Aku hanya mengantarkan hati meresapi setiap tahapan berkarya. Ada dua aktivitas yang membuat lupa makan dan lupa waktu. Pertama menulis kedua melukis. Ketika hasrat menulis tidak terbendung, dengan rela melepas waktu mengasyikkan melukis. Aku hanya ingat kata demi kata untuk dirangkai menjadi kalimat.
Saat menggambar dan melukis, seluruh detik, menit dan jam habis untuk menggambar, habis untuk menggoreskan ditinta di selembar kertas. Gambar itu adalah puisi dan tangan bergerak sama dalam irama goresan yang tidak kuduga akan mewujud seperti apa, sama ketika menulis, aku hanya merasakan outline dan tidak tahu ending tulisan akan berbentuk apa.
 Semua spontan, mengalir, bergerak dari jiwa hanya berbeda media. Melukis dan menulis adalah kegiatan rasa, imajinasi dan memanjakan khayalan. Seperti halnya ketika menuliskan cerpen fiksi, biarkan angan menguasai ruang kesadaran, toh pembaca menikmati imajinasi dan khayalan penulis.Â
Pernah membaca Harry Potter, kalau khayalan J.K Rowling itu kenyataan, real dimanakah bisa menemukan. Tentunya di ruang imajinasi pikiran dan perasaaan pengarangnya. Hampir sama ketika mencoba merasakan lukisan Salvador Dali, dimana mendapatkan lelehan jam di sebuah sudut di dunia itu, itu hanya imajinasi pelukisnya.
Tapi... kok seperti nyata, apalagi bisa difilmkan dan mendapat tanggapan luar biasa dari pembaca dan penonton. Itulah kekayaan imajinasi. Ia bisa menembus langit ke tujuh, bisa menjangkau yang tidak mungkin menjadi mungkin di dunia bernama khayalan. Ketika bercengkerama dengan salah satunya maka ada banyak kemungkinan yang lain terabaikan.
Ketika aku tengah sibuk menggambar akhir-akhir ini, tulisan-tulisanku hanya sesekali nongol di media, lebih banyak muncul di instagram dan facebook gambar-gambar goresan jiwa. Lebih banyak daya visual yang lahir. Apakah hukum alam. Pantas para pelukis seperti mempunyai dunia sendiri ketika kesetanan melukis sebab kanvas dan kertasnya rindu untuk disentuh dan diwarnai.Â
Mereka akan bercengkerama lupa waktu dan hari, hanya berharap ada sesuatu yang muncul, untuk membuktikan bahwa ia adalah sang pelukis yang tengah berasyik masuk terhadap angan visualnya, atau sedang menggelorakan rasa keindahan untuk dinikmati para pecinta lukisannya.
Sama ketika menulis, kalimat demi kalimat seperti menyihir membuat pembaca seperti bisa mengikuti alur pikiran dan khayalan penulis. Tercipta banyak kalimat yang mengagetkan sekaligus membuat lidah berdecak, "Sebegitu kerennya tulisanmu sampai lidah ini berdecapan dan kepala ini hanya bisa menggeleng dan terucap kata'luar biasa'. Kata hati nuraniku."
Bagaimana kalau menulis dan melukis seiring sejalan. Bisa saja terjadi satu hari satu lukisan dan lahir pula tulisan-tulisan, tetapi kalau saya yang berkarya berdasar mood, tidak bisa menjanjikan bahwa semua itu bisa terjadi. Yang sering saya rasakan adalah ketika hasrat melukis dan menggambar saya tengah berkobar maka redup pula semangat menulis.Â
Ketika ide berseliweran di kepala tentang cerpen, artikel ataupun puisi maka permisi kusingkirkan dulu kertas dan kanvasku. Jangan saling sentil dan jangan saling senggol, ada saatnya menulis dan ada waktunya melukis.
"Kapan kamu tahu bahwa kamu itu adalah penggambar?"
"Tidak secara pasti kujawab, mungkin ketika aku bosan dengan pelajaran maka buku-buku penuh dengan coretan."
"Kapan tepatnya kamu suka menulis?"
"Ketika aku mulai jatuh cinta dan hanya dengan menulis ungkapan cinta bisa diekspresikan."
"Apakah dengan menulis puisi kau merasa menjadi manusia romantis?"
"Justru karena aku tidak romantis maka aku perlu belajar menulis puisi."
"Lalu apakah hal-hal yang berbau puitis yang bisa dikatakan romantis."
"Anggapan keliru jika romantis hanya ketika bisa menciptakan puisi, nyatanya gambar juga bisa mengabarkan sisi romantis seseorang."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H