"Mbiyen dalan iki biasa diliwati sepur, Le."(dulu jalan ini biasa dilewati kereta api nak)
Itu penuturan dari orang tua saya ketika melewati Muntilan menuju Blabak Mungkid. Dari Muntilan Stasiun Blabak itu letaknya di sebelah kanan, berada di wilayah Blambangan Blabak, Mungkid Magelang. Di daerah situ terkenal dengan beberapa warung kupat Tahu di antaranya kupat tahu "Populer" dan kupat tahu "Mbok Bakowi".Â
Mengenang Stasiun Blabak
Sebelum terjadi perombakan alur jalan, Stasiun Blabak digunakan untuk terminal pengumpan menuju ke arah Tampir, Bulu, dan juga ke Sawangan atau ke arah Magelang dan Muntilan. Â Ada bangunan tua yang masih tersisa yaitu bangunan dari sisa stasiun kereta api. Alur rel kereta sudah tertutup oleh banyaknya bangunan di stasiun. rel kereta pun sudah menghilang.
zaman dahulu kereta api melintas dari Magelang menuju Yogyakarta. Pakdhe saya sering ikut moda kereta api ketika sekolah di  SMA De Britto (satu angkatan dengan Kris Biantoro yang juga sama-sama berasal dari Magelang)
Di sebelah jembatan Prumpung Muntilan dulu pernah melihat lintasan jembatan kereta api, tapi sekarang lenyap ketika ada lahar dingin yang menghempaskan hampir semua jembatan di Sungai Pabelan yang pernah banjir lahar dingin dahyat. Di Blabak saat pulang dari Yogyakarta saya biasa turun di stasiun (menurut sejarahnya dulu adalah tempat stasiun Blabak yang sekarang sudah menjadi kompleks perumahan dan beberapa deretan toko di pinggir jalan, masih ada satu bangunan asli stasiun namun sudah alih fungsi.
Saya mengenal kereta api sudah sejak usia belasan tahun. Tetapi pengalaman naik kereta api jarak jauh ya ketika saya  mahasiswa. Kebetulan ada hobi yang membuat saya bepergian cukup jauh. Waktu itu karena ikut kegiatan silat dan sering diundang mengikuti latihan bareng, sparing bareng di kota lain maka moda kereta api yang murah meriah saya gunakan. Yang cocok di ongkos ya kereta api.
Ke Bandung lewat Yogyakarta saya merogoh kocek sekitar sebelas ribu rupiah (sekitar tahun 1992-1995), sebetulnya pernah ke Jakarta sebelum tahun 1990-an namun karena rumah saya dulu di Magelang lebih cepat naik kendaraan Bus, sebab bisa langsung ikut dari terminal terdekat, sedangkan kalau kereta api saya mesti ke Yogyakarta atau Semarang.
Bagi orang Nggunung seperti saya, transportasi berbasis rel itu kurang akrab, lebih kenal dengan Bus kalau keluar kota. Namun rasa penasaran itu membuat saya mencoba membeli tiket ekonomi yang ramah kantong. Perjalanan naik kereta api jaman dulu itu tidak seperti gambaran yang diharapkan. Nyatanya saya bersama teman-teman harus rela tidur dikolong, gelar koran, dan harus berdesakan dengan penumpang, belum lagi setiap saat harus terganggu dengan pedagang yang lalu lalang tidak berhenti. Perjalanan ke Bandung harus mau menahan pipis. Kenapa harus menahan pipis? Karena di toiletpun ada penumpangnya yang gak bayar sembunyi di situ.
Untung saja semangat petualangan mengalahkan rasa capek dan kesal. Di antara kesengsaraan naik kereta tetap terhibur dengan pemandangan di luar yang luar biasa indah. Kebetulan berangkatnya pagi. Yang saya lihat managemen pengelolaan kereta api jaman dulu masih amburadul belum setertib sekarang. Penumpang tumpang tindih, kalau masih bisa masuk pintu ya masuk saja, tidak peduli pengap dan berdesak-desakan. Masalah kenyamanan penumpang itu nomor sekian, yang penting penumpang bisa terangkut. Keamanan di kereta tentu saja barang langka, tidak ada jaminan bahwa saat tidur tidak digerayangi pencopet, barang hilang dan tidur siap terinjak karena lalu lalang penumpang.
Duh, sengsaranya naik kereta, tapi herannya kenapa pegawai KAI kurang sejahtera, digaji seadanya padahal keretanya selalu penuh penumpang terutama kalau pas akhir pekan. KAI adalah moda rakyat, murah meriah, bahkan banyak yang sengaja menghindar membeli tiket dengan nyogok petugas.
Naik Kereta Barang dari Yogya Ke Kroya
Pengalaman yang paling saya ingat adalah ketika naik kereta barang dari Yogyakarta menuju Kroya. Bersama satu teman kuliah, mencoba menjadi bonek. Bondo nekat. Bermodal uang saku mingguan kuliah, berangkat ke Jakarta dengan modal sekecil-kecilnya. Maka masa bodoh sengsara atau capek, keputusan naik kereta barang sudah dipikirkan baik-baik. Dari Stasiun Lempuyangan naik dan duduk diantara gerbong kereta barang. Angin benar-benar menerpa, kalau hujan pasti basah. Tapi sekali lagi Mbuh ra ruh, sing penting sampai Jakarta, kalau perlu tanpa keluar biaya sepeserpun.
Perjalanan naik kereta barang ada plus minusnya. Keuntungannya benar-benar bisa melihat pemandangan dengan mata telanjang. Minusnya ya bisa masuk angin dan keselamatan kurang terjamin. Jangan sampai ngantuk, kalau ngantuk takutnya menggelinding dan terlindas rel. Hemmm ngeri. Ditambah kereta barang itu jalannya cukup lambat, Kalau ada kereta penumpang istirahat dulu di stasiun. Kereta barang hanya sampai Kroya ternyata. Dari Kroya harus naik kendaraan umum sampai Purwokerto.
Dari Purwokerto masuk stasiun dan menunggu kereta bergerak. Setelah melaju lumayan kencang  langsung melompat ke pintu. Di kereta dengan perasaan waspada kami harus menghindar petugas yang akan merazia karcis, karena kami menumpang kereta tanpa karcis. Duh, lagi-lagi malu juga menjadi bajing loncat hahaha.
Sesampai di Stasiun Jatinegara kami selamat tidak terkena rahasia, tapi saat perjalanan dari Jatinegara sampai Pasar Senen rupanya kena razia penumpang dan terpaksa kami harus membayar 5.000 rupiah. Duh nasib, tambah berkurang uang saku kami.
Saya berpetualang ke Jakarta hari dengan modal sekitar 20 ribu rupiah, itupun berlanjut sampai ke Bandung. Di Jakarta kami hanya tidur di emperan rumah kenalan teman saya di seputar Cipete. Markas penyewaan badut. Selama di Jakarta kami menyusur sekitar Salemba sampai ke daerah Depok Bogor yaitu Cinere. Setelah itu senja hari naik bus menuju ke Bandung lewat Lebak Bulus. Waktu datang ke Jakarta belum ada Jalan Tol ke Bandung. Jadi arahnya ya lewat Puncak Bogor, Cibodas, Purwakarta baru Bandung. Di Bandung sempat keliling lalu memutuskan pulang dengan kereta api.
Sampai di Stasiun kami bingung uang di kantong benar-benar kosong, maka kami merayu petugas agar bisa naik kereta gratis, tidak peduli mau tidur di tumpukan barang atau di mana yang penting bisa pulang. Ada petugas yang baik hati menyilahkan naik di tumpukan batu bara di gerbong yang biasa menjadi tempat tidur masinis.
Sekali lagi masa bodo yang penting bisa pulang ke Yogya. Sebetulnya di kantong masih punya uang 5 ribu rupiah. Itu disiapkan untuk naik Bus dari Yogyakarta ke Magelang. Ketika nyaman tidur di tempat Masinis, kami diusir dan disuruh tidur ditumpukan batu bara. Yah resikonya baju dan celana cemong kena arang batu bara.
Itu pengalaman dulu di masa masih menjadi mahasiswa. Kenangan naik kereta penuh derita itu membekas sampai sekarang.
***
Beda Bumi Langit dengan Kereta Api Sekarang
Jauh dengan KAI zaman sekarang yang nyaman dengan pelayanan yang sangat bagus, naik kereta sebelum era Ignasius Jonan benar-benar "penuh derita". Pulang mudik harus berjibaku, dengan penumpang lain hanya sekedar mendapat tempat yang bisa menyenderkan tubuh. Kalau mau melaju dari Depok ke Jakarta harus berpeluh ria, menggelantung di pinggir pintu, belum lagi sering melihat kenyataan hampir setiap saat melihat mayat yang  tertutup koran di pinggiran rel.
Itulah nostalgia naik kereta, pengalaman suka dan duka itu membekas dan menjadi sejarah hidup yang susah terlupakan. Â
(Nanti saya cerita lagi  pengalaman naik kereta Komuter dan Kereta jarak jauh)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H