"Kamu itu pendiam, sok cool, autis atau hanya irit bicara saja, lur?"
"Mosok aku pendiam, kata ibuku aku bawel, suka debat, suka mbantah pula. Itu kata ibuku."
"Tapi kalau di kelas kamu lebih sering diam, tidak seperti teman-temanmu itu yang reseh."
"Ya, mereka bawel dan reseh. Aku sih cuek saja, yang penting gak nyakitin aku saja, gak masalah."
"Memang kau orangnya terlalu cuek.Lur"
"Itu antisipasi saya untuk tidak stres. Kalau nggak diam ya, jalan-jalan, begitu kalau saya tidak pengin terjebak dalam keributan yang tidak perlu."
"Tapi kamu itu ternyata diam-diam kalau sama perempuan perhatian Lur, aku jadi...?!"
"Jadi...apa...nih aku tebak...kamu ingin mengatakan aku makin sayang... sudah ketebak Dit."
"Wih, geer. Baru jadian beberapa hari mau sayang-sayangan."
"Tapi, kamu sayang khan ke aku Dit." Aku mendekat sambil mencolek dagunya yang agak lancip."Ih...gemes muka lonjong."
Ia geragapan dan bergaya mau menampar, tapi ketika tangannya mendarat dipipiku ternyata ia mengelus pipiku yang mulai berjerawat. Setelah itu aku dan Dita kejar-kejaran sambil tertawa-tawa.
"Kamu, itu sepertinya pendiam tapi iseng benar Lur. Awas kalau ketangkep, aku cubit kamu di pinggangmu. Rasakan sakitnya aku cubit, hihihi..."
"Ampun, aku paling ngeri kalau dicubit sebelah situ Dit, kaburrrrr."
"Awas ya kalau ketangkep, aku bikin pinggangmu merah kena cubitanku."
"Kalau, kena pasti kamu makin sayang khan."
"Gak, Geer," Dita terus mengejarku sementara aku lincah berlarian di jalan kecil yang kiri kanannya adalah rumpun padi.
"Sudah, Dit, aku nyerah terserah kamu mau cubit aku sampai merah, kamu jago lari juga nih, larimu kencang banget."
"Khan aku sering latihan lari Sabtu Minggu, bukan hanya Hari Sabtu saja kadang hari Rabu sore hari sebentar Cuma 5 kilo."
"Cuma? Itu sudah jauh Non."
"Aku aku kasih cubitan"
"Auuuuuuuuu...Sakit, benar-benar kamu Ya Dita teganya..."
Meskipun harus meringis kesakitan aku makin sayang pada Dita. Gak terbayang bisa jalan bareng dengan dia, mana gak menyangka ia suka ketika kutembak. Ini keberuntungan yang langka. Tapi aku syukuri saja, selanjutnya ya jalan saja. Masalah awet tidaknya  aku tidak bisa menebaknya.
"Dita, kamu gak salah mau sama aku?"
"Kalau perempuan sudah punya rasa dan nyaman, tidak penting wajahmu seperti apa, aku nyaman kok saat jalan sama kamu, Lur."
"Wih, jadi besar kepala aku. Kamu itu sudah cantik, manis, gigi gingsul, pintar dan orangnya baik pula."
"Duh, duh, duh mujinya jangan kelebihan begitu, Lur, aku nanti jadi melayang nanti."
"Hahaha, nggak apa-apa... khan kenyataan, kamu memang punya anugerah itu semua."
"Ah... sudah ngomong yang lain saja, nanti aku jadi pulang cepat-cepat ngaca nih..."
Dita kembali tersenyum. Kamu beradu pandang. Aku menemukan mata air segar saat menatap matanya, betap teduh dan sejuknya matanya saat memandangku. Kami mendekat, spontan ia memejamkan matanya. Aku mendaratkan ciuman di dahinya, sambil mengelus dagunya. Selanjutnya kami seperti berlayar dalam khayalan merasakan betapa manisnya sebuah cinta. Padahal itu hanya cinta remaja tanggung yang masih belum mengerti bahwa mencintai itu butuh tanggungjawab yang besar. Bukan hanya senang-senang, bisa jalan-jalan, bisa bergandengan tangan atau saling memandang dengan penuh rasa sayang.
Ada kalanya ada sepasang kekasih harus bertengkar karena ada rasa cemburu, rasa kehilangan dan berbagai perbedaan prinsip yang membuat pada akhirnya harus bisa kompromi, bisa memaklumi kekurangan dan kelebihan yang lain. Waktu itu kami tidak pernah berpikir ada selalu duri dan jalan terjal bagi sebuah hubungan kasih antara laki-laki dan perempuan.
"Dit, aku benar-benar tidak nyaman kamu ngobrol sama Didit, beraninya ia nyolek-nyolek kamu."
"Kami khan berteman sudah cukup lama, Lur."
"Iya tapi aku nggak suka kamu terlalu dekat dengan dia."
"Ciee, cemburu ya..."
"Nggak tahu, aku hanya tidak nyaman saja. aku penginnya cuma buatku saja."
"Ternyata kamu pencemburu juga Lur."
"Ya, karena aku sayang kamu, Dit, jadi aku panas kalau kamu akrab dengan cowok lain."
"Hihihi, Entar aku akan goda kamu..."
"Jangan, Dit, nanti aku bisa nyebur ke sungai lihat kamu jalan sama cosok lain."
Benar-benar repot punya pacar cantik, banyak yang mendekat, banyak yang menggoda, aku mesti sabar agar tidak emosi. Terus terang ia seperti kembang yang diburu kumbang. Apalagi bunganya cantik dan manis pula, tentu banyak kumbang yang ingin mendekat dan merasakan bagaimana dekat dengan bunga cantik dan manis.
"Kamu itu ibaratnya bunga Dit, selalu dikerubungi oleh kumbang-kumbang. Jadi pacarmu jadi ketar-ketir. Terlalu banyak yang menggodamu."
"Tenang saja Lur, pada mereka aku berteman saja kok."
"Tapi bagi mereka khan beda tanggapannya. Semakin kamu perhatian mereka semakin ngelunjak."
"Sama seperti kamu dulu khan sebelum jadian, cari perhatian melulu."
"Ya.... iyalah karena kamu memang layak diperhatikan..sayang."
"Cie... sudah luwes nih ngomong sayang."
Melihat Dita rasanya bikin gemes saja. Ia orangnya benar-benar lincah. Cinta yang tumbuh dan bersemi itu membuat aku jadi sadar bahwa ternyata kadang sudut pandang laki-laki dan perempuan itu banyak bedanya. Sebagai laki-laki harus sabar menerima kenyataan ketika kadang emosi perempuan jauh lebih dominan.
Tanpa diduga kadang moodnya bisa-bisa berubah. Dan saat moodnya lagi kurang, kadang sering banyak berantem padahal hanya masalah sepele salah ucap dan salah ngomong. Tapi dasarnya kami sedang sayang-sayangnya pertengkaran itu membuat kami semakin sayang saja. Ada cemburu, kadang marah, kadang berdebat masalah selera, hobi yang gak nyambung, namun kembali kami menyatukan hati, saling berpandangan, berpegangan tangan dan senyum penuh arti.
"Kamu, itu kadang aneh, Dit, saya pikir orang cantik itu nggak ada cacatnya, tapi ternyata baru tahu kamu itu hobinya kentut ya... mana kentutnya bunyinya seperti kejepit dan baunya tiba-tiba sudah sampai di hidung."
"Hihihi...baunya nikmat khan Lur."
"Nikmat apa bikin mau pingsan ya."
"La, itu deritamu."
"Tuh, khan aku mulai hapal kalau kamu diam kamu pasti mau kentut ya, sana  ke sungai ke belakang dulu, buang kotoranmu biar nggak bau."
"Nggak mau... ini hadiah untukmu... kalau nggak suka, kita putus."
"Ya...nggak gitu mosok gara-gara kentut terus putus...aneh banget."
"Jadi mau nggak kamu sesekali membaui kentutku."
"Ya, sudah seterah... eh terserah...Dita sayang... yang kentutnya buaunya warbiyasah."
Tiba tiba ia mencubit pinggangku."Auuuuuuuu, sakit tahu Dit"
Suatu siang sehabis sekolah. Aku ngobrol dengan Dita, tentang keinginan mengajak hiking Dita. Aku ingin tahu reaksinya apakah ia suka ketika kuajak jalan-jalan tapi jalan kaki.
"Aku, sih mau banget Lur, tapi aku gak yakin diberi ijin ibuku."
"Kenapa?"
"Ya, karena aku anak perempuan, Lur. Tidak semudah keluar seperti cowok. Mau nginap di tetangga, mau blusukan, ya bebas."
"Oh, ya, ya aku tahu... Gini aku khan terinspirasi pada cerita-cerita seru lima sekawan, itu novel tentang petualangan anak-anak remaja karya Enyd Byliton. Kamu pernah baca?"
"Ya, sudah bacalah Lur, aku khan suka baca juga, pengin juga seperti mereka bisa memecahkan masalah-masalah yang rumit seperti layaknya detektif, atau intel kalau di sini."
"Iya, itu kalau kamu mau.. kita jalan sambil berkhayal seakan-akan kita anggota 5 sekawan itu."
"Khayalanmu ada-ada saja Lur. Tapi pengalaman itu penting juga, Lur, tapi aku nggak berani janji Ya Lur, semoga diijinkan."
Kalau rencana berjalan baik, aku akan menyusuri jalan lewat, jalan kecil, lalu, menyeberang sungai, terus menuju gunung Andong yang sebenarnya cukup jauh, itu target selanjutnya. Sebagai awalan ya yang jaraknya tidak terlalu jauh kurang lebih 7 kilo saja, menuju gunung Kuli. Waktu SD pernah diajak ke sana ketika acara pramuka. Melewati jalan yang masih berbatu-batu, tanah merah, jalannya licin sehabis hujan. Sepanjang jalan kami waktu itu bisa melihat aneka pepohonan. Paling banyak pohon kelapa, kemudian albasia, sengon, nangka, dan disepanjang jalan banyak tumbuh pohon kelor, sesekali pandan berduri dan deretan salak liar di seputar tebing.
Kami melewat sungai kecil yaitu Mangir, dan sungai besar Mangu yang mata airnya berasal dari gunung Merbabu yang gagah sebelah Timur berdampingan dengan Merapi di sebelah utaranya. Masuk ke perkampungan, kalau di tempat kami namanya dukuh, kepala dukuh sebutannya bayan. Jadi sebutnya Pak Bayan (Bu Bayan jarang ada sih). Jabatan Bayan itu untuk memimpin dukuh. Semacam RW. Menjadi Bayan itu bayarannya dengan mendapat bengkok kurang lebih satu dua petak tanah cukup luas. Tanah itu  bisa ditanami apa saja, entah padi, palawija dan atau tanaman yang menghasilkan lain sebagai pengganti gaji.
Kadang Pak Bayan itu jabatan pengabdian saja, namun kadang dari jabatannya Pak Bayan mendapat relasi yang luas, bisa sering rapat dengan kepala desa, bisa menjadi batu loncatan untuk mengejar jabatan lebih tinggi yaitu kepala desa atau sebutannya Lurah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H