Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Imlek, Kasih Sayang dan Berita "Ngeri"Lunturnya Kemanusiaan

1 Februari 2022   07:30 Diperbarui: 1 Februari 2022   07:32 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai sebuah tradisi, perayaan tahun baru China atau yang biasa disebut dengan Imlek dan ucapan fenomenal Gong Xi Fa Cai sudah dikenal sejak dahulu kala, tetapi baru meriah di Indonesia sejak zaman Gusdur(Abdurrahman Wahid. Gusdur yang membuka kebebasan merayakan Imlek bagi saudara-saudara yang berdarah Tionghoa. Lampion, semburat warna merah dan kuning keemasan untuk menandai pergantian tahun China. Di mana-mana terutama anak-anak menunggu imlek, melakukan kumpul dan silaturahmi keluarga. Ada hio ada, lilin ada doa bersama khas keturunan yang menandai dan menyambut tahun baru yang biasanya jatuh sekitar bulan Januari dan Februari. Tahun ini jatuh di tanggal 1 Februari 2022.

Sebagai "tetangga" dan banyak teman sekantor dan yayasan yang merayakan Imlek, saya mengucapkan Gong Xi Fa Cai, semoga Kemakmuran menaungi hidup anda. Gong Hei Fat Choi (kanton), Semoga tahun ini kita semua mendapatkan kemakmuran dan kekayaan.

Masyarakat Mudah Emosi, Korban Tewas Berjatuhan

Perayaan Imlek semoga menambah akrab persaudaraan menjauhkan sikap-sikap yang membuat saudara, tetangga, teman-teman saling berantem. Sebab dalam beberapa informasi berita akhir-akhir ini sering mendengar provokasi di mana ada korban dari tragedi kemanusiaan yang fatal akibatnya. Misalnya ada korban tewas yaitu orang tua yang secara sengaja diteriaki maling lantas secara spontan ada masa di dekatnya yang tanpa pikir panjang terus menyerbu orang yang disangka maling dan menghajarnya sampai tewas.

Yang terjadi masyarakat saat ini begitu sering mudah terbakar emosinya, hanya karena ada kata-kata provokatif sedikit lantas meluapkan emosinya. Mereka tidak berpikir dahulu apa benar yang ia dengan, apa tidak dilihat dulu masalahnya. Yang dikatakan maling belum tentu salah, malah kadang salah sasaran. Yang teriak maling sebenarnya adalah malingnya tetapi yang kena imbasnya malah orang lain.

Seorang tersangka di daerah Jalan Pulo Kambing Raya, kawasan Industri Pulogadung, Cakung, Jakarta Timur(Minggu/23/1/2022)dini hari mengaku berteriak "maling"ketika ia tersenggol mobil korban tersebut. Teriakan itu lantas mengundah amarah masa hingga kakek berusai 89 tewas kena amukan masa. Sekitar 13 tersangka pengeroyokan diamankan polisi.

Gara gara teriakan maling seorang kakek tewas (megapolitan.kompas.com)
Gara gara teriakan maling seorang kakek tewas (megapolitan.kompas.com)

Tewasnya kakek itu ironis. Masyarakat begitu mudahnya terprovokasi oleh kata maling sehingga otomatis, naluri bar-barnya lantas spontan muncul dan menghajar tanpa ampun manusia lain yang belum tentu salah. Banyak kejadian muncul dari lunturnya kemanusiaan. Di tengah munculnya isu politik, kenaikan harga bahan pokok dan meningkatnya virus covid terutama varian omicron.

Manusia menjadi latah, mudah terbakar, mudah marah, dan ingin melampiaskan kemarahan meskipun sebenarnya kalau berpikir dengan akal sehat, dengar dulu dan lihat dengan pikiran jernih, apakah suara- suara provokatif itu benar-benar muncul dari orang yang benar-benar menjadi korban apapun apakah tersenggol, terjambret, ada barang yang dicuri.

Covid-19 dan Guncangnya Perekonomian Membuat Masyarakat Gampang Terprovokasi

Jika fenomena suara teriakan provokatif itu lantas menjadi budaya bagaimana nasib bangsa ini selanjutnya. Dulu orang mengenal Indonesia sebagai negara ramah dan sopan santun, saat ini karena persoalan ekonomi dan kasus covid-19 yang tidak kunjung reda semakin banyak masyarakat yang brutal. Rasa kemanusiaan luntur dan banyak korban tidak berdaya tanpa tahu kesalahannya apa.

Ketika banyak kasus hukum yang tidak mencerminkan keadilan maka dalam masyarakat seringkali muncul gejolak, ini adalah fenomena sosial, penyakit masyarakat terutama di perkotaan di mana peradaban sudah meluntur dengan banyaknya kaum urban, pendatang, multietnis yang mempunyai tujuan ingin sejahtera dan makmur dengan merantau ke kota besar.

Namun harapan kadang tinggal harapan, ketika banyak pekerja, banyak manusia yang berharap banyak pada munculnya rejeki kota, tetapi tidak semua khayalan dan bayangan itu nyata. Nyatanya ada yang akhirnya hidupnya mengenaskan, ada yang hidup di kolong, pekerjaannya mencari rongsokan, mengamen dengan modal kecrekan yang terbuat dari bekas tutup botol, atau modal botol air mineral yang diisi beras. Masalah suara yang penting nyanyi, mau fals atau enak didengar itu perkara belakangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun