Sebetulnya air mataku susah menetes, jika hanya karena luka goresan dan luka kena tampar. Paling meringis dan menahan sakit. Namun, jika melihat kasih sayang yang diperlihatkan anak pada orang tuanya, dengan memberi hadiah kesuksesan air mata benar-benar tidak terbendung.
Terus terang aku gampang terharu, apalagi mengingat cerita-cerita tentang kampung halaman dan betapa mereka bisa dengan mudahnya bolak-balik kampung tanpa berpikir panjang. Betapa panjang nafas mereka, sementara aku harus berpikir panjang untuk pulang. Mungkin mereka punya uang cukup dan selalu bisa menyisihkan uang meskipun harus terbang atau naik kereta, bahkan kadang aku suka lupa untuk sekedar ngobrol menanyakan kabar pada orang tua.
Aku bisa merasakan orang tua pasti rindu sekedar di sapa "Bagaimana bu, sehat?"
Sebuah senyum tulus dan bahagia tampak mengembang, meskipun kerut kulit mulai menyesak di wajah, ada setangkup kebahagiaan terpancar karena ada perhatian.
"Sehat, Le, kamu kok lama nggak tilpun, sebetulnya beberapa hari kemarin ibu sakit tapi sengaja tidak mengabarimu, nanti kamu khawatir, trus buru-buru mau pulang, kebutuhanmu khan masih banyak, kasihan anakmu masih butuh biaya. Kalau kamu sering pulang, pasti banyak yang harus kau tanggung, Le."
Jlepp! Ah, aku seperti tersentak, bingung dan malu pada diri sendiri, sekian lama merantau apa yang  kuhasilkan selain hanya membuat rindu orang tua yang kesepian. Ia semakin kesepian dan pasti rindu pada anaknya yang kadang lupa pulang.
Jangan bilang ibuku sampai bilang."Kamu  seperti Malin Kundang, lupa pada ibumu yang melahirkanmu."
"Tidak, Ibu, aku hanya ingin mengatakan aku belum sempat pulang, masalahku bertubi-tubi datang, kesialan ini rasanya  terus menerus datang, apa karena bhaktiku kepadamu setipis lembaran kertas."
Jika ingat perjuangan orang tua saat membesarkan diriku, sepertinya perhatianku tidaklah sebesar sekuku hitam jempol ibuku. Rasanya hanyalah butiran debu dibandingkan kasih sayang orang tua.
 Mempunyai anak laki-laki bagi seorang ibu ibaratnya adalah melepas emas untuk direlakan berpindah kota, Seorang ibu hanya mendoakan agar emas tetaplah emas, kalau perlu beranak pinak,kalaupun tidak kembali paling paling tidak tidak sampai hilang lenyap.
Tidak semua anak bisa ingat dan selalu setia untuk membahagiakan orang tuanya. Tapi banyak ibu yang hanya berdoa agar anaknya bisa berbahagia di kota bersama keluarganya. Pasti banyak hal yang menjadi tanggungan, entah membesarkan anak, atau sedang berjuang lagi setelah usaha dan pekerjaannya sempat bangkrut dan harus memulai lagi dari nol.
"Yang penting kamu sehat Le, kuat menjalani hidupnya yang berwarna."
"Iya, Bu."
Dalam nuraniku sebetulnya ingin menangis, Cinta orang tua memang benar-benar luar biasa, sebuah pembelajaran dan pengalaman hidup yang mesti diteladani. Ia tidak pernah meminta apa yang sudah dikeluarkan, malah kadang-kadang masih memberi walaupun beliau sendiri sebenarnya juga tidak mempunyai banyak uang. Kadang tidak tahu bahwa untuk membantu anaknya ia rela menggadaikan sawah dan ladangnya, kadang saking sayangnya pada anaknya ia rela kerja apa saja untuk bisa membantu kesulitan anaknya yang dirantau.
Ah, sebegitukah teganya anak sampai tua masih minta bantuan.
Hartoyo, tetanggaku pernah mengingatkanku untuk sering-sering pulang.
"Ibumu sudah tua, Pur, kamu nggak terpikir untuk pulang?"
"Pengin Har, tapi kamu tahu, aku punya anak dan istri, semuanya menggantungkan hidup dari pekerjaanku, Sedangkan gajiku pas-pasan untuk ukuran kota. Aku mesti gali lobang tutup lubang untuk membiayai kebutuhan keluarga, sementara istriku sendiri tidak mau kuajak pulang. Ini dilema bagiku Har."
"Aku, tahu perjuanganmu terhadap keluarga luar biasa, tapi kamu juga mesti ingat siapa yang melahirkanmu."
Aku hanya diam, aku melengos menatas awan-awan berarak mendung di langit, mataku berkaca-kaca. Bathinku sebetulnya menjerit, bibirku bergetar, tapi aku hanya diam, menatap kosong langit yang semakin gelap.
Di kamar saat istriku belanja ke pasar dan anak-anak sedang  menginap di rumah mertuaku. Aku rebahan, aku balik badan dan membenamkan kepalaku di bantal dan berteriak keras-keras. Aku merasa seperti Malin Kundang yang tidak berguna. Aku seperti anak ayam yang nekat pergi jauh, menjauhi induk ayam yang kebingungan mencari ke mana anaknya pergi. Induknya seperti marah, bingung, dan uring-uringan.
Setelah besar aku memang harus lepas, sebagai orang tua tanggungjawabku besar untuk membesarkan anak yang butuh biaya untuk sekolah dan mengarungi kehidupannya.Â
Bertahun-tahun aku hanya berkabar lewat telepon itupun kadang lupa, kadang terlewatkan perhatianku pada orang tua satu-satunya yang masih hidup. Bapakku sudah beberapa tahun meninggal saat aku juga belum sempat berbakti dan membalas perhatian di masa tua.
Darmin, Darmin, kamu tampaknya melewatkan beberapa peristiwa penting dalam hidupmu. Terlalu suntuk dengan kehidupan di kota sehingga melupakan kenangan manis saat masih ada di desa. Masih ingatkah teman kecilmu, Marsih. Setiap ketemu ia menunduk, tapi diam-diam mencuri perhatian. Wajah polos remaja desa, yang banyak dihabiskan di sawah untuk membantu orang tuanya yang hanya buruh tani, dan sering menggarap sawah tetangganya yang seorang guru. Yaitu orang tuaku. Aku sendiri benar-benar tidak sadar ada gadis remaja yang diam-diam suka padaku.
Seorang remaja yang pertama kali merasakan getar-getar cinta, namun hanya bisa dipendam. Terus terang ia pasti malu mengatakan bahwa ia diam-diam jatuh cinta. Apakah kamu merasakan getar-getar cinta Darmin?
Waktu itu aku hanya tahu, bahwa selain sekolah blusukan dan nonton wayang burung merpati saja yang mencuri perhatianku. Bahwa aku tidak sadar bahwa aku sudah mulai besar, Terbukti aku sering mimpi bermesraan dengan perempuan cantik. Adegan percintaan itu membawaku pada sebuah mimpi yang membuat pipiku merah padam. Ibuku melihat celanaku basah. Dalam puncak mimpi aku merasakan ada yang keluar dari tubuh dan setelah itu kurasakan basah di celana. Untunglah guru biologiku dan guru BK ku pernah bercerita tentang masa akhil balik laki-laki. Berarti aku sudah beranjak remaja dan mulai dewasa.
Tapi hanya mimpi yang menemaniku, sedangkan rasa jatuh cinta belum sama sekali kurasakan. Marsiih sudah mulai merasakan perubahan baik dari perubahan pada tubuhnya juga perhatiannya pada lelaki, kebetulan akulah yang pertama kali yang membuat ia jatuh cinta.
Aku sendiri malah risih dengan segala perhatiannya yang bagiku berlebihan, jengah dan bingung harus menghindar setiap kali tatapannya mulai membuatku kheki. Itu puluhan tahun lalu saat aku mulai beranjak dewasa, nanti akan kuceritakan cerita-cerita aneh dan norak, tapi jangan berharap mendayu-dayu seperti sinetron atau cerita drama aneh yang sering muncul di kisah cerita cinta yang mirip dengan Romeo dan Yuliet. Yang ada adalah cerita cinta laki-laki aneh yang hampir sepanjang perjalanan hidup di desa tahunya hanya cerita tentang perjalanan dan alam serta burung merpati yang menemani sepanjang waktu.
Widodo, preman kampung dukdeng kampung sering mengejekku. "Kamu itu laki-laki, tapi sama perempuan dingin banget... aneh...wandu?"
Wandu itu adalah julukan pada laki-laki yang kelakuannya mirip perempuan. Aku sebenarnya marah dikatakan seperti itu tapi terus terang takut bila harus melawan preman kampung itu. Jadi diam saja sambil menahan geram.
Pelan-pelan aku hanya mengatakan: "Buajinguk!" Eh sepertinya ia dengar umpatanku. Sebuah bogem mentah mendarat di mukaku.
"Dueeessss!!!" mataku berkunang-kunang dan hampir pingsan. Sambil terhuyung-huyung aku menjauh dari preman itu, pergi menghindari masalah.
Dari jauh sayup-sayup ke dengar Widodo "Ndower" itu memakiku
"Darmin Wandu!"
Pelan kujawab."Preett!"
Percuma melawannya. Kalau aku ikut latihan pencak silat nanti aku baru akan meladeninya. Tapi sampai tua aku tidak pernah belajar beladiri.
***
Aku meluruskan badan, menikmati senja di sebuah cakruk dekat mushola. Kupandangi wajah langit yang mulai memerah, seharian duduk mendengarkan cerita Darmin. Mendengarkan kisah hidupnya. Saat melihat kisahnya aku menghela nafas, sudah tiga tahun tidak pulang, butir-butir kerinduan itu meluncur satu persatu, Aku masih mendengarkan kisah yang membuat penasaran, sayang senja semakin gelap, fajar esok ingin mendengar lebih keseruan cerita-ceritanya yang tidak terasa membuat nuraniku terusik.
Sebuah cerita kehidupan yang mewakili laki-laki yang tidak bisa memilih kecuali menjalani kehidupan seperti roda yang berputar. (bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H