Hidup hakikatnya mengalir. Saat mengalir kehidupan tidak pernah lurus, selalu berkelok, berbelok, kadang harus mendaki, bersusah payah memanjat, demi mendapatkan jalan dan keluar dari kesulitan.Â
Suatu saat mendapatkan jalan mulus seperti jalan tol, kadang harus keluar dan mendapati perjalanan penuh terjal, berkelok dan bertabur onak duri. Dalam hal menjalani kehidupan berkelok dan menanjak, manusia sering mengeluh, sering iri pada keberuntungan orang lain.
Padahal kita tidak tahu bahwa dalam kebahagiaan hidup tetangga atau orang yang dilihatnya, mereka sudah melewati jalan terjal sebelumnya yang tidak kita ketahui. Demikianlah analogi saya tatkala mencoba menulis tentang suka duka, jatuh bangun hidup bersama di rumah besar Kompasiana.
Sebetulnya kalau menggambarkan hidup di kompasiana pernah terhempas begitu dalam juga tidak, semuanya sedang-sedang saja. Bahkan banyak teman jauh lebih terpuruk ketika akhirnya tulisan disuspensi, tulisan dibreidel dan akhirnya menghilang bersama akunnya diblacklist. Woow, itu pasti menderita sekali. Mungkin karena ada Kompasianer yang sengaja menantang diri, menulis konten yang melanggar ketentuan Kompasiana. Kalau saya sih, hampir tidak pernah. Hanya pernah merasa kehilangan view ketika ada penyegaran atau istilahnya pembaharuan konten platform blog Kompasiana sekitar tahun 2015.
Seingat saya view tulisan saya dulu cukup banyak, beratus-ratus, sampai ribuan, tetapi ketika ada pembaruan sistem dan data pembaca menghilang, maka tulisan-tulisan saya seperti kembali ke titik nol. Di tahun itu saya seperti menjadi anggota baru, meskipun koleksi artikel saya tercatat dari Januari 2010. Ya mungkin salah saya sendiri, selama beberapa tahun saya memang sempat menghilang,hanya sesekali menjadi silent rider. Waktu itu saya tetap aktif  menulis hanya di blog saya sendiri dan platform blog lain. Saya kembali menulis dan mencoba konsisten hingga bertahan sampai saat ini.
Kalau dihitung tulisan saya sudah melebihi seribu tepatnya 1231. Coba kalau itu  hasil karya di koran pasti sudah luar biasa. Tapi pencapaian saya di Kompasiana itu bagi saya biasa saja, apalagi dibandingkan dengan Pak Tjipta, Susy Haryawan, belum apa- apa. Saya masih dikelas penjelajah dan konsisten di peringkat 60 sampai 100. Tahun 2021 ini peringkatnya 74. Bagi penulis dengan hasrat prestasi terus terang pencapaian saya biasa saja, tapi saya tetap bersyukur tetap bisa menulis. Paling tidak ada beberapa tulisan yang bisa memberi inspirasi buat pembaca.
Apakah tantangan terberat menulis selama di Kompasiana? Bagi saya mungkin ironis, sebab  belum pernah mendapat award atau semacam prestasi menjadi juara atau mendapat gift atau hadiah dari Kompasiana. Kalau dari resensi untuk Kang Pepih Nugraha pernah mendapatkannya.  Banyak kompasianer pendatang yang begitu datang, aktif, selalu langganan menang dalam lomba menulis.Â
 Kenapa bisa bertahan sedangkan hidup bersama di Kompasiana tidak mulus-mulus amat. Ya kesetiaan menulis itu kuncinya adalah bukan pada ambisi menang atau menjadi yang ter. Kesetiaan bertahan di kompasiana semata-mata karena dibayar atau tidak dibayar letak kepuasan menulis adalah ketika tulisan mendapatkan apresiasi, lebih masuk dalam tulisan pilihan, populer bahkan sering mendapat ganjaran Headline.Â
Kadang sebagai manusia  gampang nglokro jika dalam banyak usaha ternyata belum mendapat penghargaan setimpal. Itu penyakit manusia. Pada hakikatnya manusia itu senang dipuji, senang diberi hadiah atas prestasinya, atau senang disanjung hingga merasa besar kepala dan melambung.
Begitu juga saya sebagai anggota kompasiana. Secara tidak langsung kami ikut besar bersama kompasiana. Sumbangan ribuan tulisan itu meskipun hanya sepersekian dari ribuan bahkan jutaan tulisan dan artikel yang terpublikasi tetaplah punya manfaat. Sampai saat ini saya masih sabar, dan terus aktif meskipun tidak bisa lagi rutin menulis sepanjang hari tanpa jeda. Ya ketika sekolah sibuk dan banyak pekerjaan, tentu prioritas utama adalah mengajar dan memenuhi kewajiban pada institusi yang menggaji. Kompasiana menjadi prioritas kedua karena saya bukanlah jurnalis yang digaji dan harus tunduk pada target menulis.
Saat rajin menulis dalam 30 hari bisa menulis lebih dari 30. Tapi ada yang satu bulan hanya 4 artikel, bahkan absen sebulan penuh. Dulu ketika rajin mendapat K reward maka semacam ada target harus menulis untuk mendapatkan kesempatan menambah point hingga bisa menambah dan nombok kuota internet. Tapi saat ini, saya tidak terlalu bergantung apakah mendapat K-Reward atau hadiah lain.
Prioritas saat ini hanyalah menulis, menulis,dan menulis. Sebagai penulis amatir ya syukur mendapat reward, tapi tidak lantas putus asa bila tidak mendapatkan apa-apa dari kesenangan menulis. Kalau ada banyak waktu saya pasti menulis, tetapi bila  karena pekerjaan sedang penuh maka menulis di Kompasiana sementara libur ya tidak masalah. Santai saja.
Kecuali kalau nanti saya fokus bekerja sebagai penulis, entah freelance, atau bekerja di sebuah konten berbayar, saya akan menyediakan waktu khusus menulis, karena tanpa menulis maka asap dapur tidak ngebul. Sebagai penulis amatir tentu saja sudah senang ketika membuka profil dan tidak terasa bahwa dari sekian tahun gabung di Kompasiana sudah menghasilkan artikel yang jumlahnya sudah lebih dari 1000. Untuk seorang guru seperti saya itu bisa menjadi cerita manis, dan modal untuk memotivasi anak didik agar mempunyai semangat berkarya entah apapun bidang minatnya.
Saya bisa bercerita pada anak didik, inilah karya saya. Di antara kegiatan mengajar, menggambar atau melukis saya tetap rajin dan konsisten menulis, sombongnya nama saya gampang dicari gara-gara jejak artikel yang ada di mesin pencari.
Jadi Mas Bro, Â Sis, inilah pengalaman saya menulis di Kompasiana. Secara finansial memanglah tidak sebanding dengan pengeluaran, tapi pertemanan, ketemu para penulis keren pas acara kopdar, mengenal pribadi antar penulis kompasiana itu membuat saya kaya pengalaman.Â
Bayangkan bisa salaman dengan almarhum Jacob Oetama Fonder Gramedia Grup, bisa blusukan di kantor Kompas di Palmerah, bisa mengenal bagaimana meramu berita, membuat feature pada teman-teman yang rajin di Kompasiana dulu dan ternyata pernah bekerja sebagai wartawan di Hai, di Monitor, Pemred majalah misteri.
Ya Meskipun dulu di kampus pernah kursus jurnalistik, tetapi ketemu dan menyerap ilmu dari jurnalis berpengalaman semacam Mas Yon Bayu, Bang Isson Khoirul, Mbak Muthiah Alhasany itu sesuatu banget. Kalau ingat dulu ketika Kompasianer sering sekali kopdar, rasanya pengin membalik masa lalu. Tapi ya sudahlah karena hidup itu mengalir, penuh liku, jatuh bangun demikianlah  mengikuti Kompasiana itu rasanya seperti naik roller coaster. Ada saatnya di atas ada saatnya surut dan berada di bawah.Â
Semoga saja ke depan Kompasiana terus berbenah,belajar dan mendengar masukan dari para anggotanya. Senior dibuat nyaman, yang yunior dan baru gabungpun merasa tidak minder karena kita semua adalah sama. Semua berangkat dari kesenangan menulis dan selalu haus pengetahuan dan pengalaman baru. Mau ada artikel ketiga, entahlah mungkin nanti saja di tahun baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H