Sarmin senang sekali bisa jalan-jalan di pantai. Sudah terbayang-bayang ia melihat ombak dan hamparan pasir. Sudah terngiang-ngiang suara angin kencang menerpa kupingnya, sudah pengin merasakan lengketnya udara yang membuat lengket badan oleh keringat yang mengandung garam.
Ia ingat dulu ketika bermain-main dengan ombak, berlari ke pinggir ketika ada ombak besar sebesar rumah hendak menerjangnya, tergopoh-gopoh takut tergulung ombak besar. Kalau masalah ombak sebenarnya tidak masalah ia terjang, tapi banyak cerita ngeri mendengung ditelinganya bahwa ombak di sini itu tidak kenal ampun, ketika tergulung dan mereka seperti tersedot oleh pusaran ombak itu. Seperti sedang ditarik ke sebuah dunia dengan dominasi warna hijau dan muncul banyak dayang-dayang cantik dengan kedipan mata genit membuat para pemuda penikmat pantai terbuai oleh senyumannya dan akhirnya tergoda mendekat dan akhirnya lenyap tertelan ombak.
Begitulah hampir setiap minggu selalu ada korban, meskipun pengunjung baik laki-laki dan perempuan tidak pernah bosan bermain ombak. Sarmin, menghela nafas, duduk dan menikmati deburan dari jauh, ia hanya menikmati gulungan rumput tertiup angin sambil melihat sekeliling. Di belakangnya ada gurun pasir, ia mencoba membayangkan apakah sama dengan gurun yang ada di Arab atau gurun yang diceritakan guru agamanya.
Angin telah membentuk gurun pasir itu demikian artistiknya. Ia ingin melihat apakah ada makhluk di situ.
Seperti halimun, muncul halusinasi dari seberang gurun pasir, seorang lelaki dengan celana hitam pendek. Tanpa baju, menampakkan dada bidangnya dan otot otot yang menonjol. Tapi wajahnya masih berkabut, seperti berkaca, silau terkena cahaya dari belakang. Ia mendekat, lalu tertunduk. Duduk ditengah gundukan gurun. Sarmin mengucek- ucek matanya dan mencoba mendekat, siapakah lelaki itu.
Ia melihat lelaki itu duduk dan terus merunduk lama. Ia seperti tengah asyik dengan guratan-guratan pasir yang dilukis angin pantai rupanya.
"Aku seperti melihat satria muncul dari balik gurun, entah itu Wiro Sableng, atau Jaka Sembung. Melihat perawakannya sih ia Jaka Sembung, karena mirip dengan Barry Prima, tetapi kalau diperhatikan wajahnya kok mukanya kocak seperi Ken Ken."
Sarmin ngobrol sendiri, menebak-nebak siapa sebenarnya laki-laki yang ada di puntuk gurun itu. Ketika matahari tidak lagi silau karena beringsut di balik awan, ia bisa memperhatikan dengan seksama wajah laki-laki itu. Tersenyum sendiri tertawa sendiri. Kakinya bergeser, lalu tiba-tiba melompat dan kemudian kembali duduk kemudian berjongkok. Pada adegan berikutnya ia melihat lelaki itu rebahan, lalu menelungkup sambil matanya tetap konsentrasi melihat sesuatu yang bergerak. Tiba tiba saja lelaki itu terbahak-bahak, lalu mulutnya komat-kamit tidak jelas. Sarmin menepok mukanya.
"Ini yang gila aku atau dia ya, aku di sini ngobrol sendiri, dia kok jadi mirip aktor yang sedang melakukan adegan monolog, Aku jadi ingat bertahun-tahun lalu saat latihan teater. Ya tepat di sini. Pelatihku menginstruksikan untuk teriak sekencang-kencangnya sambil memperagakan beberapa adegan saat sedih, senang dan marah. Boleh teriak sekeras-kerasnya namun harus memperhatikan olah nafas yang harus dikuasai aktor teater untuk bisa lantang bersuara dengan suara dada dan suara perut. Latihan diafragma, latihan karakter.
Di samping tepat malam jam 12 harus sudah ada di pinggiran pantai merasakan perubahan suasana dari malam ke pagi. Pemain harus merasakan dengan mata hati, mata jiwa untuk melihat fenomena alam perubahan alam dari malam ke pagi tepat jam 12 malam.
"Saya sendiri masih heran dulu kok mau-maunya diperintah oleh pelatih kentir, merasakan keanehan alam. Orang teater memang ada-ada saja sih."
Kembali Sarmin memperhatikan Lelaki berbadan tegap itu.
"Ya barangkali ia memang sedang latihan teater di situ, biasa khan tempat ini dijadikan gladi bagi orang-orang yang ingin mendalami peran. Kalau bertingkah edan memang siapa yang memperhatikan, paling semut, eh kerang-kerang yang merambat pelan di pantai saja."
Saking penasarannya Sarmin maju, ia pengin melihat apa sih yang dikerjakan orang itu. Dengan berat Sarmin menapaki gurun pasir itu. Angin yang besar membuat tubuhnya bergoyang, pun terkadang terpeleset oleh pasir yang dipijak tiba-tiba runtuh. Ia melihat pasir seakan bergerak sendiri, kadang tanpa sadar beberapa butir pasir masuk ke matanya, hingga ia perlu mengucek mata untuk memastikan butiran pasir terlempar dari pupil matanya. Kalau belum keluar rasanya ada yang mengganjal dan perih. Sarmin mengambil botol mineral, dan dituangkan air itu di matanya, supaya butiran pasir ikut terbawa air.
"Hups, berhasil. Perih juga sih terkena butiran pasir. Ingat butiran pasir ingat suara indah dari penyiar radio zaman rikiplik 'butir-butir pasir di laut bersama John Simamora coba ingat-ingat ya pemirsa radio zaman dulu. Hehehe."
Sarmin mendekat dan berhasil berdiri dekat Lelaki itu. Lalu ia mencoba bertanya, meskipun agak sedikit takut juga jika tiba-tiba laki-laki itu memelototi dirinya. Tapi kemudian Sarmin seperti terlihat masa bodoh.
"Ki sanak apa yang sedang kau lakukan."(Ki sanak;seperti dialog dari cerita silat saja)
Lelaki itu menjawab." Eh, memangnya aku pendekar silat kamu panggil kisanak."
"Santai, santai mas bro, lalu saya panggil apa, mas, kang, Mas bro, atau Dab."
"Panggil saja namaku."
"Lah khan aku belum tahu namamu?"
"Semua orang di sini juga tahu."
"Kalau aku tahu, dari tadi saya panggil namu pe..."
"Kau mau panggil apa hayo... mau bilang pekok khan."
"Enggak aku mau memanggilmu pemuda weeee...."
"Semprul!!!"
Laki-laki itu lalu menunjukkan hewan kecil di depannya.
"Kau tahu namanya apa...?"
" We la ya tahu itu kadal."
"Nah, ingat ini kadal yang sebenarnya, ini kadal gurun, disingkat kadrun."
"Tapi kenapa tadi kau ajak ngobrol, dari jauh seperti orang ndleming sendiri, kaya orang..."
"Orang kentir khan. Itu pasti yang mau kamu ucapkan."
"Lha itu kamu tahu."
"Saya sudah cukup akrab dengan kadal gurun ini. Tapi suka trenyuh dan mesakake alias kasian jadi sering dibicarakan di media sosial. Sering disebut dalam banyak diskusi."
"O, jadi ini to sebenarnya wajah asli kadrun. Kok hitam..."
"Namanya kepanasan ya hitam mas Bro.."
"Namaku Sarmin."
"Oh ya dari tadi belum sebut namaku ya... perkenalkan namaku Badrun."
"We lah kok ya kebetulan dengan isu ramai hari- hari ini."
"Isunya apa?"
"Ternyata Badrun itu temannya kadrun. Hahahaha...?"
Giliran Badrun yang bengong.
Tamat.
Citra Indah City Jonggol.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H