Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

PDIP dan Langkah-Langkah yang Penuh Misteri

14 April 2023   09:16 Diperbarui: 14 April 2023   09:17 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai partai yang masuk koalisi pemerintah dan kepala pemerintahannya berasal dari PDIP, langkah PDIP terasa aneh. Banyak trik politik yang tampak seperti mengkerdilkan upaya pemerintah dalam memajukan bangsa dengan kebijakan yang lebih berpijak pada masyarakat.

Partai Koalisi Rasa Oposisi

Menjelang tahun 2024 banyak manuver partai yang tergambarkan seakan-akan bertindak sebagai oposisi pemerintah. Padahal seharusnya mendukung secara allout apa yang dilakukan pemerintah. Langkah-langkah tradisional partai yang berpijak pada nilai-nilai yang diajarkan  Ir. Soekarno presiden pertama Republik Indonesia, ingin diimplementasikan dalam gerak kerja pemerintahan. Siapapun kepala pemerintah, daerah kalau ia berasal dari partai dianggap tetap sebagai petugas partai. Pemimpin tertingginya dalam hal ini Megawati Soekarno Putri berhak mencampuri urusan pemerintahan dengan berpijak pada klaim bahwa presiden adalah petugas partai yang harus patuh dan tunduk pada pimpinan partai.

Ini yang merepotkan. Padahal sebagai kepala negara yang dipilih langsung rakyat, partai hanyalah salah satu jalan. Kalau ada klaim "kamu bukan siapa-siapa tanpa kami partai politik yang memilihmu untuk menduduki puncak tertinggi pemerintahan." Ini yang susah dimengerti sebagai rakyat pemerintah harus lebih mendengarkan aspirasi rakyat bukan partai politik.

Memang benar, bahwa tanpa partai politik seseorang calon kepala negara akan sulit maju, karena konstitusi dan undang-undang mengatur tentang warga masyarakat yang bisa dipilih sebagai kepala pemerintahan yang harus bergabung di partai politik untuk mendapat legitimasi dan dukungan secara politik dan sistem pemilu yang sah. Belum ada seorang kepala negara yang datang independen tanpa melalui tahapan gabung dengan partai politik kecuali dari kalangan militer.

Namun, dengan hegemoni partai yang besar itu membuat ruang gerak presiden dalam mengambil kebijakan sering terhambat dengan intervensi partai politik. Semacam ada ketidaknyamanan pemimpin bila memilih pembantunya dalam hal ini menteri-mentrinya dan turunannya yang harus selalu melakukan kompromi dengan partai pengusungnya. Ada hutang politik yang mesti dibayarkan, terutama pembagian kue kekuasaan, keterlibatan dalam pemerintahan dan posisi-posisi strategis dalam pemerintahan yang harus melibatkan kader-kader partai politik.

Ini membuat dilema bagi kepala pemerintahan dalam hal ini presiden untuk memilih partner kerjanya yang benar-benar ahli dalam bidangnya bukan karena titipan partai. Namun itulah konstitusi dan undang-undang membuat presiden selalu harus konsultasi dengan partai pendukungnya. Sementara dalam kenyataan sering ditemukan fakta bahwa orang-orang partai sendiri seringkali menjadi musuh dalam selimut pemerintah, karena mereka mempunyai kepentingah khusus untuk memperbesar pengaruhnya baik dalam birokrasi maupun dalam komposisi kabinetnya, serta kue-kue manis jabatan strategis yang bisa mendatangkan keuntungan bagi partai itu sendiri.

Jika kepala pemerintah tersandera kepentingan politik orang-orang sekitarnya akan sulit membuat kebijaksanaan yang benar-benar pro rakyat, karena harus selalu mendengarkan masukan dari partai politik yang belum pasti berpikir sama dengan apa yang dipikirkan rakyat.

Bahkan jika terlalu memprioritaskan kepentingan rakyat maka partai politik seperti mempunyai trik dan manuver tersendiri untuk menghambat ruang gerak pemerintah. Inilah yang terjadi dengan pemerintahan sekarang.

 Puncak dari perbedaan itu adalah gagalnya Indonesia menyelenggarakan Piala Dunia U-20. Sejatinya tinggal selangkah lagi Indonesia menjadi tuan rumah piala dunia namun FIFA membatalkannya karena adanya penolakan dari pemerintah daerah  Bali sebagai penyelenggara drawing Piala Dunia yang sedianya Bali menjadi tuan rumah. Keputusan mendadak Wayan Koster itu usut punya usut ternyata karena perintah dari pimpinan partai dalam hal ini PDI Perjuangan. Seminggu kemudian diperkuat dengan pernyataan Ganjar Pranowo yang menolak keikutsertaan Israel untuk bertanding di Indonesia karena latar belakang sejarah. PDIP mengkaitkan dengan amanat konstitusi UUD 45 bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa  dan oleh sebab itu, Penjajahan di atas Bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanuniaan dan perikeadilan.

PDIP Blunder Atau Sengaja Bertindak Antitesis terhadap Pemerintah?

Pedoman partai tentang amanat UUD 1945 itu menjadi pegangan untuk menolak kontingen sepakbola asal Israel yang notabene sekarang terus melakukan aksi penyerangan terhadap bangsa Palestina. Indonesia menurut PDIP menolak Israel agar tidak muncul peristiwa yang tidak diinginkan di kemudian hari jika dipaksakan Indonesia menyelenggarakan Piala Dunia U 20 tersebut.

Dengan dibatalkannya penyelenggaraan piala dunia U 20 kerugian sangat besar terutama karena secara intensif Indonesia mengajukan diri menjadi tuan rumah. FIFA mempunyai aturan ketat dalam hal penyelenggaraan kejuaraan bertaraf internasional tersebut. Ada persyaratan bahwa negara atau pemerintah tidak boleh turut campur dalam hal aturan main yang dibuat FIFA, kalah melanggar akan mendapat hukuman berat. Di kasih kartu merah berarti sebuah negara tidak boleh menyelenggarakan pertandingan bertaraf Internasional, apapun kegiatan sepakbola di dalam negeri tidak pernah diakui FIFA dan dunia internasional.

Masih beruntung Indonesia  hanya dikartu kuning, artinya hanya mendapat sangsi administrasi, masih bisa ikut pertandingan internasional. Namun dampak dari batalnya penyelenggaraan Piala Dunia ini bisa membuat reputasi Indonesia hancur karena apa-apa ketidakpercayaan internasional karena Indonesia tidak bisa menjamin keamanan karena masalah konstitusi yang membatasi Indonesia untuk menjadi tuan rumah karena masalah keamanan dan suasana politik yang tidak mendukung.

PDIP dalam hal ini adalah partai terbesar saat ini. Mereka kebetulan adalah partai pemenang pemilu dua kali berturut-turut sejak Jokowi menjadi calon presiden sampai terpilih kedua kali. Ada saling ketergantungan dan saling menguntungkan Jokowi dan PDIP. PDIP sendiri menganggap semua kadernya entah itu sebagai Presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, bupati, wali kota dan turunannya yang berasal dari partai adalah petugas partai tanpa terkecuali, semua harus tunduk pada keputuran ketua umum dalam hal ini Megawati Soekarno Putri.

Gambaran betapa kuatnya pengaruh ketua umum terlihat ketika Bambang pacul,atau Bambang Wuryanto mengakui wakil rakyat pun harus tunduk dan mengamini apa yang menjadi keputusan pimpinan umum partai.

Hegemoni partai politik di era modern ini membuat presiden, menteri dan wakil rakyat seperti berada di bawah bayang-bayang keputusan partai. Padahal sebagai wakil rakyat harusnya mereka tunduk pada rakyat yang memilihnya bukan pada partai yang menaunginya. Keputusan-keputusan pemerintahan yang strategis pun terhambat karena pimpinan negara harus membuat kompromi dengan partai politik.

Padahal menurut pengamatan penulis yang awam politik dan tidak begitu mengenal tentang mekanisme keputusan partai apa yang dilakukan PDIP saat ini adalah blunder. Ini akan membuat partai berlambang banteng moncong putih itu mendapat kritikan pedas dan ditinggal konstituennya. Keputusan tidak populer itu ternyata sudah diperhitungkan PDIP. Mereka mempunyai alasan kuat kenapa menolak keikutsertaan Israel. Salah satunya karena konstitusi UUD 45 mengamanatkan untuk tegas mempertahankan hak untuk menolak karena tidak ingin mendukung negara yang menjadi penjajah dan pelanggar hak asasi manusia seperti pemerintahan Israel yang sampai saat ini terus menyerang Palestina.

Sampai kapan partai keukeuh mempertahankan garis konstitusinya sementara sudah puluhan tahun bahkan tidak jelas sampai kapan perseteruan Israel dan Palestina berakhir. Sementara Indonesia rugi telah menyia-nyiakan kesempatan emas yang mungkin tidak terulang puluhan tahun yang akan datang. Akibat campurtangan politik membuat pemerintah Indonesia yang ingin melompat, melakukan terobosan menjadi negara maju dan disegani di dunia internasional menjadi terhambat.

Sampai saat ini penulis tidak paham dengan apa yang dimaui petinggi PDIP. Adakah agenda terselubung dan manuver rahasia yang tengah dibidik oleh PDIP yang mengusung garis ideologi Soekarno. Padahal menurut pendapat penulis, Soekarno bukan orang yang kaku dalam hal konstitusi, Kalau Soekarno masih ada ia pasti akan mendukung pemikiran progresif, pikiran yang maju untuk membuat Indonesia sejajar dengan negara lain dalam hal infrastruktur, ekonomi, kreativitas orang muda dan gerak cepatnya pemerintah untuk memajukan bidang-bidang budaya dan olah raga. Piala dunia itu impactnya luar biasa, Bisa membuat Indonesia mendapat kepercayaan luar biasa jika bisa menyelenggarakannya dengan sukses, terlepas ketakutan terhadap keamanan karena sementara mendekati tahun politik dan gangguan internal dari ormas-ormas, organisasi yang tidak suka dengan sepakterjang politik Israel, nyatanya Indonesia pernah sukses menyelenggarakan even sebesar G-20 dan Asian Games. Itu portofolio yang menjanjikan yang akhirnya disia-siakan.

Sayang sekali karena campurtangan politik membuat Indonesia harus bisa menerima pembatalan penyelenggaraan Piala Dunia U-20 yang sedianya akan diselenggarakan di bulan Juni dan Juli 2023.  Kini kita menunggu lagi peristiwa politik menjelang tahun 2024. Semoga baik-baik saja. Karena ada rasa khawatir dengan masa depan Indonesia jika hegemoni partai politik terlalu dominan menyangkut keputusan strategis negara untuk bisa mensukseskan munculnya undang-undang yang lebih pro rakyat, menghukum tegas pelaku koruptor, memberikan sangsi berat untuk wakil rakyat yang menyia-nyiakan kepercayaan rakyat. Juga pemerintahan yang steril dan netral dari intervensi partai politik.

Kalau sudah duduk di kursi pemerintahan dan parlemen seharusnya mereka adalah wakil rakyat bukan lagi wakil partai, tetapi saat ini betapa susahnya keluar dari cangkang tradisi politik tanah air, sebab, orang-orang partai sendiri sudah dididik dan dikader untuk setia dan tunduk pada keputusan partai, kalau membangkang ya silahkan keluar. Maka konsekwensinya jika menjadi wakil rakyat apapun kekuasaan yang sudah dipegang akan lepas dengan sendirinya jika partai memecatnya sebagai kader.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun