Di masa pandemi ini guru benar-benar diuji, terutama komitmen untuk belajar menghadapi perkembangan digital. Era digital telah membuat guru terutama yang sudah cukup senior dari segi senior tertatih-tatih dalam memahami bahasa aplikasi dan perintah di software komputer.Â
Rumus-rumus excel, operasi photoshop, efektivitas perintah di microsoft word. Muncul lagi mode penyimpanan file di Google form, google side, dan juga link tree. Ketika pembelajaran memakai google meet, zoom. Guru mempelajari bagaimana menggunakan share screen untuk menampilkan power point atau video di layar siswanya.
Guru dan Semangat Belajar Era Digital
Pemaksaan, tekanan, tuntutan, keharusan untuk selalu belajar, membuat guru tetap harus menyalakan lentera yang terus menyala untuk belajar, belajar dan belajar.Â
Kalau guru gaptek bagaimana mendorong siswa menjadi lebih maju, apakah siswa tidak semakin pesimis terhadap kemampuan memahami bahasa digital sementara dengan perkembangan zaman mau tidak mau manusia harus selalu berubah menjadi lebih baik, belajar lebih tekun dan memaksa diri mencoba keluar dari zona nyaman.
Pembelajaran sepanjang hayat adalah kesadaran positif dari manusia untuk selalu merasa penasaran, merasa harus memaksa belajar supaya tidak terlalu pontang-panting menghadapi kemajuan zaman yang bergerak sangat cepat.Â
Anak-anak di generasi Z mungkin tidak akan banyak kesulitan menangkap bahasa pemrograman komputer dan simbol-simbol operasional di perangkat digital, berbeda dengan orang tua yang cenderung ogah dipaksa untuk memahami bagaimana menerima, mengetik pesan di WA atau sekadar SMS. Apalagi harus mempelajari cara membuat grup WA, menjadi admin grup dan mengirim pesan dan ngobrol menghidupkan video call.
"Bodo amat, Nenek tidak mau belajar, sudah tua ngapain repot-repot lagi belajar, tinggal minta bantuan cucu saat nilpon kalian anak-anakku?"
"Tapi, sekarang nenek mau tidak mau harus belajar paling tidak bagaimana membuka HP, lalu mengirim dan memencet layar sentuh untuk menerima video call dari kita."
"Ah, pusing, sudah males belajar."
Sebagai guru males, pusing, bikin repot saja, perlu dihindari. Sebaliknya guru harus ditumbuhkan "ilmu kepo". Selalu penasaran pada perkembangan teknologi terbaru, meskipun susah dan sangat lamban dalam memahami bahasa programnya. Paling tidak jika ada semangat untuk belajar sepanjang hayat, maka se senior apapun usianya ia masih merasa harus belajar, belajar dan belajar.
Belajar bukan hanya karena tuntutan pekerjaan, bukan karena tidak ingin malu pada anak dan siswanya. Namanya guru yang dulu dianggap sebagai sumber ilmu, lumbung ilmu dan sosok yang berjasa mencerdaskan bangsa, harus tetap mempunyai standar semangat belajar tinggi hingga tidak boleh terlalu gaptek.
Guru digugu dan ditiru begitulah pengetahuan yang pernah diterima turun-temurun. Jangan malah digiring ke asumsi guru, wagu tur kuru: guru, Tidak luwes tambah lagi kurus. Tidak luwes karena banyak guru yang malas belajar dan kaku dalam prinsip, terus penampilan yang cenderung flat, tanpa polesan dan kurang modis. Kuru atau kurus karena gaji dan kesejahteraan cenderung kurang dibanding dengan profesi lain seumpama bankir, artis, birokrat, manager, apalagi CEO.
Guru sebagai Fasilitator dan Motivator
Dalam meletakkan pondasi pembelajaran peran guru dulu amat vital, sekarang sebetulnya masih, namun fungsi dan kedudukan guru cukup bergeser. Guru tidak lagi narasumber utama, terutama di sekolah menengah. Peran guru sekarang bergeser menjadi fasilitator, dan juga menjadi motivator.