Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Inilah Indonesia yang Sesungguhnya, Toleran dan Saling Menghargai

1 Januari 2022   09:29 Diperbarui: 1 Januari 2022   09:34 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
menu malam tahun baru buat kumpul dengan tetangga(dokpri)

Kadang konten YouTube, berita-berita di media digambarkan bahwa ada jarak yang memisahkan antara agama satu dengan yang lainnya. Saling melemparkan ujaran kebencian. Bahkan sering melihat tayangan khotbah yang menghujat dan menjelek-jelekkan agama lain. Hegemoni agama mayoritas terhadap minoritas. Muncul banyak aksi intoleran yang mencoreng dahsyatkan ideologi Pancasila. Namun gambaran-gambaran mengerikan tidak selamanya sama dengan dunia nyata dalam pergaulan dengan tetangga.

Saya kebetulan Kristiani, amat respek dengan relasi dengan tetangga. Sebagai tetangga baru di sebuah perumahan di Jonggol (Citra Indah City), kami sekeluarga diundang makan-makan merayakan malam menjelang tahun baru. 

Sudah tergelar berbagai makanan, mulai dari ingkung ayam kampung, sate ayam, kopi, teh, minuman bersoda. pempek dan segala rupa tergantung tetangga berasal dari mana.

Kami ngobrol seingatnya mengenang kampung halaman, kebiasaan kebiasaan keluarga dan menyinggung budaya masa lalu. Tampak lepas tanpa sekat. 

Agama kami boleh beda tapi ketika saling menyapa dan bersama menikmati pesta tidak ada secuilpun menyinggung agama. Bahkan mereka sangat mengapresiasi ketika kami menceritakan tentang Natal sesuai iman dan kepercayaan kami sebagai penganut Katolik.

Beda Media Sosial dan Kenyataan

Pada hakikatnya fanatisme yang muncul di media sosial dan sangat ramai jika sudah membahas dan saling sindir, saling memunculkan bola panas bahwa ada banyak masalah menyangkut perbedaan agama. 

Pada kenyataannya saudara yang muslim yang selalu rajin Sholat lima waktu, rajin tahajud, rajin puasa dan mengaji adalah orang-orang yang mampu membedakan mana fanatik beragama dan sangat biasa bergaul meskipun beda agama.

Ternyata masih banyak orang yang toleran dan saling respek. Sebab menjalani ibadah agama adalah masalah pribadi dan kehidupan bertetangga adalah sisi lain. 

Tidak ada jarak dan kami gembira karena semalaman merayakan tahun baru dan menikmati kembang api di luar adalah sebuah gambaran bahwa sesungguhnya Indonesia masih boleh tersenyum. Masih banyak orang- orang yang menghargai sesama, bergaul tanpa jarak meskipun beda agama.

Tidak perlu harus bicara toleransi dalam bertetangga. Sebab dalam kenyataannya saat berkumpul dan saling bicara dalam sebuah pertemuan kebersamaan itu bisa memberi tolok ukur bahwa Indonesia baik-baik saja. 

Kalau ada yang fanatik, menganut paham radikal itu hanya segelintir orang yang ingin membuat gaduh. Masalah agama adalah masalah pribadi masing-masing. Sebagai tetangga tidak perlu menonjolkan diri dalam hal bagaimana harus taat beragama.

Malah, kadang jika termakan isu murahan di luaran yang menggambarkan betapa mengerikan tingkat toleransi Indonesia seperti yang terlihat pada konten-konten yang dibuat pegiat media sosial, mereka ternyata hanya mencari sensasi dengan tujuan mengadu domba. 

Tidak harus percaya sebab pada kenyataannya dalam kehidupan bertetangga saling menghargai dan saling bekerja sama jauh lebih indah daripada menjaga jarak hanya karena perbedaan agama.

Dalam beragama boleh fanatis dan kuat menjalankan akidah dan ajaran agama tetapi menjadi warga masyarakat  tidak mempermasalahkan perbedaan agama wajib hukumnya. 

Kalau ada pemuka agama yang berusaha mempertajam perbedaan ya dengarkan saja, ambil sisi baiknya dan buang sisi buruknya. Kalau ada yang menggebu- gebu membuat kegaduhan dengan melakukan upaya masih dengan melontarkan ujaran kebencian, biar saja. 

Tetapi jauh lebih indah saling respek dan bekerja sama sebab akan lebih nyaman minta tolong pada tetangga jika pikiran-pikiran bersih muncul dari pergaulan langsung.

Sebetulnya manusia selalu butuh orang lain, butuh bekerja sama, sebab aslinya ada saling ketergantungan antar manusia satu dengan yang lainnya. Manusia itu makhluk sosial, tanpa orang lain manusia tidaklah siapa-siapa. Jadi jika bertetangga menutup diri karena merasa beda maka tidak akan menguntungkan malah merugikan.

Belajar dari kumpul-kumpul saat tahun baru bersama tetangga, merayakan pergantian bersama, ngobrol dari utara sampai selatan, dari timur ke barat dalam suasana keakraban, dengan baju boleh gamis, kebarat- baratan dan tampak rupa latar belakang suku bangsa. 

Saat ngobrol yang terjadi adalah interaksi manusia sebagai makhluk sosial, saya kadang harus malu bahwa sering muncul praduga bahwa tetangga yang tampak kuat dalam beribadah, selalu berbaju rapat, memakai kerudung, memakai kupluk berciri agama tertentu ternyata adalah teman dan tetangga yang enak diajak bicara.

Mereka taat karena tuntutan agama tetapi dalam bertetangga adalah teman yang mampu memberi kenyamanan. Saling memberi dan mendengar bila ada keluhan.

Tampaknya saya akan selalu rindu melihat momen kebersamaan, apapun acaranya. Sebab di situ terukur bahwa sesungguhnya Indonesia masih bisa tenang.

Masih banyak mereka yang dengan tulus mengucapkan Natal, atau bisa menikmati makanan yang diantar saat bagi- bagi rejeki Natal. Semoga saja relasi antar tetangga apapun agamanya selalu memberi nilai- nilai kenyamanan.

Abaikan saja jika di media sosial muncul debat-debat yang mengarah pada relasi kasar dan saling serang, kalau bertetangga yang ngobrol yang ringan-ringan yang penting makanan muncul dan memberi kegembiraan bersama tanpa jarak. Tahun baru Semoga memberi harapan bahwa sesungguhnya Indonesia itu baik-baik saja, tidak seburuk rumor di luar tentang betapa renggangnya relasi kehidupan beragama. Dan semoga saja Badai Covid cepat berlalu. 

Sambut Tahun Baru dengan Saling Sapa

Sekarang adalah tahun baru masih banyak pekerjaan yang perlu penyempurnaan, masih banyak cita-cita yang belum teraih, masih banyak doa-doa dipanjatkan. 

Mungkin tahun 2021 lalu banyak peristiwa luar biasa yang memberi ujian bagi kehidupan, harus merasakan betapa menderitanya ketika terkena virus Covid, merasakan betapa beratnya ditipu oleh mafia tanah, dan harus berjibaku untuk lepas dari masalah. 

Betapa berat tantangan menghadapi hantaman pandemi yang membuat banyak sekali peristiwa pilu menyangkut teman, sahabat, tetangga, saudara. Kini tahun 2022 sudah di depan mata. Harus ada sebuah tekad agar kehidupan menjadi lebih baik, meskipun kehidupan tetaplah misteri namun optimisme harus terus dipupuk.

Mari Sambut Tahun 2022(kiaton.kontan.co.id)
Mari Sambut Tahun 2022(kiaton.kontan.co.id)

Relasi dengan tetangga terdekatpun diperkuat. Siapa tahu ada kerjasama yang bisa dilakukan untuk memperbaiki kehidupan tahun 2022 yang sedang dan akan ditapaki ini. Sekali lagi Selamat Tahun Baru 2022.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun