Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Teriakan Khas "Nyaakkkkk" yang Bikin Rindu (Balada Gang Sempit Kota 1)

28 Februari 2022   18:12 Diperbarui: 28 Februari 2022   18:13 793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi jalan-jalan Petogogan yang berada di Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Diapit jalan WIjaya I, Jalan Tendean, jalan Bangka Raya, Jalan Antasari Image (law.justice.co)

Beberapa hari lalu saya membaca tulisan Pak Budi Susilo (kompasianer) tentang pengalaman menyusur gang-gang sempit terutama di perkampungan kota yang jalannya hanya cukup untuk kendaraan bermotor(motor), bahkan hanya bisa dilalui dengan jalan kaki. Jalannya tidak lebih dari satu meter, kalau mau papasan jalan harus berhenti dan mepet supaya tidak bersenggolan.

Pengalaman menyusuri gang tikus itu bagi saya sudah sangat tidak asing.  Awal-awal datang ke Jakarta, saya sudah biasa menyusuri gang tikus di Jakarta. Ada beberapa jalan tikus, yang pernah saya lewati hampir setiap hari. Kawasan pertama adalah Petogogan, Kawasan kedua di Pondok Labu di sekitar Gang DDN II yang berbatasan dengan Depok masih di Jakarta Selatan, Yang ketiga ada di Cimanggis, Depok dekat perumahan Bukit Cengkeh, dekat dengan markas Marinir Jihandak, Kelapa Dua Depok. Dan yang paling lama sebelum pindah ke Citra Indah City setahun belakangan adalah Pedongkelan Kapuk, Cengkareng Jakarta Barat.

Yang ingin saya diskripsikan adalah, bagaimana rasanya menyusur gang tikus? Apakah ada perasaan mual, muntah, jijik, lelah, capek dan dongkol? Atau malah riang gembira, masa bodoh, enjoy-enjoy saja? Sebagai orang yang lahir di sebuah desa di lereng gunung Merapi Merbabu Jawa Tengah tentu saja awal tinggal di gang sempit itu terasa aneh. Heran kenapa bisa tinggal di rumah sempit dengan jalan-jalan  yang banyak tikus got melintas, nying-nying dan aneka binatang kotor yang tidak ditemui di desa. Selokan kotor, bau, airnya keruh keabu-abuan. Tembok-tembok penuh lumut, amis bekas limpahan lumpur dan banjir yang selalu menjadi langganan setiap habis hujan deras atau saat tiba-tiba ada banjir kiriman dari Bogor.

Kangen Teriakan khas pedagang minyak.Nyaakkkkk

Aneka jajanan melintas, dengan suara aneh. Ada yang menggunakan ketukan kayu di piring keramik, deretan botol yang dipukul hingga menimbulkan bebunyian unik, atau suara nyaring pedagang minyak yang dari kejauhan sudah kedengaran. Nyakkkkkkkkk, dengan suara lengkingan unik. Saat waktu kedengaran suara ngunggggg seperti cerobong asap yang ternyata pedagang kue kutu.

Selama tahun 2001 sampai 2021, pengalaman menyusur gang sempit itu sudah seperti makanan sehari-hari. Ketika banjir melanda Jakarta sekitar tahun 2001-2002, gang Petogogan yang dekat dengan kawasan elite Blok S, Tirtayasa, Blog Q, Jalan Senopati, Jalan Tendean, Blok M, hampir semua gangnya pernah saya susuri. Saya memang termasuk orang yang kepo, pengin tahu dan demen bertualang mencari jalan baru yang belum pernah dilewati. Seperti membuat peta sendiri di kepala saya untuk menyusur  gang-gang sempit jalan dekat SMA Tarakanita 1 Jakarta. Rumah Om saya yang saya tebengi (sebelum mampu nge kost) ada sekitar sepelemparan batu kerikil SMA tersebut, maksudnya kalau saya lempar kerikil sekencang-kencangnya akan sampai ke SMA tersebut.

Gang kecil itu legendaris sebab hampir semua kamera televisi, dan wartawan pernah memotret gang yang selalu langganan banjir. Gang itu tembus ke perumahan Pulo Raya. Pada setiap kejadian banjir maka benar-benar parah aksesnya. Di depan gerbang SMA yang banyak dihuni oleh artis-artis cewek seperti Dian Sastro, Ira wibowo Tamara Geraldine dan beberapa artis lainnya sangat kenal gang dan jalan di Pulo Raya tersebut. Pada jam-jam tertentu saya selalu mendengar para siswa latihan marching band. Kalau hujan deras, dalam hitungan menit di gang tersebut selalu mengukur curah hujan dan kecepatan laju air yang melintas di gang tersebut, kalau cepat buru-buru saya  dan om saya akan mengungsikan motor di Masjid yang letaknya ada di sisi luar Petogogan. Jalannya menanjak dan tepat di bawah Jalan Wijaya 1.

Di Antara Kawasan Elite ada Perkampungan Padat Kumuh

Suasana tampak kontras kalau jalan Wijaya I masuk kompleks (perumahan Tirtayasa) elite Jakarta Selatan maka Petogogan atau kampung sawah ada di bawahnya adalah perkampungan yang kalau digambarkan melalui udara tampak tumpang tindih seperti tumpukan sampah. Sebetulnya tinggal di Petogogan itu amat strategis, jalan kaki melewati gang tikus di Petogogan akan terhubung  ke Blok M pusat perbelanjaan besar di Jakarta Selatan, menyusuri Pulo Raya akan sampai di kantor Walikota Jakarta Selatan dan ketemu dengan jalan Antasari dan perumahan elite Dharmawangsa. Di belakang kantor Walikota  (Pojok Pulo Raya) terkenal dengan makam Ade Irma Suryani putra dari Jendral AH Nasution yang gagal diculik PKI.

Ke arah Utara bisa menembus jalan Bangka Raya dekat dengan gedung AKA (dulu Kantor Suara Karya). Dari Bangka raya bisa ketemu pasar dan menuju Selatan ke arah Kemang. Kompleks elite yang dulu terkenal banyak galeri seni dan rumah-rumah orang asing (ekspatriat).

Menuju ke Jalan Bangka harus melewati jalan tikus berkelok-kelok, kalau mau cepat dan singkat harus hapal gang tikus yang hanya cukup sebadan orang sampai menyusur kali Krukut sebagai batas antara Petogogan dan jalan Bangka. Ke jalan Bangka harus melewati jembatan dan jalan gang kecil kurang lebih 200 meter. Ada dua jalan,  lurus atau menyusur jalan kecil yang menghubungkan pasar Bangka. Sudah gangnya kecil harus melewati jalan yang kanan kirinya adalah para pedagang yang menjual berbagai macam bumbu dapur, dan sembako.

Gang tikus itu hanya ilustrasi dan sebuah analogi untuk menggambarkan betapa kecilnya jalan. Saya sudah lama tidak lewat di situ sudah lebih dari 15 tahun, mungkin sudah bagus dan rapi, zaman saya masih tinggal di situ pengaturan gangnya benar-benar luar biasa kacau, banyak rumah yang kondisinya memprihatinkan saking seringnya banjir. Perkampungan dan sungai dulu lebih tinggi sungainya jadi kalau ada banjir kiriman dipastikan  Petogogan menjadi langganan banjir, bahkan pernah siang-siang cuaca cerah, sontak riuh dan orang-orang segera mengungsikan motor gara-gara tanpa tanda-tanda air sudah masuk ke gang-gang.

Ke arah Barat menuju jalan Raya Tendean. Keluar Petogogan menyusur perumahan Wijaya Timur Raya (Di sini pernah berpapasan dengan Tukul Arwana yang belum begitu terkenal saat itu, ia sering nongkrong bersama komunitas vespa antara Petogogan dan Wijaya Timur). Perumahan ini juga tidak luput kena terjangan banjir. Kalau ke Wijaya Timur saya biasanya akan melewati Sekolah SMP Tarakanita 2 yang letaknya ada di pinggiran jalan Raya Pierre Tendean. Dari situ bisa naik bus jurusan Blok M - Kelapa Gading (dulu).

Ke atas Petogogan langkah saya tertuju ke Blok M melewati PTIK Jalan Iskandarsyah menuju pusat perbelanjaan Blok M. Dari Blok M tinggal memilih menuju ke mana saja bisa.itulah pengalaman saya ketika pernah tinggal di Petogogan, hampir semua jalan tikus pernah saya jelajahi. Baik jalan kaki, bersepeda maupun naik motor. Di bawah jalan Wijaya ada kampung Bedeng yang benar-benar hanya bisa dilewati jalan setapak, rumah semi permanen yang banyak dihuni pekerja, kuli dan karyawan, serta pelayan toko kawasan Blok M. Melewati Bedeng itu suasana benar-benar riuh oleh emak-emak yang sedang mencuci baju di depan deretan gang penuh barang, baik motor, jemuran baju, kamar mandi umum, tempat cuci bersama, warung kecil, toko kelontong dan juga warung makan yang menyatu dengan rumah-rumah berlantai dua yang dipenuhi jemuran baju, serta musik yang hingar terutama musik dangdut. Gang yang lebih dikenal bedeng itu mungkin menjadi kampung deret, dan dulu diatasnya banyak kafe dan tempat dugem yang berderet sekitar Jalan Wijaya I.

Saat banjir besar dulu gang sempit itu jadi mirip dengan selokan-selokan penuh air. Rumah-rumah terendam dan selalu dan selalu menjadi yang lebih dulu terkena banjir.

Sehabis banjir besar saya memutuskan pindah dan nge kost jauh dari kota. Diajak teman saya ngekost di Cimanggis Depok. Perkampungannya berada tepat di atas perumahan bukit Cengkeh Kelapa Dua, Cimanggis Depok Jawa Barat. Perkampungannya memang bebas banjir tetapi perumahan Bukit Cengkeh sering banjir juga karena posisinya ada di bawah. Kalau ingin ke Jalan Raya Bogor tinggal menyusuri jalan agak sempit, menanjak menuju ke Jalan Raya Bogor dekat dengan pusat perbelanjaan Cimanggis Plaza.

Jadi bisa di katakan jalan-jalan di sekitar Jakarta Selatan, Sampai ke Kelapa Dua Depok pernah saya jelajahi. Dan yang masih hapal khususnya di Petogogan Jakarta Selatan.

Lokasi Strategis Meski Banjir Ogah Pindah?

Apa sih menariknya gang sempit tersebut. Saya melihat dan merasakan  di gang sempit perkampungan kota itu cerminan masyarakat yang harus berjuang untuk bisa bertahan di tengah kejamnya kota kalau tidak tekun bekerja. Mereka yang tinggal di gang sempit itu bukan berarti miskin, mereka mungkin punya mobil. Namun kebanyakan perekonomian warga yang ada di gang sempit, adalah masyarakat menengah ke bawah. Ada keengganan pindah karena menganggap bahwa meskipun lokasinya rawan banjir, tidak nyaman dilalui kendaraan namun lokasi yang ditinggali sangat strategis. 

Makanya meskipun selalu diterjang banjir mereka yang punya rumah di gang sempit Petogogan enggan pindah, karena ke mana-mana gampang. Meskipun cenderung berisik saat ada yang menyetel musik keras-keras atau banyaknya emak-emak yang sambil mencari uban mereka bergunjing tentang tetangganya. Yang tinggal di gang sempit itu ada beragam pekerjaan yang mendominasi, seperti buruh pabrik, cleaning servis, pelayan toko Blok M, guru, karyawan kantor di pusat kota, yang setiap harinya menjadi penghuni perkantoran sekitar Jakarta Selatan dan Pusat. Ada juga yang memilih jalan kaki sedikit menuju Jalan Seperti P Tendean dengan tujuan Jakarta Timur seperti Pulo Gadung, Jatinegara, Kelapa Gading (Jakarta Utara) atau ke Kuningan.

Gang- gang sempit itu menyimpan kenangan getir, senang, sedih,kekacauan rutin saat banjir, tapak-tapak kaki yang tidak lelah menapak, melewati setapak. Bisa saja dalam perjalanan ketemu tikus got yang tiba-tiba nyelonong dan ular yang dengan tergesa memotong jalan, dari sudut sempit belakang rumah yang saling berpunggungan. Got-got bau, amis, anyir serta tiba-tiba berasap karena ada yang membangkar sampah, hingga muncul polusi. Gang-gang ada yang terang namun ada yang penerangannya minim, Sesaat menyusur jalan sering melihat ada anak muda tanpa gairah matanya kosong seperti sedang sakau, ia bisa saja agresif ketika yang lewat kebetulan perempuan cantik, mereka mencoba merayu,matanya tampak mencekung dengan warna kehitam-hitaman. Dari gang-gang itu bisa muncul bandar judi, bandar narkoba, penadah barang curian, serta emak-emak yang gemar bergosip ria.

Bisa saja terkaget-kaget mendengar suami istri bertengkar, melempar baju, centong atau gelas. Beberapa anak sudah siap jalan memakai baju lusuh, pergi ke Jalan ramai untuk mencari uang dengan meminta belas kasihan orang. Warung  Mie rebus dan kopi sachet ada di setiap sudut gang atau tengah-tengah gang sempit, dan selalu terdengar suara-suara pedagang yang menawarkan dagangan dengan cara unik.

"Nyakkkkkk" dengan suara melengking khas tanda pedagang minyak tanah lewat (mungkin sekarang tidak ada lagi). Itulah sedikit cerita dari banyaknya pengalaman melewati gang sempit di seputar Jakarta. Kalau menuliskan lengkap bisa seminggu belum kelarrr hahaha...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun