak perlu menyebutnya tetapi pembaca tahu media mana yang cenderung partisan.
Sastra koran dicintai oleh mereka yang benar-benar mencintai sastra dan pelaku literasi yang masih memegang idealisme. Untuk berkiprah di dunia sastra murni, mengandalkan pendapatan dari honor-honor menulis cerpen jelas berat. Sebab banyak media mulai gulung tikar dan tidak mampu lagi memberi honor sastrawan atau pelaku seni literasi. Mungkin hanya Koran Kompas yang berani membayar mahal terhadap karya sastra koran. Yang lain paling berani memberi honor kisaran  300 sampai 500 ribu saja.Â
Banyak media yang menyediakan rubrik cerpen puisi tapi tidak disediakan honor yang layak. Mereka yang mengirim naskah cerpen atau puisi lebih karean suka dan cinta dunia sastra meskipun tidak dibayar, cukup puas kalau karyanya bisa dibaca oleh pecinta sastra yang tidak banyak.