Kata "Ujung" pasti sangat dikenal di Jawa khususnya di tempat kelahiran penulis di Magelang. Pas Hari Lebaran setelah bubaran Sholat Ied. Orang-orang di desa akan memulai ritual dengan ujung terutama pada orang tua dan tetangga sekitar. Ujung dimaknai sebagai datang ke saudara, tetangga untuk sungkem, kepada orang tua, sekadar berharap ada yang dimasukkan ke kantong (uang receh).
Bagi anak-anak dan remaja kegiatan itu wajib dilakukan. Datang berbondong-bondong ke orang tua atau dituakan lalu sungkeman dengan kata-kata yang kurang lebih artinya mohon maaf lahir bathin.
Kenangan Masa Kecil yang Membahagiakan
Secara khusuk orang tua mendoakan."Yo, tole, Denok, tak tompo andung pangapuramu, mugo mugo, ing dino sing fitri iki dosamu lan dosaku lebur. Mugi Gusti ing sing Nggawe urip tansah maringi awak kang bagas waras. Donga dinungo ya..."(Ya Nak, saya terima maafmu, semoga di hari yang fitri ini dosamu dan dosaku lebur. Semoga Tuhan yang Maha Pencipta selalu memberikan tubuh sehat. Saling berdoa ya)
Padahal saya sendiri ketika datang ke orang tua hanya sungkem tanpa tahu mau ngomong bagimana hanya diam sambil mencium tangan sambil berlutut. Dan akhirnya matur nuwun sami-sami, Mbah..."
Setelah itu kami duduk rapi, sambil mata jelalatan melihat suguhan di depan mata. Ada wajik Bandung, Jadah(uli), wajik ketan, roti kelapa, roti kimpul yang berbentuk setengah bulat dengan warna putih dan merah, kacang goreng, emping mlinjo. dengan suguhan teh panas anget.
"Kuwi Le, toplese dibukak, kono miliho sakarepmu."(Itu nak topelsnya dibuka sana milih semaumu) Mbah Soma (sebut saja) duduk santai sambil membuka gulungan tembakaunya, menyiapkan sigaret, pemes atau pisau kecil untuk memotong-motong klembak dan menyan. Setelah itu kletik, korek api segera membakar rokok klembak menyan yang baunya menyengat tersebut.
"Ojo, isin-isin, kae wajike dipangan iku gaweyane mbah wedok. Uenak nyamleng tenan." (jangan malu-malu, itu wajiknya dimakan.itu buatan nenek, enak sekali)
Kami masih malu untuk mengambil.
"Ora usah isin, njupuk wae, opo pothil kuwi. Oh, kene tak bukakke emping."
Setelah yang kedua kali kami langsung menyerbu makanan yang sudah ada di depan mata.
Setelah beberapa saat, Sarjum sebagai pimpinan rombongan lantas. Minta pamit.
"Sampun Mbah, badhe nerasaken lampah, Nyuwun pamit rumiyin"(Sudah Mbah, mau meneruskan ujung ke tempat lain)
"Lha kok sedelit men (Cuma sebentar), Iyo wis ati ati yo le, nok."
Itu baru satu diantara puluhan rumah yang mesti kami datangi. Pulang-pulang dari ujung kami kecapekan dan tentu saja kekenyangan.
Hari kedua kami punya agenda untuk melakukan ujung ke luar dusun, entah ke desa sebelah atau agak lebih jauh lagi, bahkan dulu ketika kendaraan bermotor belum banyak, jalan kaki berkilo-kilo meter kami lakukan untuk bertemu dengan saudara jauh yang jarang ketemu.
Hari kedua biasanya kami dijamu makan besar. Yang khas ada di desa itu adalah besengek tempe, opor ayam, srondeng daging sapi, krupuk udang dan mangut uceng dam mujahir.
Sajian minumannya di mana-mana selalu tersedia teh manis panas (nasgitel: panas legi kentel) terkadang teh pahit dengan gula kelapa sebagai pemanisnya. Rasa capek dan lelah lantas hilang setelah menyeruput teh dan sejumlah suguhan, emping mlinjo yang besar, serta enting-enting jahe.
Tradisi ujung itu hadir turun temurun sebagai sebuah kebiasaan masyarakat Jawa. Keakraban, sikap ramah, dan membuka diri pada tamu siapa saja untuk disuguhi berderet makanan itu membuat saya kangen dengan masa kecil saya.Â
Kami mengenal saudara satu kampung, kenal saudara lain desa bahkan yang jaraknya berkilo-kilo. Di Magelang tradisi itu masih dilakukan sampai sekarang.
Kalau dulu zaman kecil jalan kaki sudah menjadi kebiasaan, dengan baju baru, keringat berlelehan menyusuri sawah, jalan setapak, ladang, naik turun jurang atau tebing, menikmati jernihnya sungai dari lereng gunung Merapi dan Merbabu. Sekarang orang-orang berkunjung dengan berkendara motor dan mobil.
Orang-orang perantau yang pulang ingin menunjukkan betapa mereka sukses mengais rezeki di kota. Berpakaian keren dan menunjukkan kendaraan mereka yang keren-keren. Padahal dulu tujuan utama adalah minta doa dari orang tua dan sekadar menikmati suguhan makanan khas yang selalu disajikan saat lebaran.
Mungkin dulu dikenal istilah tuno sathak bathi sanak (merugi sejumlah uang tetapi untuk memperluas persaudaraan). Rasa persaudaraan kuat membuat kegotong-royongan juga kuat. Meskipun berlainan agama, tidak ada sekat karena perayaan lebaran itu seakan-akan menjadi perayaan bersama orang-orang Jawa.
Ujung boleh dikatakan istilahnya sekarang silaturahmi mengambil kata berkunjung atau mengunjungi. Mendekatkan persaudaraan dan membuat kami merasa ada ikatan kuat untuk terus guyup rukun.
Sayangnya setelah besar, setelah dewasa, kebiasaan ujung semakin hilang. Saat ini rasanya semacam ada sekat yang merintangi yaitu perbedaan. Atau rasa enggan muncul karena egoisme pribadi yang tersekat oleh perbedaan agama. Padahal ujung itu sebetulnya adalah warisan tradisi Jawa, dengan Islam tradisional sebagai pelopornya dan budaya Jawa yang melekat kuat zaman dahulu.
Meskipun tradisi itu banyak hilang di kota, tetapi di Jawa khususnya pedalaman dan kota-kota pinggiran masih melakukannya. Mengingat tradisi itu kami jadi rindu untuk pulang, meskipun sudah beberapa tahun di hari lebaran kami sekeluarga jarang mudik.Â
Rasanya ingin merasakan kembali sungkem kepada orang tua dengan wejangan khas dari para orang tua dengan bahasa jawa kental.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H