Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Singapura Menolak Ustadz Abdul Somad dari Rekam Jejak Digitalnya

21 Mei 2022   16:37 Diperbarui: 21 Mei 2022   16:39 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Singapura meskipun negaranya kecil secara geografis, namun punya posisi strategis dalam percaturan ekonomi dunia.  Bergerak dalam bidang perdagangan, mengolah bahan import mentah menjadi barang branded yang kembali dipasarkan ke negara-negara tetangga termasuk Indonesia dan dunia.

Negara, Agama dan Fanatisme Pemeluknya

Meskipun kecil Singapura termasuk 10 negara terkaya di dunia. Kemampuannya dalam menggerakkan roda bisnis diakui dunia. Dalam hal aturan, disiplin dan penegakan hukum luar biasa tertib. Yang heboh dalam beberapa pekan ini adalah saat Singapura menolak Ustadz Abdul Somad untuk berkunjung ke Singapura. Mengapa Singapura menolak UAS. Salah satu alasannya karena Singapura memegang kuat prinsip untuk menjamin kenyamanan setiap warganya, mengantisipasi gerakan radikal dari pihak manapun termasuk sosok yang bisa dilihat jejak digitalnya seperti UAS.

Mereka tidak ingin terbelah karena segregasi dan radikalisme yang sering muncul di YouTube dan media sosial. Pada kenyataannya UAS sering melontarkan kritikan pedas pada agama lain dan juga terlihat dan tertangkap di layar media sosial  mengajarkan bom bunuh legal untuk melawan Israel karena merupakan Jihad agama. Juga mengatakan bahwa Salib adalah tempatnya Jin bersemayam. Padahal Salib merupakan simbol Kristen. Ceramah yang menyinggung agama lain dan sering mengkritik pemerintah serta banyak mengajarkan tentang khilafah  secara tidak langsung mengajarkan jemaahnya untuk memaklumi radikalisme ditangkap Singapura sebagai ancaman.

Untuk meminimalisir pengaruh buruk maka pencegahan adalah tindakan awal agar negara mereka yang berdaulat dan menghormati relasi hubungan antar agama. Singapura mengambil tegas menolak kunjungan Ustadz yang terkenal keras dalam berbicara tersebut.

Banyak tanggapan baik yang positif maupun yang mengutuk tindakan Singapura. Yang memaklumi dan menyetujui Singapura merasa bahwa UAS memang meninggalkan jejak buruk relasi hubungan antar agama. Selalu ada konflik yang terbangun dengan mengupas kekurangan agama lain sebagai bahan ceramahnya. Sering mengkritik pemerintah terkait kebijakannya untuk membatasi pergerakan ulama yang tampak begitu keras menganjurkan cara kekerasan dalam pengajaran agama. Pun kadang banyak ulama yang sering terseret dalam arus politik dukung mendukung, sehingga kadang agama dan politik itu yang jauh berbeda tampak seiring sehingga penguasa dianggap sering melecehkan keberadaan ulama radikal dan mereka menganggap tidak menghormati Ulama.

Banyak ulama berharap mendapat tempat terhormat, karena mereka telah mempunyai banyak pengikut yang fanatik yang menelan mentah-mentah apapun ceramah meskipun beresiko terhadap relasi dengan agama lain. Padahal penceramah agama seharusnya memberi keteduhan, mengajak pengikutnya untuk saling menebarkan kedamaian, kasih sayang, cinta kasih.

Agama Ranah Individu dan Pembelahan Akibat Konflik Agama

Agama adalah ranah pribadi atau individu. Tidak ada hubungannya dengan politik. Sementara di Indonesia akhir-akhir ini sejak pemilihan gubernur DKI muncul pembelahan-pembelahan di dalam masyarakat. Mereka yang radikal dan memahami bahwa agama adalah segalanya masuk kubu kampret dan akhir-akhir ini orang menyebutnya Kadrun. Sedangkan mereka yang berusaha menghindarkan agama menjadi biang konflik dan lebih menghargai relasi antar agama yang harmoni masuk dalam kubu kecebong.

Keterbelahan itu tampak dari komentar netizen di media sosial dan gerakan-gerakan fanatisme yang mencoba membenturkan umat beragama dengan pemeluk agama lain, maraknya upaya bom bunuh diri yang menyasar tempat ibadat, membuat pertemuan akbar dengan atribut agama dan politik identitas. Menggerakkan beberapa ormas agama untuk ikut demonstrasi dukung-mendukung tokoh politik.

Mereka yang mendadak agamis ketika masuk ranah politik. Salah satu alasan mungkin membangun politik identitas. Mereka para politikus mendekat pada ormas agama terutama agama mayoritas. Maka supaya imej positif terbangun maka mereka menderetkan gelar keagamaan, wajah-wajah yang tiba-tiba religius bahkan banyak koruptor dan pelanggar hukum tampak tiba-tiba berubah religius supaya hakim dan publik memaafkan dan menghapus jejak kejahatan mereka dengan merasa kasihan, dan simpatik dengan balutan baju agamis.

Entah, yang diperlihatkan itu sebagai bentuk penyesalan karena telah merugikan negara atau sifat munafik, untuk mendapat simpatik agar ada pengurangan hukuman. Pada kenyataannya masyarakat kita mudah trenyuh dan memaafkan saat secara visual terlihat wajah-wajah penyesalan dan balutan religius yang ingin diperlihatkan.

Agama di Indonesia masih menjadi kekuatan besar untuk mengubah kehidupan berbangsa dan bernegara, semua harus melalui legitimasi agama untuk memuluskan jalan lempang menuju kekuasaan. Kekuatan masyarakat mereka ada pada para ulama sebagai sumber informasi keagamaan. Maka banyak ulama yang memanfaatkan budaya masyarakat yang masih sangat menjunjung tinggi apa yang dikatakan ulama itu sehingga kadang mereka tidak sempat untuk introspeksi diri, mengukur keimanan diri sendiri dengan mau melakukan kritik pada diri sendiri.

Agama tidak boleh dihina dan dilecehkan apalagi sampai menginjak kitab suci, itu sungguh aib dan bisa berujung petaka. Sebab banyak masyarakat yang penganut agama fanatik akan cenderung mudah marah bila ada orang yang menghina dan melecehkan agama. Kadang malah terprovokasi untuk melakukan pelanggaran hukum, melakukan tindakan kekerasan bahkan parahnya melakukan pembunuhan hanya demi membela agama.

Banyak pemuka agama yang lebih senang membakar semangat fanatis untuk mengupas dan mengulik kekurangan agama lain. Menganggap agama lain itu salah dan merekalah yang terbenar. Banyak dalil dan ayat-ayat kitab suci yang ditelaah untuk mencoba mengecilkan pengaruh agama lain dengan mencoba mencari fakta lewat literasi entah darimana yang penting pengikutnya percaya penuh pada ucapan pemuka agama tersebut.

Agama dan Masa Kegelapan

Tipikal masyarakat Indonesia yang masih banyak menyerap ilmu dan ajaran agama dengan hanya mendengar dan mengikuti pemuka agama, apalagi pemuka agama itu terkenal dan dalam setiap ceramahnya selalu membangkitkan gejolak adrenalin. Budaya literasi yang belum tumbuh subur, membuat masyarakat masih butuh patron, panutan dan itu didapatkan dari para penceramah agama. Padahal jika masyarakat melek literasi, mereka akan lebih kritis pada ajaran agama yang mencerahkan atau sekedar ceramah sensasi dan cenderung provokatif.

Agama menurut pemahaman penulis ranah pribadi, urusan manusia dengan Tuhan Sang Pencipta, jalan kebenaran manusia masing-masing berbeda. Maka mereka memerlukan agama sebagai petunjuk arah kebenaran. Kalau agama akhirnya hanya melahirkan kekerasan dan permusuhan, bagaimana agama menjadi sarana untuk menyatukan manusia yang berbeda-beda. Dalam sejarahnya tiap agama pernah mempunyai sejarah kelam yang sering menyeret manusia, agama dan politik untuk bersinergi. Akhirnya memang jika antara politik, agama, kekuasaan itu bersatu yang muncul hanyalah kegaduhan dan masa kegelapan.

Katolik pernah mengalami masa kegelapan ketika Paus dan Lembaga agama terlibat bersama dalam negara. Agama yang berpolitik atau politik yang menyeret-nyeret agama sebagai legitimasi bagi kekuasaan hanya melahirkan chaos. Tidak ada kedamaian, yang terjadi  perpecahan dan krisis kepercayaan. Bukan mengajarkan agnostic atau menjadi atheis, masyarakat perlu menjauhkan agama dari kekuasaan dan politik. Biarlah agama menjadi ranah pribadi, hubungan relasional antara manusia dengan Tuhan, dengan Yang Menciptakan alam semesta.

Cara, tata ibadat dan proses melakukan penyembahan terserah manusia, yang penting tidak melanggar hak-hak manusia lain untuk melakukan ibadah menurut kepercayaan dan cara yang menurut penulis setiap pribadi manusia berbeda-beda. Seperti halnya ketika manusia memilih baju yang nyaman dikenakannya.

Introspeksi, Literasi dan Harapan Agama yang Meneduhkan bukan biang Konflik

Yang terjadi di Indonesia. Umat beragama terutama agama mayoritas masih dalam euforia beragama. Menganggap bahwa agama memegang peran penting dalam setiap sendi kehidupan. Maka Ibadah, pengkajian, ritual mendengar penceramah dan percaya penuh pada apa yang dikatakan pemuka agama menjadi bumerang bagi kebebasan berpikir dan menghambat upaya manusia melakukan kontemplasi, meditasi, kritik diri dan pengembangan diri. Mereka banyak yang lebih percaya pada apa yang dikatakan pemuka agama daripada memberi kesempatan untuk mengkritisi diri sendiri, lebih kritis dalam menelaah ajaran agama.

Sepertinya introspeksi belum menjadi budaya, maka ketika ada tekanan dari luar dirinya atau kelompoknya ada kecenderungan dibenturkan dengan keyakinan bahwa apa yang dilakukan Singapura misalnya adalah sebuah pelecehan pada profesi pemuka agama. Reaksinya menjadi marah, mengutuk dan melawan aturan yang sudah baku, apalagi Singapura yang begitu melindungi kenyamanan hidup warga negaranya.

Mereka tentu tidak ingin kecolongan dengan bibit perpecahan yang dimulai dari pengajaran radikal dan segregasi yang bisa dilihat dari jejak digital yang tidak mungkin dihapus. Maka menurut penulis, sebaiknya masyarakat Indonesia tidak reaktif, mengaitkan penolakan Singapura pada UAS sebagai ajakan perang dan penghinaan pada kedaulatan negara. UAS itu hanya satu dari ratusan juta masyarakat Indonesia. Pemerintah Indonesia tentu mempunyai kebijakan dengan cakupan luas, bukan hanya membela sekelompok warga yang emosional pemuka agama panutannya mendapat perlakuan tidak layak di negara tetangga.

Semoga semakin banyak masyarakat yang mau introspeksi diri sebelum memberikan statemen, pembelaan, komentar yang berpotensi memecah belah persatuan. Lebih nyaman hidup damai dengan menghargai hak dan privasi orang lain daripada mencampuri urusan orang lain apalagi menjelek-jelekkan kepercayaan orang lain. Sebab diri sendiri belum tentu lebih baik dari orang lain.

Semoga Ustadz  Abdul Somad dan pemuka agama lainnya mampu memberikan jalan cerah bagi pengikutnya untuk tidak mudah marah. Lebih bagus mengajak introspeksi demi kebaikan bersama, hidup di negara berdasarkan Pancasila ini. Salam damai selalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun