Banyak pemuka agama yang lebih senang membakar semangat fanatis untuk mengupas dan mengulik kekurangan agama lain. Menganggap agama lain itu salah dan merekalah yang terbenar. Banyak dalil dan ayat-ayat kitab suci yang ditelaah untuk mencoba mengecilkan pengaruh agama lain dengan mencoba mencari fakta lewat literasi entah darimana yang penting pengikutnya percaya penuh pada ucapan pemuka agama tersebut.
Agama dan Masa Kegelapan
Tipikal masyarakat Indonesia yang masih banyak menyerap ilmu dan ajaran agama dengan hanya mendengar dan mengikuti pemuka agama, apalagi pemuka agama itu terkenal dan dalam setiap ceramahnya selalu membangkitkan gejolak adrenalin. Budaya literasi yang belum tumbuh subur, membuat masyarakat masih butuh patron, panutan dan itu didapatkan dari para penceramah agama. Padahal jika masyarakat melek literasi, mereka akan lebih kritis pada ajaran agama yang mencerahkan atau sekedar ceramah sensasi dan cenderung provokatif.
Agama menurut pemahaman penulis ranah pribadi, urusan manusia dengan Tuhan Sang Pencipta, jalan kebenaran manusia masing-masing berbeda. Maka mereka memerlukan agama sebagai petunjuk arah kebenaran. Kalau agama akhirnya hanya melahirkan kekerasan dan permusuhan, bagaimana agama menjadi sarana untuk menyatukan manusia yang berbeda-beda. Dalam sejarahnya tiap agama pernah mempunyai sejarah kelam yang sering menyeret manusia, agama dan politik untuk bersinergi. Akhirnya memang jika antara politik, agama, kekuasaan itu bersatu yang muncul hanyalah kegaduhan dan masa kegelapan.
Katolik pernah mengalami masa kegelapan ketika Paus dan Lembaga agama terlibat bersama dalam negara. Agama yang berpolitik atau politik yang menyeret-nyeret agama sebagai legitimasi bagi kekuasaan hanya melahirkan chaos. Tidak ada kedamaian, yang terjadi  perpecahan dan krisis kepercayaan. Bukan mengajarkan agnostic atau menjadi atheis, masyarakat perlu menjauhkan agama dari kekuasaan dan politik. Biarlah agama menjadi ranah pribadi, hubungan relasional antara manusia dengan Tuhan, dengan Yang Menciptakan alam semesta.
Cara, tata ibadat dan proses melakukan penyembahan terserah manusia, yang penting tidak melanggar hak-hak manusia lain untuk melakukan ibadah menurut kepercayaan dan cara yang menurut penulis setiap pribadi manusia berbeda-beda. Seperti halnya ketika manusia memilih baju yang nyaman dikenakannya.
Introspeksi, Literasi dan Harapan Agama yang Meneduhkan bukan biang Konflik
Yang terjadi di Indonesia. Umat beragama terutama agama mayoritas masih dalam euforia beragama. Menganggap bahwa agama memegang peran penting dalam setiap sendi kehidupan. Maka Ibadah, pengkajian, ritual mendengar penceramah dan percaya penuh pada apa yang dikatakan pemuka agama menjadi bumerang bagi kebebasan berpikir dan menghambat upaya manusia melakukan kontemplasi, meditasi, kritik diri dan pengembangan diri. Mereka banyak yang lebih percaya pada apa yang dikatakan pemuka agama daripada memberi kesempatan untuk mengkritisi diri sendiri, lebih kritis dalam menelaah ajaran agama.
Sepertinya introspeksi belum menjadi budaya, maka ketika ada tekanan dari luar dirinya atau kelompoknya ada kecenderungan dibenturkan dengan keyakinan bahwa apa yang dilakukan Singapura misalnya adalah sebuah pelecehan pada profesi pemuka agama. Reaksinya menjadi marah, mengutuk dan melawan aturan yang sudah baku, apalagi Singapura yang begitu melindungi kenyamanan hidup warga negaranya.
Mereka tentu tidak ingin kecolongan dengan bibit perpecahan yang dimulai dari pengajaran radikal dan segregasi yang bisa dilihat dari jejak digital yang tidak mungkin dihapus. Maka menurut penulis, sebaiknya masyarakat Indonesia tidak reaktif, mengaitkan penolakan Singapura pada UAS sebagai ajakan perang dan penghinaan pada kedaulatan negara. UAS itu hanya satu dari ratusan juta masyarakat Indonesia. Pemerintah Indonesia tentu mempunyai kebijakan dengan cakupan luas, bukan hanya membela sekelompok warga yang emosional pemuka agama panutannya mendapat perlakuan tidak layak di negara tetangga.
Semoga semakin banyak masyarakat yang mau introspeksi diri sebelum memberikan statemen, pembelaan, komentar yang berpotensi memecah belah persatuan. Lebih nyaman hidup damai dengan menghargai hak dan privasi orang lain daripada mencampuri urusan orang lain apalagi menjelek-jelekkan kepercayaan orang lain. Sebab diri sendiri belum tentu lebih baik dari orang lain.
Semoga Ustadz  Abdul Somad dan pemuka agama lainnya mampu memberikan jalan cerah bagi pengikutnya untuk tidak mudah marah. Lebih bagus mengajak introspeksi demi kebaikan bersama, hidup di negara berdasarkan Pancasila ini. Salam damai selalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H