Saya adalah salah satu guru di sekolah swasta besar di Jakarta. Di lingkungan saya tidak banyak guru yang suka menulis, paling hanya satu dua, tidak lebih dari lima yang hobi dan senang menulis. Mungkin bukan tidak senang menulis tetapi"saking " banyaknya tugas tidak sempat menulis. Tugas guru swasta itu bejibun, hampir setiap hari dibebani banyak tugas yang membuat mereka kadang lupa untuk mengupgrade ilmu pengetahuan.
Sebetulnya kemampuan literasi guru tidak bisa dipandang remeh, banyak guru mampu berkomunikasi dengan baik, piawai berbicara atau mempunyai kemampuan IT di atas rata-rata terutama guru muda. Mereka bisa membuat video pembelajaran menarik, membuat power point yang tidak membosankan dan juga menguasai aplikasi game untuk memberi variasi pembelajaran yang tidak membosankan.
Guru dan Seabrek Kegiatan dan Tugas Administrasi
Sebagai guru kesibukan memperhatikan tingkah laku siswa di zoom, memberi tugas dan menagih tugas menjadi kegiatan rutin. Di setiap aktivitas pelajaran guru tampak sibuk menegur siswa yang membandel tidak on cam ketika pembelajaran PJJ. Sementara di PTM guru juga sibuk mendampingi siswa mengingatkan untuk mentaati protokol kesehatan, memastikan memakai masker yang benar dan juga sibuk mengingat kembali bagaimana mengoperasikan perangkat blended learning. Â Kepala Sekolah, Wakil kepala sekolah, wali kelas begitu sibuk mempersiapkan perangkat pembelajaran, memastikan jadwal berjalan baik dan waktunya banyak disita untuk mengurusi masalah-masalah yang berasal dari anak didik. Belum lagi rutinitas mengikuti pelatihan webinar, rapat intern, rapat yayasan, rapat MGMP, rapat dengan jajaran pemerintahan terutama masalah administrasi wajib bagi PGRI,supervisi rutin dari diknas, akreditasi.
Kesibukan itu tidak berhenti bahkan ketika guru sudah sampai di rumah, banyak keluhan datang dari ratusan siswanya yang berasal dari orang tua dengan berbagai latar belakang. Guru harus panjang sabar, harus selalu ramah melayani komplein orang tua, menerima kritikan dan sabar jika ada orang tua yang sering mencecar kebijakan sekolah terkait keuangan dan kebijakan kurikulum.
Mereka yang sehari-harinya sudah kehabisan waktu untuk mengerjakan tugas lain selain tupoksi sebagai guru sangat susah menyisihkan waktu untuk menulis. Mungkin berbeda dengan saya, guru biasa yang masih mempunyai banyak waktu untuk menyalurkan hobi menulis dan menggambar. Saya bukan wali kelas, bukan pejabat struktural yang mempunyai tanggungjawab besar, tetapi sebagai guru sayapun mempunyai tanggungjawab besar untuk mengantarkan anak mencintai dan menyukai mata pelajaran saya.
Menyisihkan Waktu untuk Menyalurkan Hobi
Saya bersyukur dalam segala kekurangan saya masih bisa menyisihkan waktu untuk menulis. Menulis itu panggilan jiwa. Selama puluhan tahun lalu jauh sebelum saya akhirnya menjadi guru minat menulis saya lebih besar daripada minat saya sebagai guru. Meskipun saya memilih perguruan tinggi kependidikan yang mencetak guru, tidak terpikir bahwa suatu saat nanti akan memilih profesi sebagai guru. Dalam rentang setelah lulus sebagai sarjana pendidikan seni rupa, lebih banyak aktivitas saya dalam hal tulis menulis. Pernah menjadi kontributor majalah, aktif menulis di surat pembaca dan melakukan kegiatan redaksional menjadi penggerak literasi di lingkungan gereja. Dalam masa "nganggur" saya dulu lebih banyak diisi dengan kegiatan tulis menulis. Kalau dikumpulkan tulisan saya sejak periode itu mungkin sudah ribuan. Sayangnya saya bukanlah pengkoleksi apik semua jejak tulisan saya di majalah.
Bersyukur sejak tahun 2010 Kompasiana menampung tulisan-tulisan saya. Saya jadi kembali belajar bagaimana menyusun kata, bagaimana meracik artikel dan disukai pembaca. Di Kompasiana saya banyak belajar pada penulis-penulis dengan berbagai latar belakang. Ketika menulis saya jadi yakin bahwa guru sebagai profesi utama saya saat ini akan lebih berkembang ketika sayapun mempunyai semangat besar untuk terus belajar, tidak terbatas pada bidang mata pelajaran yang saya ampu saja, tetapi bagaimana menumbuhkan semangat belajar siswa tidak terbatas pada tuntutan pembelajaran.
Kalau hanya menghapal, sekedar memenuhi tuntutan tugas maka suatu saat anak didik dalam titik tertentu akan bosan untuk melakukan tugas rutin belajar. Kesadaran diri belajar yang baik harusnya muncul dari dalam diri, bukan paksaan, bukan karena tuntutan tugas yang mesti dipenuhi. Kalau tugas dan belajar itu dianggap beban maka banyak anak didik hanya belajar karena ada yang harus memenuhi target yang diberikan guru. Padahal aktivitas belajar itu untuk kepentingan anak didik itu sendiri. Jika mereka tekun dan selalu mengikuti pelajaran dengan baik ada pelajaran yang bisa dipetik yaitu ketekunan dan penanaman disiplin untuk menyerap pengetahuan.
Anak didik yang tekun dan sadar bahwa pendidikan penting untuk bekal masa depan akan memetik hasilnya suatu saat nanti. Banyak keberuntungan didapat, banyak kesempatan bisa diperoleh dari anak didik yang berprestasi. Namun bukan berarti mereka yang nakal dan sering bermasalah di sekolah juga tidak mempunyai prospek cerah. Banyak anak nakal dan bermasalah di sekolah karena mereka tidak mendapatkan suasana yang mereka inginkan. Tidak semua anak didik mempunyai kemampuan akademik tinggi. Ada banyak dari mereka mempunyai kemampuan menggambar, literasi mumpuni, mampu menulis dan mengarang tetapi tidak mendapat kesempatan karena banyaknya tugas pembelajaran lainnya. Mereka kemudian berulah dan membuat pusing guru dan wali kelas.
Banyak Masalah yang Dihadapi Siswa Membuat Guru Tidak "sempat" Menulis
Karena kesibukan banyak guru akhirnya tidak lagi berhasrat untuk mempunyai kesibukan lain apalagi aktivitas menulis yang butuh belajar dan rutin mengupdate pengetahuan. Hasrat menulis yang dulu pernah ada (mungkin) padam karena berbagai kendala, termasuk kesibukan pekerjaan sebagai guru yang punya banyak beban kerja dan tugas-tugas yang menyita waktu. Tetapi yang penulis lihat saat ini sudah mulai banyak guru terutama guru negeri yang mempunyai kesempatan mengembangkan diri terutama kemampuan menulis. Di Kompasiana banyak guru dengan kualitas tulisan yang di atas rata-rata. Banyak yang semangat untuk menerbitkan buku. Karena mungkin latar belakang pada tuntutan jika guru mampu menerbitkan buku akan banyak menambah kredit point, otomatis akan melempangkan jalan untuk naik golongan, dan juga berpeluang naik jabatan.
Tetapi penulis yakin banyak guru menulis bukan hanya bertujuan untuk cepat naik golongan. Banyak diantara mereka yang hobi menulis karena panggilan hati. Menulis itu terapi, membuat seseorang tidak mudah pikun. Menulis itu sarana aktualisasi diri, jika mampu membuat artikel bahkan mencetak buku solo akan menambah keyakinan bahwa mereka adalah bagian dari sejarah, bagian penggerak literasi yang ingin menyadarkan siapapun akan manfaat menulis bagi kehidupan terutama untuk mencerdaskan bangsa.
Aktifitas menulis bisa menghindarkan seseorang dari jebakan fanatisme, radikalisme agama. Sebab sebagian penulis akan selalu menelaan masalah dengan pikiran terbuka, mereka mempunyai wawasan luas, tidak hanya sekedar menulis tetapi membuka cakrawala pengetahuan. Tidak terjebak dalam doktrin-doktrin sempit yang membuat penulis menjadi terjebak dalam pola pikir radikal. Mereka akan terbuka pada perbedaan pandangan dan tidak mudah terhasut oleh berita-berita yang belum tentu benar. Dalam wawasan penulis yang luas akan muncul sikap kritis, tidak mudah percaya kalau tanpa data dan riset.
Maka jika ada penulis yang sering menulis tanpa data dan riset dan hanya berdasarkan katanya-katanya maka penulis itu perlu membuka diri. Kualitas tulisan penulis itu akan terukur jika apa yang dituliskan itu adalah endapan permenungan, pengetahuan, luasnya pandangan, resensi yang banyak dan sudut pandang pemikiran yang mampu membuka cakrawala pengetahuan bagi pembaca.
Ladang Pengabdian Yang Berbeda Tidak Memilih Menulis Sebagai Hasrat Hobi Mereka
Guru yang belum mempunyai semangat untuk menulis, mungkin saja karena kesibukan mengemban tugas-tugas berat harus menyingkirkan dulu hasrat menulisnya, pengabdian guru bisa di mana saja, ketika ia sudah menginspirasi karena perhatian dan concernnya pada masa depan anak, selalu melakukan pendampingan, konseling dan rangkulan erat layaknya orang tua dan anak itu juga merupakan sebuah tugas mulia. Guru yang bisa membagi waktu antara mengajar dan menulis juga mempunyai nilai plus sendiri, paling tidak karya-karya tulisnya bisa mendorong anak didiknya untuk terinspirasi pada hobi guru di samping memberikan ilmu juga menginspirasi siswanya untuk berkarya literasi.
Tidak semua guru mempunyai hasrat menulis tinggi. Mereka mempunyai talenta dan ladang pengabdian yang berbeda. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H