Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Nurani Baliho, Politik Pansos di Tengah Masyarakat yang Tengah Limbung

19 Agustus 2021   19:22 Diperbarui: 19 Agustus 2021   19:25 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada banyak pendapat bahwa baliho politisi itu hanyalah sebuah tindakan sia - sia. Sebuah upaya untuk branding diri yang tidak sesuai zaman. Zaman media sosial begini masih memajang dengan cara konvensional. Para politisi yang menebarkan sampah visual di berbagai sudut kota desa dan tempat - tempat strategis. Banyak menganggap politisi tidak peka. Di saat pandemi berlangsung dan masyarakat masih butuh perhatian pemerintah dan wakil rakyat. Para "calon pemimpin bangsa " itu malah menghambur - hamburkan uang untuk menaikkan daya tawarnya di mata rakyat, alias pansos atau panjat sosial. Elokkah yang dilakukan oleh para politisi itu?

Pertanyaan itu tentunya menjadi pertanyaan sulit, relatif dan tergantung sudut pandang siapa yang dikasih pertanyaan. Kalau pertanyaan itu ditujukan untuk kader partai terutama partai pendukungnya pastinya akan menjawab elok saja, bukankah itu upaya memperkenalkan program- program untuk kepentingan rakyat. Dalam jurus dagang dan ilmu komunikasi, memasang spanduk itu masih relatif efektif untuk mendongkrak peluang menaikkan pemilih. 

Masih banyak pemilih tradisional yang masih memandang cara politisi mencetak spanduk, baliho dan memajangnya di pinggir jalan, tempat strategis, dengan membuat tayangan visual LED itu cukup membuat orang tertarik mencari tahu atau istilahnya kepo terhadap sosok besar yang terpasang dengan segala polesan eleganitas visual.

Tapi kenapa elektabilitas sosok dalam spanduk itu masih kalah dengan politisi yang menggunakan media sosial, semacam facebook, youtube, instagram secara kreatif menampilkan aktifitas keseharian saat bertemu dengan masyarakat. 

Mungkin mereka ya tidak dengan ujug ujug langsung moncer dan tenar, lama- lama pasti akan mengenal sosok wajah yang ada dalam baliho tersebut. pelan tapi pasti ( untuk menghibur diri ) berapa modal yang dikeluarkan untuk memasang baliho. 

Ah, tidak usah dipikirkan itu sudah menjadi modal politik, kalau ingin terkenal memang harus mengeluarkan banyak dana, toh nanti kalau sudah menjabat semua modal itu akan pulih. Oh memang begitu. Lagi pula banyak sponsor yang nyumbang.

Ya partai besar yang masih berpikir konvensional itu sudah menghitung dan mengantisipasi reaksi masyarakat. Akan muncul beragam pendapat baik yang menyenangkan maupun yang menyakitkan. Itu sudah resiko politik. 

Pasti akan banyak yang mengatakan bahwa kampanye politik dengan baliho itu adalah upaya sia - sia. Sebab masyarakat sekarang sudah cerdas. Untuk bisa merayu masyarakat sekarang itu bukan dengan janji - janji, atau masif memasang  baliho. 

Tapi partai politik semacam PDIP perjuangan dan Golkar yang sudah makan asam garam pengalaman bertanding sudah punya kepercayaan sendiri dan masih percaya akurasi trik kampanyenya.

Bagaimana sudut pandang masyarakat? Yang diperlukan masyarakat itu kedekatan, seringnya pemimpin atau calon pemimpin turun ke bawah, menyapa dan membantu masyarakat kecil. 

Nah politisi punya hitung- hitungan sendiri termasuk test case kesetiaan partai. Siapa yang tidak ikut instruksi pimpinan pusat dianggap membangkang. 

Nah, itu yang membuat susah menebak pola pemikiran aktifis partai, mereka hanya menghitung untung rugi untuk partainya tidak benar- benar memperjuangkan kepentingan rakyat.

Mau pakai spanduk, baliho konvensional itu sudah keputusan partai, komentar para netizen dan masyarakat, sebodo teing kata orang sunda, mbuh ra ruh atau singkatnya preks. Sebagai penulis blog apa pendapatmu. 

Kalau saya sih, silahkan politisi membuat baliho, silahkan saja mengeluarkan dana besar toh, jika saya tidak tertarik apapun upaya kalian, mau pakai cara medsos atau baliho kalau sudah tidak tertarik ngapain dipilih?Hak saya untuk memilih yang terbaik sesuai hati nurani. Toh jika kehilangan modal untuk biaya cetak baliho dan bayar pajak itu sudah resiko politisi.

Saat ini kepercayaan pada politisi sedang dalam titik terendah, meskipun demikian saya tidak menutup mata bahwa diantara banyaknya politisi dan pejabat yang mencoba pansos dengan berbagai cara pasti ada yang benar- benar ingin mengabdi dan melayani. 

Maka sebagai masyarakat harus cerdas memilih siapa yang layak menjadi pemimpin di masa datang. Bisa jadi yang kita kira pendiam dan tidak berkesan apapun bisa saja menjadi pemimpin yang mengayomi.

Yang susah saat ini adalah dalam masyarakat sendiri terbelah pada partai nasionalis, yang mendasarkan kepemimpinan  berdasarkan agama. Munculnya orang- orang yang begitu mudah mencaci, memaki terutama lewat media sosial menjadi keprihatinan sendiri. Rasanya seperti hilang sifat- sifat ketimuran yang mengutamakan adab dan sopan santun, mengkritik dan menyatakan ketidaksukaan dengan cara tidak elegan dan memprihatinkan.

Semoga orang- orang yang sering menghina, mengolok- olok cepat sadar pepatah di mana bumi dipinjang disitu adab dijunjung. Menghina dan mengejek orang lain sebenarnya adalah adalah cerminan pribadi yang belum matang. Hanya memperlihatkan bahwa ia harus belajar banyak pada kehidupan, belajar menata hati dan menata kata, bukan hanya mengumbar emosi dengan mudah melontarkan kata nyinyir.

Semoga dengan semakin luasnya wawasan masyarakat semakin sedikit yang melakukan blunder dengan menghina dan menganggap enteng budaya, suku, etnis, agama lain. 

Semakin orang menghormati orang lain ia akan semakin mendapat simpati pula dari orang lain. Ah, itu refleksi orang bodo politik seperti saya. Berharap lebih meskipun kenyataannya susah terlaksana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun