Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Katolik, Netralitas Agama dan "Fitnah" Media Pemburu Viral

25 Oktober 2022   11:42 Diperbarui: 25 Oktober 2022   11:45 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebuah tampilan foto penuh editan di tumbnail (suara.com)

Katolik tidak pernah mendukung secara langsung tentang sosok yang berkiprah dalam politik. Dahulu di zaman orde lama memang pernah terbentuk Partai Katolik dengan tokoh terkenalnya adalah I.J Kasimo.  Berangkat dari semangat Salus Populi Supremalex, kesejahteraan Rakyat adalah hukum yang tertinggi." Katolik membentuk partai Katolik di era pemerintahan Soekarno. Landasan perjuangan politik zaman itu adalah membela yang tertindas dan terjajah. I. J Kasimo adalah murid dari Fransiscus van Lith. Van Lith adalah misionaris Belanda, yang mendirikan Kweekschool Xaverius di Muntilan. Van Lith dikenal sebagai orang Belanda berhati jawa. Vanlith bisa melebur dan memahami budaya Jawa sangat dekat bahkan sebagai orang Belanda ia lebih menguasai bahasa Jawa daripada orang Jawa sendiri. Kepada murid-muridnya van Lith berpesan agar mereka bisa menjadi agen  perubahan sosial.

Dari Van Lith itu I J Kasimo tergerak untuk membaktikan diri kepada negara dengan mendirikan Partai Katolik. Waktu itu meskipun jumlah orang katolik kecil namun pengaruhnya cukup kuat dalam mewarnai gelanggang politik tanah air.

Paus Paulus Yohanes II pernah mengatakan bahwa menjadi politisi adalah panggilan  untuk melayani sesama. Dari pernyataan Paus sebelum Paus Benedictus diharapkan politisi-politisi memiliki komitmen, integritas, kompetensi,  dan moralitas  yang tinggi dalam semangat pelayanan.

Setelah Orde Baru Katolik menempatkan diri netral, tidak ikut terlibat dalam politik praktis, tidak ikut dalam dukung mendukung partai. Kalau ada orang-orang katolik masuk dalam partai politik, itu adalah wujud demokrasi sebagai bagian dari masyarakat yang berhak beraktifitas dalam politik. Gereja dalam posisi netral, selalu terbuka siapapun yang datang silaturahmi ke Uskup baik orang politik maupun masyarakat dilayani.

Bentuk dukungan moralnya adalah berharap bahwa siapapun yang aktif dalam dunia politik harus selalu ingat integritas untuk selalu membela masyarakat, menjadi pelayan yang mau mendengar dan merangkul masyarakat kurang mampu.

Bagaimana dengan pemimpin daerah, atau mentri beragama Katolik yang terlibat dalam korupsi? Pada intinya semua agama itu tidak menganjurkan melakukan kecurangan atau penyelewengan dalam jabatannya. Mereka yang korupsi itu bukan karena agamanya namun karena sebagai manusia ia tidak bisa menolak atau menghindar dari perilaku koruptif.

Mereka yang terlibat dalam korupsi, penyogokan, penyuapan itu lupa bahwa dalam ajaran agama selalu ditekankan untuk berlaku jujur, tidak berbohong, tidak melakukan pekerjaan yang merugikan banyak orang. Namun karena nafsu manusiawinya maka meskipun mereka taat dalam menjalankan ibadah, ternyata godaan duniawi jauh lebih kuat daripada saat ia mendengar khotbah tentang kebaikan, kejujuran dan integritas awal untuk menjadi pelayan masyarakat.

Wajah Politik yang Cenderung dikonotasikan Kotor

Kini orang memandang bahwa wajah politik itu kotor, penuh intrik, penuh kamuflase. Bahkan kadang agama ikut terseret dalam dukung-mendukung partai sehinggu muncul perkara ambigu yang membelah kepercayaan masyarakat. Jika agama terlibat dalam praktik politik praktis maka ada yang hilang dari ajaran agama yang sesungguhnya.

Menurut penulis agama itu harus netral, ia akan menjadi rem atau pengendali dari nafsu-nafsu duniawi manusia yang terseret mengambil yang bukan haknya, berbohong untuk sebuah tujuan kekuasaan, menjadi pribadi rakus karena ikut arus perilaku politisi yang menghalalkan segala cara demi kekuasaan.

Saat ini jegal-menjegal terus muncul, caranya dengan menebarkan berita yang dikategorikan berita bohong (hoaks), tidak peduli pada siapapun meskipun ia selalu menunjukkan sebagai wajah yang religius dan berbakti pada agama sedang perilakunya sesat seperti iblis.

Sampai saat ini Katolik tetap dalam posisi netral, siapapun calon presiden, politisi lintas partai, pejabat melakukan kunjungan akan diterima dengan baik, namun jangan ditafsirkan sebagai sebuah dukungan.

sumber referensi: Katolik dan Politik: T Krispurwana Cahyadi, SJ. dan dari berbagai sumber.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun