Gemuruh penonton di stadion membuncahkan adrenalin. Suara bergema dari teriakan-teriakan penonton memantul dan membuat siapapun yang berada di stadion sepak bola terdorong untuk menumpahkan segala emosinya, apalagi saat gol dari kesebelasannya datang. Segera tumpah ruah kegembiraan memenuhi otak dan ruang bathin suporter. Yel-yel muncul  menandai dukungan  semakin semangat menambah gol agar khans menang semakin besar.
Namun peristiwa pedih muncul ketika lawan berhasil membalas dengan gol yang tidak terduga dari lemahnya pertahanan kesebelasannya ketika dipenuhi oleh euforia kemenangan. Apalagi saat detik-detik terakhir datang gol yang membuyarkan kemenangan dan akhirnya kesebelasannya kalah di kandang sendiri.
Kecewa, marah, pedih, bercampur menjadi satu, di titik itu ketika emosi meluap yang ada hanya ingin menumpahkan kemarahan, ingin mengekspresikan dengan menyerbu lapangan dan ngamuk-ngamuk tidak jelas. Karena gelap mata yang ada hanya bagaimana bisa melampiaskan kekecewaan tanpa berpikir panjang.
Gejolak sulit tertanggulangi ketika yang marah itu bukan hanya satu dua orang tetapi hampir satu stadion, ditambah dengan suara dari koordinator suporter yang memprovokasi kemarahan. Banjir bandang kemarahanpun tidak terkendalikan. Suasana menjadi khaos, panik, seperti gabah diinteri, seperti terkena gelombang tsunami dan gempa yang membuat bumi berguncang.
Gemuruh kemarahanpun membuat panik aparat, mereka bingung bagaimana cara menghentikan gelombang masa menyemut yang menyerbu ke lapangan. Yang terpikir hanya satu, menyemprotkan gas air mata, yang berefek sesak nafas, perih di mata.Â
Pada demonstran yang terbiasa demo mungkin mereka tidak sepanik suporter, tapi jika yang terkena ada anak-anak, anak ABG, pemuda yang mempunyai catatan kedewasaan dan ketenangan dalam menghadapi arus masalah, yang terjadi adalah, mereka berlari, tidak peduli pada orang lain, yang penting selamat meskipun akhirnya harus menginjak-injak teman, sesama suporter untuk menghindari terjangan gas air mata.
Dalam sesak nafas, dalam kepanikan maka yang terjadi seperti saling berbenturan, saling menindih, berdesak-desakan mencari pintu untuk menyelamatkan diri, mungkin kursi dan lorong-lorong sempit itu diterjang saja, otak sudah kumuh penuh amarah dan kepanikan.
Itulah yang saya bayangkan saat merasakan kepanikan suporter yang berada di stadion Kanjuruhan Malang. Peristiwa sudah terlanjur terjadi, korban meninggal dunia sebanyak 125 orang meninggal dan sekitar 323 korban luka-luka. Â Menurut data terakhir dati detik.com korban dari penyelenggara, Polri dan suporter ada 448.
Dunia tersentak, Indonesia berduka, duka lara sepakbola terjadi lagi. Kesedihan datang dari keluarga korban, tidak kurang yang pingsan, kaget dan limbung kehilangan anggota keluarganya. Sepak bola yang semula menjadi sarana hiburan , suka cita bisa menyaksikan kesebelasan kesayangannya secara langsung menjadi jalan menuju kegelapan. Trauma sepanjang hayat, pasti akan menimpa keluarganya.
Saya jadi teringat cerita tetangga yang anaknya tewas ketika mau berangkat ke pertandingan Persija. Bertanding di GBK. Para suporter yang modal pas-pasan harus mencegat truk kontainer.
 Mereka masih ABG dengan segala aksi heroiknya, usia masih sekitar 13 sampai 18 tahun. Dengan seragam oranye melompat ke truk yang sedang melaju. Duduk tanpa pengaman sama sekali. Anaknya terpeleset dari bak truk, lalu kepalanya terlindas ban truk.
Tentu sebetulnya itu adalah kekonyolan suporter, hanya ingin melihat kesebelasannya main, tapi mempertaruhkan nyawanya. Orang tuapun pasti kaget, tidak percaya  pedih, trauma bercampur menjadi satu. Bingung harus menyalahkan siapa.Â