Tahukah arti batukku sayang. Itu sebuah kode untukmu  yang terpesona oleh drama dan web series di gawaimu. Sebetulnya aku ingin ngobrol, tentang daun mawar yang mulai mengering karena jarang disiram, daun pucuk merah yang mulai meranggas. Tapi kau terlalu asyik dengan segala pesona yang hadir dari gawai canggih itu.
Padahal aku sebetulnya ingin mengajak sesekali di kafe, duduk semenjana sambil menikmati rintik hujan senja hari. Kau lebih senang rebahan dengan ekspresi berubah-ubah. Akhirnya aku larut juga dalam kegiatan melupakan sepi. Menulis ya menulis, hanya itu dan terkadang menggambar sketsa hitam putih atau doodle.
Sementara kamu mengelus-elus layar gawaimu aku melupakan kesepian dengan menulis dan menggambar. Kita serasa aneh bukan, hidup dalam satu atap tetapi seperti memiliki dunia tersendiri. Aku akui jauh lebih gaptek dalam hal aplikasi dan juga proses cepat urusan bisnis. Â Seperti sedang terjebak dalam dunia yang bergerak secara cepat. Rasanya seperti melihat petir yang sedang menyambar pohon kelapa tepat hanya kurang lebih satu lemparan batu kerikil. Blarrrrrrrrr! Tiba-tiba dunia memutih dan suara menggelegar itu seperti merontokkan mentalku.
Aku jadi melihat dunia serasa berubah drastis sejak kejadian yang membuat persepsiku tentang dunia berubah. Semua tampak sunyi karena alunan musik hanya didengar melalui bluetooth. Dalam kuping kuping mereka terdengar hingar bingar sedangkan di luar kehidupan mereka begitu sunyi hanya sesekali terdengar suara burung berkicau, dari hembusan angin pelan.
Kalau semua akhirnya harus dibantu dengan teknologi canggih bagaimana aku harus ngobrol dari hati ke hati dengan tatapan penuh makna. Semuanya hilang karena dunia virtual telah memisahkan meskipun kesannya terasa dekat melalui kaca gawai.
Bagaimana bernostalgia mengirimkan surat dengan ditempeli perangko. Sudah langka kali mereka berkirim surat memakai perangko.
"Kalau jadi orang jangan udik- udik amat sayang, bukankan sudah ada WhatshAp, sudah ada aplikasi telegram."
" Tapi menulis itu adalah sebuah ungkapan jiwa dan seni. Kamu tidak tahu betapa kadar emosional tampak terasa ketika melihat goresan tulisan di kertas?"
"Telegram juga bisa, tik-tok juga bisa malah langsung terkirim, dan langsung dibaca. Tulis saja di kertas lalu upload gambarnya kirim hingga kekasihmu bisa melihatnya. Keuntungan lainnya kamu akan tambah viewer jika tulisanmu jadi viral."
"Duh, bukan itu maksudnya, sayang. Aku hanya ingin merasakan secara emosional lihat balasan surat dengan warna kertas atau goresan yang penuh rasa."
"Memang susah sih bergaul dengan kaum tua bangka, susah nyambung, zaman gini masih ada surat menyurat."
Nah itulah banyak tanggapan nyinyir hingga membuat semakin kesepian menyaksikan hingar bingar teknologi. Ini baru sekitar beberapa dasa warsa. Semua berlangsung cepat di kisaran tahun 2000. 2021 sampai 2045 apa yang terjadi? Akan banyak kaum rebahan yang malas bangkit dari sofa dan tempat duduknya. Mereka hanya berkutat pada gawai dan PC yang akan semakin dominan di rumah. Tidak perlu ramai dengan menyetel musik keras-keras. Dengan chip, Bluetooth musik tidak harus mengganggu ketertiban umum, cukup di dengar sampai gendang kuping sendiri, mau seharian sampai panas dengan battery HP tahan 24 jam penuh, sampai muntah juga tidak habis-habis.
Aku sudah merasakan betapa sepi rumah, tanpa musik tanpa hingar bingar anak yang bermain di luar rumah, main galasin atau petak umpet. Mereka lebih senang rebahan sambil memainkan game-game terbaru. Lalu bagaimana diriku yang gaptek, yang hanya mengandalkan pengetahuan pendek tentang aplikasi dan hanya tahu dari WA dan telegram yang semakin lama semakin jadul.
Lalu ke mana media sosial dulu, bagaimana SMS, bagaimana pager sebagai alat komunikasi, zaman dulu. Bisa jadi di tahun 2045 akan terjadi revolusi besar. Untuk bisa bertahan hidup tidak harus menghuni kantor, tidak harus punya gedung wah dengan maintenance yang amat mahal. Cukup membangun rumah yang terkoneksi internet, semua transaksi bisa dilakukan di rumah, semua pembelajaran tidak memerlukan ruangan luas, hanya perlu audio canggih dengan peralatan komputer yang bertera-tera bith untuk menampung memori yang banyak.
Tidak perlu beranjak hanya karena ingin membayar listrik dan laporan pajak. Dengan duduk, rebahan dan tiduran semua bisa dilakukan. Untuk tersenyumpun tidak harus mencari tempat khusus seperti gedung pertunjukan. Semuanya bisa dilakukan di rumah dengan berbagi aplikasi canggih yang mampu menampilkan film-film lokal maupun internasional. Korea, Jepang, Amerika, tidaklah jauh. Sekali membuka layar gawai siapa saja bisa menyaksikan secara virtual gang-gang di negara yang dulu harus ditempuh dengan perjalanan berhari-hari. Sekarang dengan satu dua sentuhan, kamu bisa terbang ke mana saja dibelahan bumi sambil seruput kopi dan menikmati bubur kacang merah dari layanan antar pesanan makanan lewang daring.
Belajar tidak perlu onsite, mau pilih sinkronus atau asinkronus. Mau dengan konvensional atau dengan permainan kuisis dengan aplikasi yang bisa memastikan seberapa skormu dengan cepat ketika bisa menjawab pertanyaan dengan amat presisi. Jadi fix zaman modern itu yang susah tidak perlu dibuat lebih susah lagi, kalau semua bisa dipermudah dengan adanya gawai mengapa mesti susah dengan cara manual. Zaman kuno, hello.... Ini bukan zaman batu atau zaman yang masih mengandalkan kaki untuk menjejak dan tangan untuk mengangkat beban berat. Cukup sehatkan jarimu, jempolmu dan pastikan kecepatan ketikanmu diperbaiki untuk bisa membuat semuanya bisa berjalan cepat dan tepat
Sehabis Covid pembelajaran daring amat gencar. Dari sinkronus dengan interaksi lewat layar zoom dan asinkronus dengan penugasan berbasis internet. Hahaha, dasar guru harus tahu istilah-istilah baru dalam pembelajaran. Sejak covid, kursi kerja di rumah jadi sering mengeluh, betapa sering harus menahan beban.
"Kapan, kau keluar kamar Bos? Sekali-kali keluar, blusukan ke mana kek, yang penting ane bisa istirahat. Sedikit-sedikit duduk, buka gawai, buka laptop, lalu demikian berisik suara-suara dari pembelajaran lewat zoom, sampai webinar yang tidak berhenti-berhenti dari pagi buta sampai menjelang senja. Malamnya bos menulis artikel pula. Capek. Apalagi dudukan kaki-kaki sudah kendor, tidak lagi mampu menahan beban berat dalam jangka waktu lama."
Aku menjawab,
"ya maafkan saja. ini adalah sebuah cara agar terbebas dari segala ancaman virus di luar sana. Dari virus covid biasa, delta sampai sekarang omicron. Perubahan era begitu cepat dan mau tidak mau banyak gedung kesepian ditinggal penghuninya. Masih bersyukur rumah tidak lagi sepi karena semua berkumpul untuk bekerja dan belajar."
***
Kalau kalian bisa merayakan betapa serunya teknologi, aku  merasa hidup semakin kesepian Hanya kenangan yang berkelindan, melintas dan akhirnya lenyap. Meskipun mungkin ada sisi positifnya, aku jadi semakin rajin menulis puisi. Sebab puisi bagiku lebih mudah ditulis ketika tengah merayakan sepi dan sunyi. Saat gaduh dan ramai dipastikan hanya terbengong mencoba menjaring kata tapi tidak pernah ketemu.
Andaikan aku punya sayap, aku ingin terbang memotret senja, memotret wajah-wajah lelah mereka. Adakah sepi di wajahmu?
"Tidak, tidak pernah sepi kerjaan masih menumpuk berbaris di drive dan google side yang banyak menampilkan kamar-kamar file yang mesti dikerjakan. Berjuta kata, berpuluh aplikasi harus disiapkan untuk bisa melakukan presentasi maksimal."
" Apakah kamu tidak rindu, sentuhan sayang dari kekasihmu di dunia nyata?"
"Saat ada robot serba bisa mengapa harus repot-repot menghadapi manusia yang kadang amat susah ditebak di kala sedang menstruasi, mending bicara dengan robot yang tidak pernah emosional wkwkwk."
Oh begitukah dunia di tahun 2045. Kesepian 2045. Semoga semuanya tidak terjadi. Yang kurindu hanyalah ketika pagi yang dingin masih menemukan kehangatan teh yang diseduh kekasih hati dengan penuh perasaan, sambil mendengarkan adukan dari gelas air dan gula yang beradu. Lalu kemudian sruput. Ahhh nikmatnya.
"Sayang, terimakasih tehnya pas. Tidak terlalu manis, jauh lebih manis dirimu."
Ia memandangku dengan penuh arti meskipun tampak  kantung  matanya yang berkerut berkaca-kaca penuh keharuan.
Jonggol, 17 Desember 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H