Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Nostalgia Naik KRL: Menggelantung dan Hampir Terlindas Gara-gara Menyeberang

26 Januari 2022   14:06 Diperbarui: 27 Januari 2022   12:12 1913
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penumpang memadati atap gerbong kereta rel listrik (KRL) ekonomi Bogor-Jakarta yang melintas di kawasan Tanjung Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Selasa (26/3/2013).(KOMPAS/WAWAN H PRABOWO)

Sudah sekitar 18 tahun berlalu pengalaman naik KRL ketika masih kost di Cimanggis, sekitar perumahan Bukit Cengkeh Cimanggis Depok Jawa Barat. Kalau lelah naik motor ke Jakarta pusat, saya naik kereta dari stasiun UI ke Juanda. Pagi-pagi kereta rata-rata sudah penuh, orang-orang. Dari Bukit Cengkeh naik motor dan memarkir motor di stasiun UI. Karena repot setiap kali harus membeli tiket saya mengambil inisiatif untuk langganan satu bulan.

Naik Kereta Mengejar Waktu Nekat Duduk di Atap

Memang ada pikiran nakal sesekali tidak membayar tiket, karena melihat di setiap stasiun pengawasan tidak begitu ketat, masih bisa menyelusup dari pintu darurat untuk sampai ke stasiun, dari situ langsung berlarian ketika kereta sudah mulai berjalan. 

Situasi kereta benar-benar padat, berisik berdesak-desakan, dan jarang ada yang mau mengalah. 

Suasana itu selalu berlangsung pagi hari kala orang-orang terburu-buru menumpang kereta paling pagi menuju Jakarta. 

Biasanya kalau dari Stasiun UI hanya mendapat sisa dari stasiun sebelumnya; Stasiun Pondok Cina, Stasiun Depok Baru, Stasiun Depok Lama, Citayam. Yang enak sebetulnya Stasiun Bogor, karena mereka masih bisa mendapatkan tempat duduk.

Di stasiun Pondok Cina dan UI, orang nekat naik ke atas atap. Dengan heroik mereka berjalan dari gerbong ke gerbong lain. Benar-benar mengerikan. Kalau saya sih menamakan orang-orang itu konyol. 

Bayangkan betapa mengerikannya naik di atap, sudah banyak kejadian di mana mereka tersengat listrik, jatuh, dan akhirnya mati sia-sia. 

Hampir tiap hari entah di sekitar Pasar Minggu atau di dekat Stasiun Lenteng Agung melihat mayat yang hanya ditutupi koran di tepi rel kereta. Namun orang-orang tidak pernah kapok naik ke atap rel listrik tegangan tinggi tersebut. 

Saya naik dari Stasiun UI atau kadang lewat Stasiun Pondok Cina. Kalau dari Pondok Cina pulangnya tidak langsung ke kost, tetapi nongkrong dulu di danau UI atau di plaza yang berada di dekat stasiun yang hanya jalan kaki sekitar 100 sampai 200 meter. Dekat dengan jalan Margonda.

Menggelantung dan Hampir Jatuh

Dari stasiun UI, jalan kereta api saya merasakan agak miring, berbelok ke arah stasiun yang ada di depan Universitas Pancasila di Srengseng Sawah. 

Ketika naik dengan menggelantung pintu benar-benar sengsara, karena di samping harus berpegangan kuat pada besi yang ada di pinggir atas pintu, saya seperti merasakan menggelantung, kaki jinjit dengan posisi miring, kalau pegangan tidak kuat sudah pasti jatuh. 

Untung saja (begitulah orang sudah sengsara masih bilang untung), di Stasiun Srengseng itu ada beberapa penumpang turun, hingga bisa sedikit merangsek masuk. 

Sampai ke Lenteng Agung berkurang, Pasar Minggu semakin berkurang, dan di Stasiun Pasar Minggu Baru semakin berkurang, tetapi yang banyak itu di Stasiun Tebet, saya lantas bisa duduk karena penumpang sudah banyak yang turun.

Pernah merasakan menggelantung seperti ini (brilio.net)
Pernah merasakan menggelantung seperti ini (brilio.net)

Tujuan utama Stasiun Juanda. Herannya meskipun di gerbong sudah semakin sedikit orang, orang-orang yang ada di atap tetap tidak mau turun. 

Pernah melihat dari perlintasan antara Stasiun Gondangdia dan Gambir mereka berjalan dan sedikit berlarian dari gerbong ke gerbong. 

Wah betul-betul nekat tuh orang-orang, tidak sayang nyawa apa!

Pulang dari kerja sekitar jam 3 sore, saya biasanya naik dari Stasiun Juanda terus ke Stasiun Kota.

Dari Stasiun Kota, saya bisa memilih tempat duduk yang nyaman sampai ke Stasiun UI atau Pondok China.

Hampir Terlindas Gara-Gara Menyeberang Rel

Saya ingat kejadian yang sungguh tidak terlupakan. Pernah saya menyeberang rel di Stasiun UI, melewati grafel dan rel di bawah peron stasiun. Ingin cepat di seberang, dengan cepat melompat naik ke peron, tidak seberapa lama hanya dalam hitungan detik kereta melintas cepat.

Deg-deg serrr luar biasa, coba kalau saya terlambat, sudah jadi perkedel saya.

Ketika saya punya sepeda MTB atau sepeda gunung saya pernah bersepeda menuju Bogor dengan naik kereta. 

Dari stasiun, sepeda MTB itu masuk ke gerbong. Saya memilih gerbong belakang agar lega bisa memegang sepeda. 

Di sana bisa duduk bersama pedagang pisang, pedagang sayur-sayuran, pedagang buah-buahan, dan dihibur oleh pengamen yang berlalu lalang sepanjang gerbong. 

Untuk bersepeda, saya memilih sekitar jam 9 pagi agar penumpangnya tidak terlalu padat dan tidak sungkan bila bawa sepeda. Dari stasiun Bogor terus keliling ke Bogor naik sepeda.

Pernah hampir tertabrak KRL gara-gara menyeberang (wartakota.tribunnews.com)
Pernah hampir tertabrak KRL gara-gara menyeberang (wartakota.tribunnews.com)

Jujurly hehehe, saya tidak berani naik kereta di atas atap, di samping sayang pada diri sendiri memang rasanya konyol saja naik kereta di atap, lebih baik sedikit menunggu daripada nekat tanpa perhitungan naik ke atap. 

Penumpang kereta dulu benar-benar bandel, sudah banyak korban berjatuhan tetap saja tidak kapok.

Terakhir-terakhir, sebelum kereta api di pegang Ignasius Jonan, pernah ada alat agar kereta tidak bisa dinaiki orang, tapi di antara banyak orang itu, tetap saja nekat naik atap meskipun resikonya luka atau tergencet.

Benar-benar luar biasa penumpang kereta demi mendapat tumpangan gratis, malah rela mengorbankan diri sendiri.

Pengalaman Nekat Naik Kereta dengan Modal Nekat

Kalau diceritakan tentang KRL, berlembar-lembar tidak selesai, maka dalam artikel saya ini hanya saya pilih yang masih saya ingat dan benar-benar menjadi pengalaman luar biasa. 

Dulu sebelumnya sudah ada pengalaman ketika masih kuliah di Yogyakarta, naik kereta barang. 

Saya dengan satu teman duduk di sisi luar kereta barang di antara sambungan. Kami naik dari Stasiun Lempuyangan sampai ke Stasiun Slawi eh Kroya ding, hehehe kalau tidak salah. Pelan-pelan naik kereta barang dengan modal nekat. 

Dari Kroya kemudian naik kendaraan umum menuju Purwokerto. Dari Purwokerto naik ketika kereta sudah berjalan. 

Dalam istilah jawa nyengklak, artinya ketika kereta sudah jalan baru melompat masuk. 

Lalu duduk di tepi pintu atau dalam WC menghindari razia petugas tiket kereta karena modal nekat ya ke Jakarta hanya dengan modal nekat. 

Resikonya paling disuruh turun dan terkatung-katung di salah satu stasiun. Ternyata kami selamat sampai stasiun Jatinegara.

sekitar tahun 1993 pernah naik kereta barang dari Jogja ke Kroya (antaranews.com )
sekitar tahun 1993 pernah naik kereta barang dari Jogja ke Kroya (antaranews.com )

Ketahuan ketika dari Jatinegara ke Pasar Senen tidak bisa menunjukkan karcis, hingga akhirnya mengeluarkan kocek 5000 Rupiah. Ketiban sial juga. 

Pulang ke Jawa hanya bermodal uang 5000, kami merayu petugas peron lalu bisa naik di gerbong depan yang di dalamnya ada tempat tidur masinis dan berbagai barang seperti batubara, sampai di Stasiun Tugu Yogyakarta. Ini pengalaman lain sebagai intermezzo dari cerita tentang KRL Jabodetabek.

Pantas KAI Rugi La Wong...

Pengalaman naik KRL sungguh luar biasa. Dari sejarah masa lalu belajar bagaimana maklum jika KAI cenderung rugi, tidak pernah untung karena banyak penumpangnya nekat naik kendaraan rakyat murah meriah meskipun penuh resiko. 

Nyawa seperti barang tidak berharga jika naik KRL di atap; tersengat, jatuh, dan mayatnya cukup lama tergeletak hanya ditutupi koran di pinggir rel. 

Ganti Managemen dan Kenaikan Tarif KRL dan Commuterline

Sekarang dengan revolusi KRL dan adanya Commuterline, KAI mengalami kemajuan luar biasa. 

Managemen yang baik yang lahir sejak Ignasius Jonan mampu mengubah KAI dari alat transportasi rakyat murah meriah dengan segala karut marutnya menjadi BUMN yang terus semakin berkembang dengan pelayanan mirip di luar negeri. 

Kenyamanan diperhatikan, ada AC, tempat duduk nyaman meskipun di jam-jam padat tetap saja kelakuan penumpang masih menunjukkan sikap lama yang cenderung tidak sabar, buru-buru dan tidak disiplin dalam antrian.

Tetapi perubahan kereta itu membuat tiket menyesuaikan diri. Tidak bisa lagi nekat masuk karena di peron sudah dijaga ketat.

Kalau tidak punya tiket elektrik atau aplikasi, maka tidak bisa masuk, ditambah sekarang protokol kesehatan ketat harus menyertakan aplikasi pedulilindungi.

Untuk menjadi modern dan berperadaban memang harus ada biaya lebih untuk dikeluarkan. Saat ini ketika pelayanan sudah semakin baik ada wacana kenaikan tarif, bagi yang uang pas-pasan mungkin berat menerima perubahan, tapi jika mengingat pelayanan dan kenyamanan terjamin memang peningkatan biaya tidak terelakkan lagi. 

Asal memuaskan harga naik pasti akan tetap banyak penumpang yang naik. Memang ironis di tengah mahalnya sembako, langkanya minyak goreng, dan berbagai barang naik, moda transportasi juga naik.

Kadang masyarakat semakin menjerit juga, tetapi situasi ini dirasakan juga hampir seluruh negara-negara di dunia, terutama di negara berkembang.

Pengalaman naik KRL sungguh tidak terlupakan, semoga masih ingat beberapa cerita lain termasuk menikmati alunan lagu dari pengamen di Stasiun Bogor yang melihatnya bagai melihat konser musik gratis. Enak didengar dan menghibur, sayangnya sekarang sudah tidak ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun