Meskipun hidup itu penuh rencana dari manusia, namun ternyata kenyataan mengatakan banyak kebetulan dan insiden-insiden yang selalu merubah rencana. Manusia boleh saja menjadi perencana, hidup dalam keteraturan, penuh perhitungan penuh dengan target tetapi jalan kehidupan itu penuh misteri.
Tidak ada  yang akan pernah menyangka jika yang miskin bisa tiba-tiba menjadi OKB (Orang Kaya Baru). Namun banyak orang kaya karena kelakuannya yang mirip iblis dan serakah bisa terjerembab dan jatuh miskin.
Orang miskin bagi sebagian orang dipandang punya nasib buruk dan patut dikasihani, tetapi orang kaya kadang tidak menyangka bahwa kemiskinan bukanlah bencana, mereka cukup bahagia dalam ketidakpunyaannya karena mereka menyesuaikan diri dengan kehidupan dan kualitas kebahagiaannya yang cenderung sederhana. Orang kaya yang penuh masalah dan setiap hari harus bergumul dalam spekulasi, ancaman dan hambatan. Sekali lengah mereka akan terjerembab dalam lembah duka dan terteror oleh utang yang sangat besar. Kadang kekayaan dan hartanya adalah modalnya untuk meraih target tinggi, tetapi rencana dan perhitungan sering tertikam oleh nasib buruknya.
Aku merasa sebagai orang yang "keblasuk" di kota, setiap saat harus siap untuk meninggalkan kehidupan kota yang penuh dengan intrik. Kebahagiaan yang dirasakan ketika bisa mencecap aneka makanan dan keanekaragaman kota dengan tawaran kesenangan begitu memabukkan. Sementara dibalik kenikmatan mata iblis siap menjegal kapan saja sampai termehek-mehek.
Randi datang ke kota berbekal lulus STM, banyak lowongan pekerjaan di pabrik sekitar Pulo Gadung. Pabrik-pabrik di sekitar Jakarta banyak mengambil lulusan STM dari Jawa. Mereka merasa bahwa lulusan STM di Jawa bisa diandalkan. Banyak dari mereka yang bisa nyambi kuliah dan bisa mengambil gelar Sarjana Teknik atau mengambil profesi Insinyur. Selanjutnya karir mereka melesat dan tidak sedikit yang kaya karena disamping ulet dia juga rajin dan mau belajar.
Namun banyak dari mereka yang akhirnya bosan setelah puluhan tahun monoton hidup dari kehidupan pabrik dan hanya bergumul dengan mesin produksi. Mereka pulang dan memulai hidup baru sebagai petani. Apa yang menyebabkan mereka bosan dengan kehidupan kota? Kalau saya menarasikan perasaan mereka. Ada kerinduan menyesap udara desa yang masih segar, di samping itu di desa masih banyak orang yang mau berbagi. Hidup dalam lingkup desa seperti hidup dalam rasa persaudaraan yang cukup kuat. Di samping itu target hidup di desa tidak serumit dengan tuntutan-tuntutan kota yang rumit. Pergaulan high class menuntut uang selalu ada, apapun. Â Arisan emak-emak kaya, selebritis yang punya tuntutan hidup tinggi, klub malam, restoran, kafe, tongkrongan-tongkrongan yang menyedot uang.
Ah, kenapa aku pesimis dengan kota. Padahal sudah puluhan tahun tinggal dan terbiasa hidup di gang sempit, biasa menyusuri jalan-jalan tikus, menikmati panasnya dan gerahnya cuaca. Menyesap udara yang bercampur dengan bau kotoran tikus got, seringkali berpapasan dengan makhluk-makhluk yang terbiasa hidup dengan air kotoran yang muncul dari got-got dan sampah rumah tangga.
Banyak pengalaman selama di kota, termasuk banjir besar dan tertahan di rumah hampir selama sebulan di perkampungan yang dipenuhi air. Kotoran tikus, kotoran manusia, sampah plastik, perabot-perabot yang mengapung. Menjadi pemandangan setiap hari. Sebagai orang desa yang terbiasa bercengkerama dengan air yang berasal dari mata air, dari lereng gunung terasa lucu menyaksikan limpahan air berwarna kecoklatan. Lebih ngeri lagi ketika awal banjir, air menghitam bercampur dengan limpahan sampah rumah tangga. Saat melihat itu rasanya pengin segera lari menjauh dan pulang ke desa. Tapi rasanya malu baru sebentar di kota tapi pengin pulang lagi. Istilah mbok-mboken. "Terbiasa hidup tidak jauh dari ketek simbok" harus menjauh mencari sesuap nasi.
Randi. Itu nama kota, nama aslinya Surandi. Dalam penyebutan dan perkenalan pada teman-temannya terutama sama cewek-cewek kota. Randi tertulis Randy, biar trendi. Sarjono, menjadi John. Yah, kadang hidup di kota itu seperti memakai topeng, ketika pulang sok kaya, sukses, tidak tahu setiap hari hidup dan mengkost di gang sempit kalau musim hujan kebanjiran, namun ketika pulang bawa mobil sewaan, hasil dari menggadaikan motornya.
Hidup orang kota, kesuksesan adalah mimpi orang-orang yang polos di desa. Mereka senang ketika pemuda desanya pulang membawa segepok uang dan mobil keluaran terbaru, tidak peduli dapatnya darimana mereka akan mengatakan;"Wis sukses yo Le, seneng dadi wong kuto"(sudah senang ya, Nak, jadi orang sukses di kota)
Randi tersenyum bila dikatakan seperti itu."Inggih, Mbah."
Ah, Preet, mudik itu ajang silaturahmi, ajang pembuktian kerja keras setahun dua tahun. Ini adalah hasil kerja selama di kota. Seperti yang tergambar di televisi, sinetron-sinetron memabukkan. Padahal sesungguhnya, kalau boleh jujur ia akan mengatakan.
"Mbah, aku ini di kota yang penting kerja mau kaki jadi tangan atau tangan jadi kaki, tidak peduli, mau panas-panasan seharian sambil memikul dagangan menawarkan pada mereka yang berlebih uang masa bodoh yang penting uang terkumpul. Mau jumpalitan setelah selama sebulan mengumbar kesombongan yang penting bahagia itu dinikmati. Setelah itu baru jumpalitan lagi, kerja keras lagi.Begitulah hidup."
Randi sadar, dan hati-hati jika menjalin cinta di kota. Bisa-bisa modal yang seharusnya buat pulang kampung amblas hanya dalam semalam. Kalau menuruti gaya hidup di kota. Ia pernah menjalin cinta saat kenalan di Mall . Boleh dikata cantik luar biasa. Cewek-cewek di kampungnya lewat. Ia membayangkan betapa bangganya punya pacar cantik. Pasti orang tuanya bangga.
Ia baru sadar ketika sudah pacaran tiga bulan. Uang gajinya menipis, tidak tersisa untuk ditabung dan dibawa pulang. Hampir setiap hari makan di restoran, atau sekedar nongkrong di Ancol, sambil memesan makanan di restoran terdekat.
Setiap bulan ia menghitung  jumlah uang untuk nraktir Jamilah. Tekor... Ia mesti nyambi ngojek untuk mendapat tambahan, itupun tetap habis.
"Kecantikan ternyata memabukkan. Bukan membahagiakan, hanya kesenangan sesaat."
Randi, memutuskan resign dari pabrik tempatnya bekerja, kembali ke kampung, tidak kuat dengan tuntutan keras kehidupan kota. "Punya pacar cantik, bukannya menguntungkan malah bikin tekor, mending balik sama Darwati, tidak banyak menuntut. Â Ia lebih cantik hatinya daripada wajahnya. Biar muka ndeso tapi hati malaikat. Daripada Jamilah, cantik mempesona tapi memabukkan dan bikin kantong kempes."
Aku bukan membenturkan budaya dan menganggap kota hanya sekumpulan bajingan, tidak semuanya, masih banyak orang baik, banyak yang sosialnya tinggi, menyumbang besar-besaran untuk tempat ibadah di desa. Tetapi banyak juga yang sengaja membuat tempat ibadah, mengeluarkan modal banyak untuk sekedar pansos politik. Menjadi wakil rakyat, memanfaatkan suara orang-orang kecil, setelah itu melupakannya setelah duduk manis sebagai wakil rakyat. Â
Ah, kenapa harus menyinggung tentang politik bikin stres saja, Â bicara tentang kebudayaan, bicara tentang alam, bicara tentang cinta. Intriknya masih bisa dicerna. Kalau politik, hal-hal sederhanapun jadi ruwet.
Mending mengupas butir-butir kerinduan yang tersisa. Aku, kamu kalian toss saja damai damai saja. Tidak usah digubris komentar di medsos. Bikin mrongos, tekor dan los. Lebih senang merajut rindu daripada menghujat fatamorgana, menghitung butir butir rindu yang tersisa. (bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H