Di zaman internet ini saya sering terheran-heran. Masyarakat mudah terkaget, terhenyak, tergopoh-gopoh dengan berita viral yang membuat hampir semua masyarakat yang mengikuti media sosial berhak berpendapat. Yang akan saya tanggapi adalah masalah rendang babi.
Begitu hebohnya rendang yang menjadi ciri khas masyarakat Padang, makanan yang seakan lekat dengan budaya kuliner tanah Minang. Rendang saya pikir sudah mendunia. Salah satu makanan terenak di dunia menurut beberapa opini yang pernah saya baca.
Begitu cepatnya Masyarakat Menghakimi sebuah berita viral
Tapi ketika ada berita viral bahwa salah satu "Restoran Padang di Kelapa Gading Jakarta Utara  menjual rendang babi", sontak komentar berseliweran.  Netizen banyak yang mengecam, banyak yang menyayangkan mengapa harus ada yang namanya rendang babi. Bukankah babi itu haram untuk dimakan, babi itu identik dengan makanan non muslim.
Yang menjadi masalah adalah karena restoran itu mengusung nama Restoran Padang (pada penyelidikan lanjutan, ternyata bukan restoran tapi usaha rumahan yang mencoba berinovasi dengan menamakan masakan padang tapi dengan daging babi untuk menyasar segmen tertentu, Sergio pemilik usaha rumahan itu sudah meminta maaf). Dalam perspektif orang-orang, masakan Padang itu adalah warisan kuliner Minang.
 Minang itu identik dengan agama Islam. Dan ketersinggungan banyak ulama seperti Ustad Hilmi Firdausi, Anwar Abbas, aktivis PA 212 Novel Bamukmin sampai mengecam pemilik restoran. Padahal restoran itu sebetulnya sudah tutup beberapa tahun lalu. Lantas siapa yang iseng mengviralkan keberadaan restoran padang yang menjual rendang babi tersebut?
Begitu hebohnya berita di media menyebar tentang keberadaan babi. Apa salah rendang, apa salah babi jika berkolaborasi menjadi makanan yang bisa dikonsumsi. Toh sudah tertulis rendang babi, jadi tidak mungkinlah makanan menyasar ke masyarakat muslim. Mereka yang membeli segala produk makanan dari olahan babi pastilah bukan Muslim.
Apakah jenis bumbu tertentu selalu identik dengan agama tertentu. Apakah rendang yang menjadi ciri khas Minang tidak boleh diolah dengan bahan dasar babi atau jenis lain seperti ayam, burung, kelinci, katak, bahkan unta.
Di masyarakat yang majemuk, dengan kepercayaan heterogen sungguh aneh apapun makanan selalu dikaitkan dengan agama. Sepertinya agama harus menjadi rujukan apapun untuk mensahkah layak tidaknya apapun baik makanan, tayangan hiburan, kebudayaan, kesenian, politik selalu harus ada campur tangan agama. Apakah jenis makanan tertentupun harus steril terhadap hewan tertentu yang dianggap haram padahal Indonesia adalah negera heterogen. Yang konyol jika ada pertanyaan apakah makanan itu beragama?
Sudahlah. Masyarakat harus cerdas, tidak lagi terlalu mengurusi masalah kepercayaan, kegemaran terhadap makanan dan semua sendi kehidupan yang semua-muanya harus distandardisasi berdasarkan ajaran tertentu. Kalau semua dikaitkan dengan hukum ini dan itu , menurut dalil ini dan itu, Itu tidak layak, ini tidak cocok bagaimana bisa bergerak maju membangun negeri.
Jangan terlalu berpaling jauh ke lampau, manusia mempunyai pandangan jauh ke depan. Manusia yang terlalu didoktrin jangan ini jangan itu ujung-ujungnya akan semakin banyak yang melanggarnya, semakin banyak yang berontak oleh pikiran kuno yang menghambat kemajuan zaman.
Pikiran terbuka, Tidak Harus Semua Dikaitkan dengan Agama dan Politik
Ketika agama dominan dan mulai merambah dunia politik, mulai terpancing untuk ikut dalam mengatur apapun hasilnya hanya akan membuat banyak orang melawan, mencoba melanggar dan mempertanyakan. Apa sih fungsi agama sesungguhnya?
Jika agama pada akhirnya hanya menampilkan kekerasan, perang, konflik antar saudara, pelanggaran terhadap hak asasi manusia, pemaksaan kehendak, merebaknya pemerkosaan akibat aturan-aturan kaku yang seharusnya sudah berubah seiring perkembangan zaman, ya introspeksi itu amat penting.
Agama itu ranah pribadi, Â bukan bagian dari politik, bukan bernuansa kekuasaan, bukan hendak memaksa kehendak sehingga ketika dianggap berbeda yang berseberangan layak dilenyapkan, budaya yang tidak sesuai berhak dihancurkan, termasuk artefak hasil kebudayaan masa lampau yang sebetulnya dibangun dengan kecerdasan dan kemajuan berpikir yang sudah melebihi zamannya.
Apakah manusia harus kembali ke zaman primordial, ketika manusia yang jumlahnya lebih besar, lebih banyak pengikutnya, lebih kuat dengan seenaknya membuat peraturan yang hanya menguntungkan pihak tertentu. Saya tidak sedang menunjuk agama tertentu. Namun berkaca pada sejarah, apapun agamanya jika mulai mabuk kekuasaan, dekat dengan pemerintahan, tidak berjarak dengan manusia-manusia yang lebih memprioritaskan kepentingan dan kekuasaan suatu saat akan hancur.
Nah, sebagai manusia yang hakikatnya saling tolong-menolong, sebelum terlanjur harusnya ada introspeksi. Seberapapun dominan dan kuatnya kekuasaan untuk menguasai dan meminjam legitimasi kekuasaan, jauhkan agama dan spiritualitas dari ambisi politik praktis.
Politik itu sebetulnya positif, bertujuan untuk mengatur, mendudukkan peraturan pada tempatnya, mengatur seadil-adilnya, bukan bermain licik, untuk mempecundangi saudara, teman dan orang lain yang butuh bantuan.
Sudah terlihat hasilnya ketika keimanan, agama bercampur dengan ambisi kekuasaan hasilnya akan membuat diri sendiri terjerembab ke jurang yang dalam.
Rancunya Budaya dan Agama
Rendang itu sesungguhnya bukanlah produk agama. Rendang itu adalah budaya kuliner. Budaya melintas batas bukan milik agama tertentu. Â Semua orang berhak mengolahnya meskipun dalam setiap prinsip agama ada yang diharamkan ada yang disahkan sebagai makanan yang layak konsumsi. Di Bali sapi adalah hewan yang disucikan, sedangkan di Jawa sapi adalah termasuk daging terfavorit yang dikonsumsi masyarakat.
Di beberapa tempat ada jenis makanan rica-rica. Ada rica-rica entok, ayam, bebek dan di kalangan tertentu ada rica-rica wedus balap, alias aing, alias anjing yang dianggap haram oleh  saudara muslim.  Pertanyaanya apa salahnya rendang babi jika dimakan oleh non muslim, Kecuali dalam media atau pengakuan pemilik restoran dia menjual rendang  sapi tetapi ternyata  berbohong karena sebetulnya yang dikatakan rendang sapi itu pada kenyataannya adalah rendang babi. Itu bentuk penipuan dan bisa dituntut.
Kalau dari awal  sudah dikatakan rendang babi, mengapa harus dipersekusi, disayangkan dan dianggap melecehkan agama tertentu. Sekali lagi rendang itu produk budaya masyarakat bukan produk agama tertentu. Mengaitkan makanan dengan milik keyakinan tertentu hanya akan membuat manusia menjadi terkungkung dalam pola pemikiran yang terkotak-kotak dan tidak akan pernah bisa maju, kalau semua bidang dijadikan polemik dan dikaitkan dengan keyakinan tertentu.
Di zaman medsos ini sepertinya hidup menjadi semakin ribet dan ruwet, apa-apa dikomentari,apa-apa dibuat viral. Netizen-netizen ojo gumunan, ojo kesusu menghakimi, ojo sithik-sithik(sedikit-sedikit) dikomentari. Masalah makanan itu selera pribadi dan apapun selera masyarakat tempatkan saja sewajarnya. Indonesia itu negara multi etnis, multi budaya, jangan cepat tersinggung jika ada hal yang berbeda. Â Salam damai selalu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI