"Mak, Jegagik. Tiket 750.000 untuk masuk Borobudur? Ah yang benar."
Begitulah ketika media-media melansir pernyataan Luhut Binsar Panjaitan tentang tarif masuk ke Borobudur. La wong 25 ribu zaman dulu saja sudah mikir apalagi 750.000 alias hanya numpang lewat Borobudur dari luar pagar saja selanjutnya keliling area desa wisata, meneropong lewat punthuk setumbu atau nongkrong di parkiran.
Dulu sewaktu kecil, Borobudur memang sudah terkenal namun saya yang rumah tinggal orangtua cukup dekat (dekat untuk ukuran wilayah). Saya di Sawangan Magelang dekat Ketep Pas jarak ke Borobudur kurang lebih 19 kilo.Â
Kalau naik angkot ya sekali naik lalu turun di Palbapang terus naik angkot lagi dari Palbapang melewati mendut, lalu turun di terminal Borobudur, selanjutnya jalan kaki kurang lebih 50 meter menuju loket pintu utama Borobudur.Â
Di situ sudah disambut pedagang yang menjajakan souvenir atau makanan khas seperti pecel, kelapa muda, dan aneka minum penyegar. Di dekat parkiran mobil berderet souvenir khas seperti patung budha yang terbuat dari cetakan batu, replika Borobudur, topi pandan, dan aneka gantungan kunci. Terdapat juga cobek, sapu, dan barang-barang kerajinan yang diproduksi di daerah sekitar.
Saya sedang membayangkan jika tarif masuk Borobudur 750.000. Siapa yang akan membeli dagangan mereka. Tentu akan sangat sepi pengunjungnya karena terlalu eksklusif para pengunjung yang datang. Yang bisa masuk hanyalah orang-orang berduit dan turis, turis asing kaya raya.Â
Harga 50 ribu saja kalau bawa satu rombongan besar keluarga kalau 11 orang sudah terasa merogoh kantong sangat dalam, tidak terbayangkan harus masuk 11 orang (sekeluarga) dengan tarif 750.000. sudah terbayang jutaan rupiah melayang.
Itu pemikiran masyarakat kecil. Borobudur sekadar pajangan yang hanya bisa dilihat dari balik pagar. Kalau mau masuk tinggal berkhayal dan bisa menginjak bebatuan di Borobudur lewat mimpi.Â
Tapi jika berpikir lebih jauh mungkin benar maksud LBP, bahwa untuk membatasi siapa yang benar-benar menghargai warisan budaya bangsa yang sudah diakui sebagai destinasi wisata dunia memang harus ada regulasi khusus agar Borobudur bukan hanya tempat wisata murah meriah, tapi merupakan tempat khusus yang harus dilindungi dan dikembalikan ke fungsinya, sebagai tempat ibadah agama Budha sekaligus tonggak sejarah kecerdasan manusia Indonesia di masa lampau.
Yang terjadi saat ini banyak pengunjung petakilan, selfie-selfie, menginjak batu-batu tua dan tidak berpikir bahwa batu-batu itu akan lapuk, dan lama-lama rapuh oleh banyaknya manusia yang menjejak bebatuan yang dengan susah payah dibangun di masa lampau.
Relief-relief Borobudur itu terlalu berharga untuk disentuh oleh tangan-tangan iseng yang merusak nilai bebatuan yang disusun dengan kecerdasan luar biasa oleh para arsitek dan teknisi di masa lampau.Â
Orang sekarang hanya bisa mengagumi dan tanpa sadar iseng, memegang dan ada tangan lebih gatal lagi menggores relief. Lihat banyak orang-orang aneh mencari cara untuk selfie dengan angle aneh. Banyak fotografer yang ingin memotret dengan angle khusus sampai merusak susunan batu dan berisiko mematahkan potongan batu arca.
Maka saking gemesnya LBP menaikkan tarif masuk agar Borobudur tidak sekadar wisata umum tetapi lebih ke wisata edukasi dan mengembalikan fungsinya sebagai tempat peribadatan besar agama Budha.Â
Bisa jadi Borobudur akan seperti Labuan Bajo yang masuk ke wisata eksklusif dan eksekutif. Sama dengan menara Eiffel di Perancis yang juga mematok harga mahal untuk bisa berdiri di menara paling atas.
Borobudur yang sudah berusia berabad-abad memerlukan perlindungan dari tangan-tangan jahil, maka pembatasan pengunjung dan hanya orang-orang tertentu yang diperbolehkan masuk mencegah Borobudur dijadikan area vandalisme dan ulah iseng yang hanya membuat Borobudur semakin rusak dan rapuh.
Kalau niat pemerintah begitu, kami sebagai masyarakat yang apresiasinya terhadap benda seni dan peninggalan purbakala masih rendah hanya pasrah. Kami masih bisa mengintip dari luar pagar betapa megahnya Borobudur, melihat dari Bukit Menoreh, kawasan Borobudur dari jauh. Untuk tujuan edukasi mungkin kami akan bersalin rupa menjadi pelajar agar bisa masuk dengan tarif murah.
Untuk kerinduan masuk candi kami masih bisa masuk ke Candi Pawon, Candi Mendut, candi candi terdekat seputar Magelang. Candi Pendem dan Candi Asu atau Aso (di Sengi Dukun), Candi Lumbung di Tlatar Krogowanan, Magelang, cCandi Ngawen di dekat Sukorini Muntilan.Â
Keliling desa wisata Borobudur, pondok tingal, museum lukis Widayat, makan sate beong di sekitar Mendut, makan kupat tahu ndompleng di Blabak Mungkid. Melihat pemandangan di Ketep Pass, memandang air terjun di Kedung khayang, menyusur jalan kecil dekat lereng Merapi di tol khayangan dan masih banyak destinasi wisata menarik di Magelang.
Jadi tidak terlalu paniklah jika tidak bisa masuk Borobudur dan menghitung tangga sampai ke puncaknya. Paling tidak dua, tiga kali di masa lampau kami sudah pernah sampai di puncak Borobudur, kalau benar tarif 750 ribu jadi diterapkan, anak dan cucu cukup kami kumpulkan untuk memperoleh gambaran tentang Borobudur.
Kami yang tetangga dekat sudah terbiasa hanya numpang lewat, sesekali melipir dari pagar-pagar yang mengelilingi Borobudur. Mungkin dengan edukasi yang mendalam dan diperkenalkan pada tiap lembaga pendidikan tentang bagaimana menghargai artefak budaya, baru kemudian dibuka lagi dengan peraturan yang lebih ketat pada para pengunjungnya.Â
Maafkan kami rakyat jelata yang tidak tahu bagaimana menghargai warisan budaya bangsa yang sudah terdaftar sebagai salah satu keajaiban dunia yang harus dilindungi keberadaannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H