"Ada maunya?.... enggak ah, aku memancing saja agar  ada bidadari yang mau tersenyum untukku."
"Sudah, dasar penyair katrok. Kalau diteruskan gombalannya bikin merinding disko."
"Tapi kamu suka khan."
Dita melirikku, senyumnya manis sekali. Duh, ketika tersenyum bikin khayalanku melayang jauh menembus dirgantara seperti melihat sepasang dewa yang sering berkasih-kasihan. Kamajaya, Kamaratih, cerita pewayangan memang menarik.
Aku duduk di bawah pohon kersen yang rindang, disampingku Dita yang asyik makan buah talok. Sejenak suasana hening, tidak perlu dibayangkan. Tidak perlu harus mendramatisir seperti film-film romantis. Seperti cintaku di kampus biru atau novel-novel Mira W, atau Eddy D. Iskandar. Aku hanya ingin menggambarkan bahwa kecantikan Dita itu natural. Tidak ada polesan.
"Boleh jujur nggak Dit..aku pengin ngomong tapi hanya kamu yang tahu... kamu mau menerima atau tidak terserah. Tapi aku sih berharap lebih."
"Mau ngomong apa, jangan yang jorok lho kayak di novel stensilan itu."
"Hahahaha.... berarti kamu diam-diam baca ya..."
Muka Dita mendadak merah.
"Ah, sudah ayo kamu mau ngomong apa, Lur."
"Ah, nanti saja...Biar kamu penasaran, kutunggu kamu di Warung Bakso "Mas Gondrong besok siang jam 2."
Bersambung.