Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Negara Rawan Bencana, Rawan Provokasi, dan Rawan Emosi

12 April 2022   16:25 Diperbarui: 12 April 2022   16:29 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peristiwa Gempa Aceh diserta Tsunami yang meluluhlantakkan Kota dekat pantai di Aceh (Kompas.com)

Siapapun pemimpin Indonesia harus siap dengan peristiwa bencana yang tiba-tiba saja datang.Bencana itu bisa karena bencana alam seperti gempa, gunung meletus, banjir, longsor dan tsunami.Letak geografi Indonesia itu rawan dengan tragedi tiba-tiba yang membuat pemerintah pontang-panting mempersiapkan diri dengan segala resiko untuk menyiapkan cadangan jika ada bencana dahsyat datang. Dan ketika ada bencana dan muncul ketidakpuasan masyarakat atas penanganan bencana, siap-siaplah mendapat protes masyarakat, karena selalu saja ada yang tidak puas atas kinerja pemerintah dan wakil rakyat.

Pemerintah siapapun akan gagap jika muncul bencana tidak terduga, harus menyiapkan sejumlah kebijakan untuk menekan kerugian, mengembalikan rakyat dan masyarakat yang terkena imbas bencana. Apalagi ditambah dengan bencana yang lingkupnya bukan hanya lokal nasional, tetapi skalanya internasional.

Bisakah negara menolak bencana yang siklusnya ratusan tahun seperti munculnya fenomena pandemi covid-19. Dan dampaknya cukup besar untuk meluluhlantakkan perekonomian masyarakat. 

Efek domino pandemi bukan hanya berskala nasional tetapi internasional. Negara yang disiplin, rakyatnya patuh pada instruksi pemerintah akan segera terbebas dari terjangan penyakit.

Mereka bisa mengisolasi seluruh aktivitas, dan memberikan sanksi tegas bagi siapa saja yang menentangnya. Tapi di Indonesia yang termasuk negara terbesar di dunia bisakah mengarahkan mereka satu komando?

Nah disitulah masalahnya, ketika ada upaya preventif pencegahan bencana, banyak masyarakat lupa bahwa mereka itu duduk, berdiri, mendirikan bangunan di tanah dan lingkungan yang rawan bencana. 

Tetapi kesadaran untuk mencegah dampak bencana itu sangat kurang. Kalau diingatkan cenderung ngeyel dan menganggap yang memberi edukasi terlalu mencampuri urusan rakyat. Sejumlah bangunan yang dibangun (termasuk juga rumah saya) tidak dibangun dengan standar bangunan yang aman dari bencana. 

Jepang adalah salah satu negara yang berhasil memberi edukasi yang baik bagi masyarakatnya untuk membangun rumah yang cukup nyaman dari resiko bencana karena di Jepang terkenal dengan  negara rawan gempa. Masyarakat sudah mengantisipasi dengan membuat rumah yang beresiko besar bila bencana terjadi. 

Di Indonesia khususnya di alur Sumatra, Jawa, NTT, Kalimantan sebagian Sulawesi banyak bangunan yang asal berdiri, tetapi tidak memperhitungkan jika tiba-tiba muncul bencana. 

Lihat saja peristiwa gempa yang terjadi di Yogyakarta, bangunan yang runtuh adalah bangunan yang didirikan tanpa mempertimbangkan aspek keamanan ketika bencana muncul.

Perlu diketahui bahwa di seputar Ring of Fire(Lingkaran Api Pasifik) selalu ada pergeseran lempeng bumi, pergeseran lempeng bumi itu berdampak tanah labil, munculnya gempa, munculnya longsor dan juga aktifnya gunung berapi. Bisa saja gunung berapi yang semula pasif pada suatu saat akan aktif dan membuat bencana berupa letusan atau erupsi tanpa diduga. 

Lihat saja lintasan gunung berapi di Indonesia yang bentuknya seperti tapal kuda. Di titik itu banyak gunung api aktif yang siap sewaktu-waktu menumpahkan lavanya, juga munculnya gempa yang bisa mengakibatkan tanah retak, rumah ambruk dan bisa menimbulkan tsunami dahsyat.

Peristiwa Gempa Aceh diserta Tsunami yang meluluhlantakkan Kota dekat pantai di Aceh (Kompas.com)
Peristiwa Gempa Aceh diserta Tsunami yang meluluhlantakkan Kota dekat pantai di Aceh (Kompas.com)

Lagi-lagi masyarakat mengeluh dan marah-marah ketika peristiwa sudah terjadi, seakan-akan semuanya itu kesalahan pemerintah yang tidak memberi peringatan dini munculnya bencana. 

Padahal seharusnya semua pro aktif baik masyarakat maupun pemerintah untuk siap dengan apapun resiko yang terjadi apabila muncul bencana. 

Pemerintah menyiapkan infrastruktur yang memberi peringatan adanya bencana sedangkan masyarakat patuh dan disiplin serta menjaga mesin atau alat pemindai bencana, bukannya malah dicuri dan dijual ke tukang loak yang memberi sedikit uang tetapi merugikan ketentingan banyak orang.

Darurat kebencanaan itu bukan edukasi main-main, tetapi kesadaran masyarakat.Bukan main telunjuk dan saling menyalahkan tetapi merupakan tanggungjawab bersama. 

Yang terjadi selama ini ketika bencana yang muncul adalah saling menyalahkan, dan ketika muncul perbedaan pendapat antara masyarakat dan pemerintah, pihak ketika yang senang bila ada banyak masalah pada rezim berkuasa, mereka dengan girang memprovokasi sehingga muncul fenomena emak-emak demonstrasi hanya gara-gara minyak goreng mahal, tanpa tahu permasalahan sebenarnya.

Kalau sudah emak-emak turun ke jalan repotlah semuanya, asap dapur tidak mengepul, anak-anak terbengkalai dan logika berpikirpun kadang hanya berupa emosi, amarah dan pokoknya menentang tanpa tahu benar eksesnya.

Kalau misalnya berteriak penguasa turun, tahukah solusinya bila muncul people power, belum tentu pemerintahan selanjutnya akan langsung bisa mengatasi persoalan emak-emak khan. Fenomenanya asal lantang, yang penting dapat hasil dari teriakannya yang membahana.

Kembali pada tanggap bencana. Indonesia yang sebagian warganya hidup di jalur ring of fire harus benar-benar siap dengan segala resiko, termasuk misalnya penurunan muka tanah. 

Sayangnya kesadaran tanggap bencana sangat rendah sehingga akhirnya selalu ada kambing hitam atas munculnya bencana, mulai dari alasan mistis sampai menyerempet dunia politik.

Hal yang pahit yang terjadi misalnya munculnya bencana meletusnya gunung berapi, disertai cuaca yang buruk, ditambah munculnya angin puting beliung serta masih ditambah dengan siklus seratustahunan penyakit yang membawa korban jutaan nyawa melayang akibat virus baru yang belum diketahui obatnya, cepat persebarannya dan perlu kesigapan pemerintah mengantisipasi kebangkrutan akibat berhentinya roda perekonomian utang serta inflasi yang hadir secara global.

Lebih parah akibat berhentinya roda perekonomian, masyarakat tahunya marah dan menganggap pemerintahan tidak becus menyelamatkan usaha rakyat dan para mahasiswa serta dibantu oposisi sibuk berdemo tanpa memberi solusi bagaimana keluar bersama dari kemelut dan bencana.

Belum lagi masyarakatnya sibuk dengan ancaman radikalisme agama, yang hampir setiap hari di media sosial tiada hari tanpa debat agama. Seperti sudah merasa benar semua, dan semua menganggap yang paling sempurna.

Padahal kadang para pemimpin umat dan agama lupa untuk mengingatkan untuk introspeksi diri, tidak hanya menuding dan menganggap yang lain salah. Manusia yang setiap harinya mengurusi keimanan orang lain tetapi tidak sadar bahwa imannya sendiri masih lemah dan perlu banyak belajar. 

Hal-hal yang berurusan dengan politik dicampuradukkan dengan keyakinan dan agama, yang seharusnya berpikir maju bagaimana membangun industri roket masih sibuk berdebat tentang keyakinan yang kalau diperdebatkan tidak pernah ketemu. 

Jika setiap manusia merasa baik dan lebih sempurna maka yang muncul adalah rasa iri dan munculnya kesombongan karena menganggap ia dan kelompok dan keyakinannya yang paling unggul.

Padahal untuk menjadi negara maju manusia harus luas pengetahuannya baik ilmu bumi, sejarah, sosiologi, filsafat, matematika dan ilmu geologi. Bukan harus menguasai hanya harus tanggap terhadap situasi dan kondisi lingkungan. 

Urusan keimanan urusan pribadi, kalau semua orang sudah saling menghargai, saling hormat dan saling respek artinya pemahaman agama dan keimanan semakin baik, kalau setiap manusia masih sibuk bagaimana membuat teman terpojokkan, bicara bohong demi ketenaran, memutarbalikkan fakta demi popularitas, artinya agama belum dipahami benar. 

Mengapa siswa harus sekolah, bukan semata-mata pintar dalam pelajaran tetapi lupa akan esensi belajar sebenarnya. Apalagi jika sudah bisa disebut mahasiswa.

Lalu bagaimana mengatasi dan mencegah parahnya korban akibat bencana alam?

Nah inilah diperlukan kecerdasan dari masyarakat, perlu kesigapan mahasiswa untuk bersama memikirkan solusi terbaik agar  bencana, munculnya virus satu abad, berulahnya alam bisa dihadapi dengan bijaksana.

Yang terbaik pertama adalah kesadaran masyarakatnya untuk bisa berdamai dengan bencana, dan belajar dari kesalahan lalu untuk memperbaiki bangunan, pengetahuan darurat bencananya hingga bisa meminimalisir dampak bencana. 

Untuk bisa keluar dari kemelut diperlukan kebersamaan, sense of belonging, kesadaran untuk ikut merasa bertanggungjawab atas munculnya bencana, bukan hanya menuding dan menyalahkan keadaan dan penguasa.

Mungkin perlu introspeksi ke dalam diri apakah saya sendiri sudah ikut mengurangi dampak bencana, atau malah mengabaikannya hingga merugikan diri sendiri dan orang lain. 

Sisi positifnya di peristiwa bencana Yogyakarta adalah sikap gotong royong, tanggap cepat dalam membangun kembali puing-puing bencana, cepat melupakan kesedihan dan bangkit untuk berusaha kembali. 

Jangan sampai sudah negara rawan bencana, masyarakatnya mudah marah dan gampang diprovokasi untuk melakukan kerusuhan. Yang terjadi negara hanya akan hancur jika muncul prinsip senang bila temannya sedih, sedih jika temannya senang. Atau bersorak ketika ada temannya mendapatkan musibah, dan malah sedih ketika ada temannya yang sukses, kalau prinsip ini terus dipegang kapan majunya sebuah negara?

Demo terjadi bukan hanya di Indonesia, Menjadi refleksi agar Indonesia tidak mudah terjebak oleh emosi dan provokasi (kompas.com)
Demo terjadi bukan hanya di Indonesia, Menjadi refleksi agar Indonesia tidak mudah terjebak oleh emosi dan provokasi (kompas.com)

Nah inilah yang menjadi semacam refleksi diri,agar sayapun sadar hidup di negara yang rawan bencana, sadar untuk tidak mudah terkena fitnah dan provokasi menyesatkan asal melawan, asal mengkritik, mampu mengendalikan emosi sehingga jari tidak mudah  menulis hal-hal yang belum tentu benar hanya karena berita dan media hoaks. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun