Saya sedang mencoba menganalogikan Mega sebagai gambaran pada partai politik yang cenderung mengawang di angkasa. Karena selama hampir sebulan ini saya benar - benar tidak menulis di Kompasiana, bukan berarti berhenti menulis tapi sedang ada kesibukan dan proyek lain. Fokus untuk sebuah tantangan. Namun saya mencoba menulis tentang politik, sejak selama beberapa kesempatan belakangan mengamati dari berita berita yang beredar.
Bukan sekadar menulis, tapi mencoba merefleksikan laku gerak politisi, pemimpin. Saya malah kurang tertarik partai, karena gerak mereka lamban merespon keinginan masyarakat dan cenderung terlalu mengikuti mekanisme partai. Padahal yang dihadapi saat ini adalah gerakan cepat membantu masyarakat bangkit dari keterpurukan.
Partai- partai besar malah sibuk mengkritik upaya pemerintah, malah partai pendukung pemerintah sendiri sepertinya terlalu bangga dengan istilah dengan petugas partai, seakan semua pemimpin daerah sampai presiden harus tunduk pada mekanisme partai, karena mereka hanyalah petugas partai.
Sebuah kesombongan karena para petinggi partai merasa berkat partainya para pemimpin bisa melenggang menjadi pemimpin termasuk Presiden, Gubernur, Bupati dan Wali kota. Saat ini masyarakat sangat terbuka, kesadaran demokrasi tinggi dan media sosial bisa menjadi sambungan lidah rakyat. Kalau partai politik masih terninabobokan dengan oligarki kekuasaan dan kebanggaan bisa melahirkan pemimpin yang dicintai rakyat, apakah sepenuhnya kerja partai.
Penulis sendiri sangsi, sebab ketika pemilihan sebelumnya, kendaraan partai hanya terpaksa dipakai untuk mengegolkan pilihan rakyat. Pada pemilu presiden sebelumnya tidak bisa dipungkiri banyak masyarakat terpaksa memilih partai politik demi meloloskan pilihan presiden dan gubernurnya.
Jadi partai politik jangan merasa bangga dahulu, anda memang bekerja sesuai mekanisme dan ngotot untuk menegakkan aturan lewat jalan partai karena undang- undang mengaturnya. Tetapi kekuasaan tertinggi jelas di tangan rakyat.
Kini ketika ada tokoh kader selain pilihan partai yang lebih difavoritkan dan mendapat simpati rakyat, tapi seperti disingkirkan oleh partai politik, mereka (partai politik) sedang bunuh diri secara politis. Jika partai keukeuh melawan keinginan arus bawah, lihat saja, bukan partai yang akan memberi sangsi, masyarakatlah yang akan memberi sangsi kepada partai'
Selama ini jejak partai sejak reformasi hanyalah bermain dengan intrik dan mencoba melakukan kerjasama yang hanya berorientasi menguntungkan partai. Mereka bisa berpindah mitra padahal sebelumnya musuh, semuanya demi memperoleh suara. Pemilu lalu dengan sengit saling serang, pemilu berikutnya saling gandeng tangan demi kepentingan yang diusung. Tentunya gerak gerik partai terus diamati. Gerakan politik itu merupakan strategi demi mendulang suara. Partai partai besar rela berkolaborasi dengan "musuh" sebagai bagian dari retorika politik dan lama - lama masyarakat gerah dan mulai cuek terhadap kiprah partai politisi.
Memang masih ada kader yang loyal terhadap partai, karena memang diuntungkan dengan ikut anggota, tetapi sudah banyak masyarakat sadar untuk bersuara, tidak perlu harus melalui partai politik. Kalau partai masih begitu membanggakan mekanisme organisasi, mandat ketua partai sebagai arus kuat untuk menjegal kader potensial, masyarakat tidak perlu gentar.
Dari tulisan ini, saya hanya mencoba berefleksi bahwa tidak sepenuhnya arogansi dan nostalgia kekuasaan bisa memegang kendali rakyat. Ketika keinginan masyarakat tidak terbendung apakah partai politik mau melawan keinginan besar arus bawah.
Megawati mungkin merasa masih berada di awan, bahwa ia mempunyai kekuasaan besar untuk menghentikan dan mencalonkan kadernya. Siapa yang melawan partai akan terkena imbasnya seperti halnya Rustriningsih yang mencalonkan diri menjadi gubernur Jawa Tengah tetapi menjadi layu berkembang karena partai tidak mendukungnya.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!