Sebagai guru,  shock mendengar berita tentang sepak terjang seorang guru agama dan pemilik boarding school di daerah Antapani Bandung yang menjadi predator  seks dan memperkosa muridnya selama bertahun tahun.Â
Profesi Guru Tercoreng dengan Perilaku Buruk Oknum "predator seks"
Setahu saya yang kebetulan sebagai guru juga merasa tertampar. Guru yang menjadi sumber ilmu, teladan, motivator, inspirator ternyata diam-diam menjadi predator yang sangat keji. Terlepas itu oknum guru agama, atau kebetulan datang dari lembaga pendidikan berlatar belakang agama adalah noktah yang mencoreng guru sebagai sebuah profesi mulia yang diibaratkan pahlawan tanpa tanda jasa.
Sebagai guru, tidak bisa dipungkiri selalu berinteraksi dengan para siswa yang beragam. Mungkin karena kebiasaan selalu bertemu di kelas dan interaksi intens guru, secara manuasiawi yang punya naluri  untuk tertarik dengan paras cantik para siswanya, terkadang ada beberapa siswa ABG yang sangat menggoda sehingga guru dengan iman tipis pasti akan mudah tergoda.
Apalagi sekolah semacam boarding, sekolah berasrama, yang bisa berinteraksi baik di kelas maupun di luar kelas karena satu kompleks. Inilah tantangan guru, bukan hanya masalah gaji, masalah fasilitas, masalah rasa bosan tetapi juga masalah rasa yang muncul sehingga mengalahkan idealisme sebagai guru.
Guru jatuh cinta pada siswa saya kira banyak kasusnya, tertarik  secara fisik apalagi melihat anak ABG yang sedang mengalami perkembangan  fisik dan sexual. Gejolak-gejolak siswa itu yang kadang dimanfaatkan oleh oknum guru dengan alasan-alasan yang akhirnya "dimaklumi" siswa. Misalnya guru olah raga yang mau tidak mau terkadang harus kontak fisik dengan siswa ketika mengajari tenang peregangan, latihan kelenturan tubuh, renang, melakukan pemijatan ketika ada siswa yang terluka.
Siswa terkadang menikmati apa yang dilakukan guru, sentuhan-sentuhan yang semula hanya untuk memberi pertolongan akhirnya berlanjut pada masalah rasa. Banyak remaja putri yang secara malu-malu mengidolakan gurunya, apalagi melihat gurunya yang pintar dalam berkata-kata, berwibawa dan perhatian.
Nah guru agama di sebuah sekolah yang fokus pembelajarannya adalah ilmu spiritual, akhlak dan moral (Pondok Pesantren, Seminari dsb) itu semacam magnet. Kepintaran, kecerdasan dan penampilan yang menarik mau tidak mau membuat remaja akan mencari sosok idola. Mereka tidak sadar ada beberapa oknum guru sangat piawai memanfaatkan momentum. Oknum guru itu tahu bahwa kekuatannya, selain fisik adalah kata-kata.
Penilaian Sesama Guru terhadap perilaku bejad HW
Dari kasus Herry Wirawan (HW) itu saya mencoba memahami sebagai sudut pandang guru. Ya, guru agama  harus pandai bicara dan pandai pula menarik hati siswanya dengan presentasinya dan kata-katanya yang meluncur setiap khotbah atau memberi pembelajaran agama.
Saya tidak mencoba menghakimi guru agama saja, itu juga berlaku pada guru-guru lain dengan karisma atau daya tarik yang terpancar hingga membuat siswa tidak berkutik dan pasrah saja ketika dirayu guru untuk melakukan tindakan asusila. Ada beberapa alasan antara lain siswa takut nilainya menjadi jelek, kedua siswa merasa tidak berdaya ketika ada tekanan dan godaan sebab sebelumnya ia merasa bahwa gurunya itu idolanya, maka ketika ada tindakan "asusila" guru banyak murid yang akhirnya malah menikmati sentuhan tersebut. Yang muncul selanjutnya adalah penyesalan yang datang belakangan. Sebab ketika mereka melakukannya banyak yang menikmati situasi tersebut, tapi ketika  perbuatan yang tidak dibolehkan menurut aturan agama itu membuahkan akibat hamil di luar nikah, akhirnya terkuak betapa sebetulnya bukan semata-mata salah guru, murid juga seringkali terjebak dalam rasa hingga akhirnya menyesal ketika telah melakukannya.
Yang saya lihat dari kasus  (HW) janji manis dan kata-kata yang memukau dari guru tersebut adalah salah satu modal guru. Budaya bahwa perempuan cenderung diam ketika merasa dilecehkan apalagi direnggut kehormatannya adalah faktor lainnya. Ada juga beberapa siswa yang agresif dan membuat guru terbata-bata dan tidak mampu menahan godaan untuk tidak tertarik dengan rayuan siswa. Tetapi bukan berarti saya membenarkan tindakan guru "cabul" tersebut. Semua itu berawal dari mindset. Banyak guru yang mempunyai mindset lurus dan mampu mencegah munculnya  tragedi rasa. Tetapi ada oknum guru yang malah kegirangan dan memanfaatkan situasi dengan menjadi "silent predator".
Nah, HW tampaknya ketagihan hingga akhirnya banyak korban yang dilansir media, hingga ia viral dan menjadi pembicaraan media sosial. HW memanfaatkan psikologi siswa yang merasa kurang, ingin kemudahan dan terbujuk rayuan gombal ingin dinikahi, ingin disejahterakan. Coba anda membayangkan jika di sekolah agama tersebut selalu melihat seorang yang cenderung dominan, sering berbicara di mimbar, menjadi pemimpin, imam dari berbagai kegiatan rohani. Kecenderungan siswa perempuan mencari sosok yang berkarisma, pandai bicara dengan wajah teduh, pasti tidak menyangka bahwa dibalik senyumnya yang manis, gesture tubuh gurunya yang tampak santun menyimpan bara "libido sex" maha dahsyat.
Kebetulan di sekolah saya sering sekali mendapatkan pembelajaran dengan webinar yang berisi motivasi seorang guru, menjadi guru yang ideal, menghindari kejenuhan mengajar, Guru pembelajar dan guru yang beratitude. Dari webinar tampak bahwa guru itu disatu sisi adalah profesi yang kurang menjanjikan secara materi, tetapi bisa memperoleh kepuasan dan kegembiraan bila dalam proses belajar mengajar guru menjadi titik sentral siswa untuk menjadi salah satu inspirasi untuk menjadi manusia yang berguna dan bermanfaat di masyarakat.
Meluruskan Kembali Visi Profesi Guru
Meskipun kalau dihitung materi tidaklah lebih bagus dari pengusaha dan profesi lain, namun titik kepuasan guru adalah ketika ia bisa dikenang dan disapa ketika muridnya yang sudah sukses menyapa dan mengucapkan terimakasih atas kata-kata inspiratif yang berasal dari gurunya. Ada luapan kegembiraan dan kepuasan ketika siswanya sukses, tetapi merasa sedih ketika siswanya malah menjadi penjahat dan koruptor, atau bahkan terkenal karena menjadi predator dan pemerkosa.
Ketika muncul banyak oknum guru yang menjadi predator, pemutus harapan masa depan anak bangsa, mencederai cita-cita siswa dengan merusak kehormatannya maka itu adalah kesalahan fatal seorang guru. Semoga guru lainnya tidak mengikuti jejak kaum predator itu yang mencoreng profesi guru, sebab dari guru maka dasar pendidikan baik ahlak, karakter, pengetahuan diletakkan. Kalau gurunya bejad bagaimana masa depan anak didiknya.
Lalu bagaimana memutus mata rantai penyimpangan perilaku guru? Dalam banyak kasus, kisah-kisah pilu anak perempuan itu karena budaya yang masih menempatkan perempuan sebagai pihak lemah, tidak diberikan kesempatan untuk menggugat dan menolak tegas hegemoni laki-laki. Masih ada yang beranggapan perempuan hanya konco wingking yang pendapat dan aspirasinya diremehkan. Yang penting bisa masak, dan beranak. Bahkan di lembaga pendidikan yang memberi kesempatan perempuan setarapun diskriminasi masih terasa.
Kalau sudah memakan korban predator tersebut memang layak mendapat hukuman seberat-beratnya bukan ditutupi. Agar tidak menyusul pelaku dan korban lainnya. Ini salah satu efek jera agar tidak terulang kasus yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H