Ramadhan menjadi penanda bagi umat Islam untuk melaksanakan kewajiban puasa untuk menyambut Idul Fitri. Bagi sebagian masyarakat Ramadhan adalah berkah, sekaligus perlu ekstra pengeluaran terutama untuk mempersiapkan ritual buka puasa dan juga menjelang pagi untuk sahur.
Antara kewajiban agama, tradisi dan perubahan pola hidup
Satu kran rezeki mengalir, dari penghasilan tambahan membuka lapak takjil, makanan-makanan tambahan untuk menu buka puasa, juga persiapan makanan sahur agar puasa dari pagi hingga sore sukses dilewati. Sisi lain pengeluaran membengkak untuk sebuah kebiasaan baru mempersiapkan sajian buka dan sahur yang tidak sedikit.
Puasa sebetulnya membatasi diri menahan hawa nafsu, tidak tergoda untuk makan dan minum kala panas terik dan juga menjaga jiwa untuk tidak mudah marah dan emosi. Kalau menahan diri tidak makan dan minum itu bisa dengan mudah dilewati, beda menahan diri untuk tidak terpancing emosinya entah ketika tengah melakukan perjalanan, atau tengah bekerja, rapat dan juga acara yang melibatkan orang banyak.
Tidak kalah pentingnya menjaga mulut dan jari untuk tidak melakukan komentar yang membuat emosi dengan membuat tulisan yang menyinggung sesama pengguna media sosial. Sebab menurut pengamatan penulis, banyak netizen khusuk menahan diri untuk tidak makan dan minum namun ketika mengisi dan menunggu waktu buka puasa malah membuat komentar-komentar kasar, menulis kata-kata nyinyir yang memicu pertengkaran dan balas membalas komentar yang tidak patut.
Puasa itu menahan diri, introspeksi bathin, dan sebetulnya tetap biasa makan tanpa perlu berubah seperti sebelum puasa (hanya berubah waktunya).
Namun fenomena saat ini kehidupan hedon, kumpul-kumpul makan, bukber, membuat acara hingga pengeluaran pas bulan puasa menjadi membengkak berlipat-lipat. Yang sebelumnya tidak dilakukan seperti tradisi buka bersama, lantas memaksa diri untuk merogoh kocek lebih dalam menikmati takjil dan makanan enak sehabis buka puasa. Menjelang pagi pun sahur dilakukan dengan makan-makanan yang enak agar kuat menjalani puasa sampai sore.
Kesalahkaprahan itu akhirnya menjadi tradisi yang tidak bisa dielakkan lagi. Akhirnya tabungan selama setahunpun terkuras untuk Ramadhan, dan lebaran.
Dalam ilmu ekonomi hal itu bisa saja disebut pemborosan. Namun yang mengherankan selalu ada jalan mendapatkan rezeki, padahal masyarakat seperti tidak habis-habisnya membeli makanan menjelang berbuka dan menyiapkan makanan menjelang imsak.
Peluang usaha, perputaran ekonomi dan pengeluaran ekstra
Pedagang, pengusaha, UMKM penjual makanan musiman memanfaatkan satu bulan tiap tahun untuk menangguk rezeki. Bagi pelaku usaha yang tajam feelingnya dalam berbisnis mereka akan  selalu mempelajari kebiasaan masyarakat. Perputaran uang sangat cepat, toko emas laris, penjual pakaian di tingkat grosir sampai pedagang eceran menangguk untung dari pola hidup masyarakat yang tidak-tiba konsumtif di bulan Ramadhan.
Masyarakat yang boleh jadi sebelum Ramadhan dan menjelang lebaran makan seadanya, bekerja keras siang malam menabung agar bisa mudik dan berkumpul bersama keluarga besar saat lebaran tiba, tiba-tiba mengeluarkan anggaran ekstra, mereka perlu baju bagus, kendaraan yang nyaman untuk dibawa pulang mudik dengan menunjukkan betapa kerja keras mereka di kota tidak sia-sia. Memanfaatkan dermawannya masyarakat menjelang lebaran pengemis, lantas mendadak penuh di pinggir-pinggir jalan, di dekat tempat ibadah. Mereka panen rezeki dari belas kasihan masyarakat yang ingin mendapat pahala lebih di bulan baik bulan suci.